disclaimer: angsty narrative.
Aku tidak pernah berpikir untuk memiliki sebuah keluarga sempurna. Aku bukan bocah polos ingusan yang gagal paham kalau kehidupan itu bisa dijuluki sempurna di kala berbagai ketidak sempurnaan ada di dalamnya. Keluargaku pun begitu. Boleh dibilang sempurna dan indah dari sisi manapun. Memang ada bopeng-bopeng halus macam kakak perempuan yang hamil sebelum menikah atau Papa yang beberapa kali selingkuh. Tidak selingkuh juga sebetulnya, sekedar bersenang-senang dengan beberapa wanita. Berulang. Sekali lagi, aku bukan bocah polos ingusan yang gagal paham kalau kehidupan itu tidaklah seindah untaian romansa yang kerap kubaca. Meski usiaku masih 18 tahun, meski aku masih di tahun terakhir masa sekolahku sebelum berkuliah.
Aku pun bukan anak bodoh yang percaya cinