08 | Badut dan Pengakuan

15 2 0
                                    

Suasana perjalanan yang sebelumnya telah tegang juga mencekam semakin menjadi-jadi setelah pernyataan mengejutkan yang diberikan Mbak Rina. Sebuah pernyataan yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Pernyataan bahwa ia telah tergigit!

Kami semua memandang Mbak Rina yang sedang tertunduk. Terlukiskan wajah penyesalan karena tidak memberi tahu yang terjadi sebelum-sebelumnya. Mata berbinar. Pasti ia sedang sekuat tenaga mencoba untuk tidak menangis. Fakta bahwa Mbak Rina yang selalu terlihat baik-baik sajalah yang sebenarnya membuat kami terkejut.

Mbak Nadia yang duduk di sebelahnya mengelus-elus punggungnya; mencoba menenangkannya. Ia masih saja tertunduk dengan wajah ketakutan sekaligus menyesal. Mas Agus memberhentikan kendaraan di pinggir jalan untuk melihat keadaan Mbak Rina. Aku yang tidak bisa berbuat banyak hanya terduduk diam di jok paling belakang.

"Sejak kapan kamu tergigit?" tanya Mbak Nadia tiba-tiba.

"Ki-kira-kira 5 hari lalu..." tubuh Mbak Rina bergetar lebih kuat dari sebelumnya.

"Sudahlah, tak usah takut. Kami tidak akan meninggalkanmu." Sebagai sesama wanita sepertinya Mbak Nadia sedikit paham dengan yang dirasakan Mbak Rina.

"Betul. Toh kamu masih normal seperti biasanya," Mas Agus menimpalinya.

"Ya, itu benar. Kak Rina tidak usah khawatir, kami akan selalu melindungi kakak." Bahkan Bori yang masih bocah saja mencoba menenangkannya.

Semuanya mecoba membuat Mbak Rina merasa baikan, tetapi malah sebaliknya perasaan sakit di hatinya semakin besar. Perasaan bersalah—mungkin juga perasaan takut.

"Bagaimana jika kita beristirahat terlebih dahulu di sana?" aku menunjuk ke arah sebuah rumah yang telah ditinggalkan. Rumah yang cukup besar untuk ukuran rumah di pinggir jalan tanpa satu pun tetangga di kanan-kirinya.

"Ide bagus."

Mas Agus segera menjalankan mobil menuju rumah itu. Pagarnya telah rusak, sudah tidak berada pada relnya. Kaca rumahnya juga pecah. Pintu yang seharusnya berdiri dengan gagahnya sekarang tergeletak begitu saja di lantai dengan ubin terbuat dari marmer. Dari kerusakannya, sepertinya ada sekelompok orang yang menyerang tempat ini—atau ZoClown mungkin—yang pasti kami akan meminjamnya sebentar. Beristirahat semalam mungkin sudah cukup.

Kami turun dengan hati-hati, berjaga-jaga jika ada ZoClown yang muncul. Mbak Nadia menuntun turun Mbak Rina yang lemas ketakutan. Aku dan juga Mas Agus membawa senjata masing-masing untuk mengeksekusi siapa saja yang berani mengganggu kami. Bori mengikuti di belakang Mbak Rina, mengamati sekitar kalau-kalau ada ZoClown yang menampakkan diri.

Mas Agus masuk duluan untuk memeriksa apakah tempat ini benar-benar aman. Sementara itu yang lainnya tetap menunggu di luar.

"Semuanya aman."

Kami masuk ke rumah luas itu. Tidak terlalu ada barang berharga di dalamnya. Mungkin sudah hancur atau bahkan dicuri. Tapi dikeadaan seperti ini mana ada orang yang hanya memikirkan barang berharga saja. Pasti nyawalah yang nomor satu.

Bahkan ruang tamunya juga sangat luas. Mungkin berukuran 3 kali lipat dari kamar di rumah lamaku. Tunggu dulu, apakah itu benar? Rumahku...bukankah aku tinggal di indekos? Tidak, pasti ada, pasti aku pernah punya rumah dulunya.

Ingatan yang ingin kuingat tetapi tidak bisa ini membuat kepalaku terasa pusing dan sakit. Ini seperti saat kau sedang makan. Perutmu memang sudah penuh, tetapi makanan masih banyak dan juga kau menyukainya. Bingung, antara melanjutkan atau tidak. Seperti itulah keadaanku saat ini.

Aku berjalan dengan sempoyongan. Bori yang melihat keadaanku menghampiri dan menggandeng tanganku—mencoba menuntun ke jalan yang lurus. Kurasa aku harus berterima kasih kepadanya lain kali.

ZoClown [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang