16 | Badut dan Pengulangan

6 0 0
                                    

Kejadian aneh selalu saja menimpaku hingga saat ini. Akal sehat tidak bisa digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang datang silih berganti. Rasanya seperti hidup di dunia mimpi, yang mana apapun dapat terjadi. Seperti saat ini misalnya.

Entah bagaimana bisa, tiba-tiba aku terbangun di sebuah ruangan yang sangat familiar menurutku. Hampir setiap hari aku mengunjunginya. Semua isinya juga sama persis seperti biasanya. Aku terbangun di ruangan kelasku.

Aku masih mengingat semua posisi benda-benda yang ada di dalamnya. Kondisinya juga sama seperti pertama kali aku terbangun dan mendapati kekacauan ini. Tidak ada orang atau pun badut. Hanya meja-kursi yang tidak tertata pada tempatnya. Tas milik teman-temanku juga tergeletak begitu saja di atas lantai berubin putih ini.

Otakku bekerja lebih keras dari sebelumnya untuk memahami kondisi saat ini. Satu-satunya kemungkinan yang dapat kusimpulkan yaitu aku mengalami pengulangan. Sama seperti di permainan yang ada di gawai dimana jika kita kalah maka ada tulisan mengulang. Jika ditekan maka akan dibawa kembali dari tingkatan awal permainan tersebut. Dan sepertinya aku memilih untuk mengulang.

Tapi bagaimana jika hal itu berlaku di dunia nyata? Apakah itu mungkin? Aku ingat persis sebelum berada di ruang kelas ini. Aku bersama Mbak Nadia tengah berada di sebuah ruangan yang di dalamnya ada pria berpakaian jas putih. Dan kemudian, kami ditembak olehnya. Lalu aku berada di sini.

Tunggu, jika ini pengulangan dan semuanya sama, termasuk kejadian-kejadian yang akan terjadi, maka mungkin aku dapat menyelamatkan semuanya. Mungkin aku bisa mencegah kematian teman-temanku. Aku yakin itu!

Kujalani setiap alur yang pernah terjadi sebelumnya. Dugaanku benar, semuanya sama persis. Tidak ada yang berbeda sama sekali. Dari pertemuan awalku dengan Bori, hingga bertemu dengan Mbak Nadia dan yang lainnya. Malam ini akan jadi penentunya, apakah aku dapat mengubah takdir yang telah ditetapkan atau tidak.

"Sepertinya inilah saatnya aku beraksi." Aku ingat, itu perkataan yang sama persis seperti yang diucapkan dulu, sebelum Mas Xarvius meninggal.

Aku berpindah menuju bagian depan, ditengah-tengah antara Mas Xarvius dan Mas Agus. Tangan kanannya yang hendak mengambil sesuatu dari kantung bajunya kutahan. Semua yang melihat tingkahku hanya bisa terheran-heran. Tetapi Mas Xarvius merasa tidak suka dengan apa yang kulakukan—terlihat dari tatapannya yang menatap tajam ke arahku.

"Tidak akan kulepaskan," kataku dengan tegas.

Kami saling tatap-tatapan selama beberapa menit. Jika dilihat seperti dua orang yang sedang berbicara menggunakan telepatinya. Sedangkan yang lain masih kebingungan melihat tingkah kami.

"AAAAAA." Keheningan pecah karena teriakan dari Bori. Kami semua menengok ke arahnya dan mendapati ZoClown raksasa telah berjarak beberapa meter saja dari kami.

Mas Xarvius melepaskan genggaman tanganku dan menatap tajam ke arahku. "Cih, kita akan mati. Dan ini semua salahmu!"

Benar saja, mobil yang kami tumpangi hancur terinjak kaki besar ZoClown itu. Semuanya tergencet dengan parahnya. Sebelum nyawa tercabut dari tubuh, aku sempat melihat keadaan sekitar. Bori badannya hancur tak terbentuk. Mbak Rina tubuhnya tertusuk atap mobil. Kepala Mbak Nadia hancur. Mas Xarvius tertusuk katananya sendiri. Sedangkan Mas Agus tertusuk pecahan kaca mobil.

Udara dingin terasa makin dingin saja. Aku tahu, rasanya sebentar lagi akan pergi dari dunia ini. Kegelapan dengan cepat menyergap dan menelanku. Berbagai ingatan melintas begitu saja di tengah gelapnya keadaan saat ini. Tidak ada penerangan sedikit pun, hanya ada aku yang semakin jatuh ke dalamnya.

Hingga akhirnya aku tersadar dan terbebas dari kegelapan itu. Aku terkejut, karena saat kesadaranku telah kembali aku berada di ruangan yang sama lagi. Tidak ada perubahan sedikit pun. Ruangan tempatku menuntut ilmu—atau tempat tidurku—sama seperti sebelumnya, kacau.

Penelitianku tidak berhenti sampai disitu saja. Kali ini aku akan mencoba cara berbeda dalam menuju tempat terakhir kali aku mati. Percobaan pertama adalah tidak menemui Bori. Ada beberapa teori yang kupikirkan dari percobaan ini. Pertama, Bori tidak akan menjadi bagian dalam petualanganku dan yang lainnya. Kedua, Bori akan bertemu denganku, tetapi di tempat yang berbeda, juga waktu yang berbeda. Ketiga, aku akan mati dan dipaksa mengulangi 'permainan' ini lagi.

Setelah menjalaninya sepertinya teoriku yang kedualah yang benar. Terbukti saat aku bertemu Bori yang sedang berjalan-jalan tepat di depan Lawang Sewu. Jika begitu, maka ini berlaku bagi semua orang yang telah kutemui.

Sejauh ini dapat kusimpulkan, sepertinya kematian maupun pertemuan yang telah ditakdirkan tidak bisa dirubah. Jika mencobanya maka aku akan menemui ajalku dan kembali lagi ke awal. Tetapi, apakah ini hanya aku yang dapat merasakannya atau semuanya juga bisa?

Untuk itu aku bertanya kepada Mbak Nadia. Tetapi tidak secara langsung, melainkan secara tersirat.

"Mbak, pengulangan?" Ia menunjukkan raut kebingungan dari pertanyaan yang kusampaikan. Mencoba berpikir keras, lalu balik bertanya kepadaku tentang maksud dari pertanyaan itu. "Hehehe, bukan apa-apa mbak," jawabku cengar-cengir.

Jika Mbak Nadia saja tidak tahu apa-apa, berarti semuanya juga. Kalau begitu, lebih baik aku mengikuti arus saja daripada tersesat nantinya. Arus itu membawa kami ke tempat terjadinya pembunuhan, gedung tinggi yang dikelilingi drone di sekitarnya.

Kami semua terus berjalan hingga sampai lah di pertigaan yang akan menentukan nasib kita kelak nantinya. Aku ingat, kalau Mas Agus, Bori, dan Ayuu memilih jalan kanan mereka akan bertemu Natasha—yang katanya adalah adikku—dan mereka akan mengalami siksaan yang amat memilukan.

"Bagaimana kalau kita tetap bersama. Bukankah jika ada masalah dapat terselesaikan lebih baik kalau bersama?"

Ideku itu disetujui semuanya. Kami semua mengambil lorong sebelah kiri yang membawa kami ke tempat pria itu. Jika kami dapat membunuhnya, mungkin semua ini akan cepat berakhir.

Semuanya sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Dengan perlahan aku memutar gagang pintu itu lalu mendorongnya dengan cepat. Kami semua masuk berbarengan dan mengarahkan bidikan ke target kami.

Aku salah. Bukan pria yang kuincar selama ini yang berada di hadapan kami semua. Melainkan gadis cilik dengan gaun putihnya yang indah. Dia memegang boneka yang kepalanya telah terputus. Dengan senyuman manisnya ia berkata kepada kami semua,

"Halo kak."

***

ZoClown [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang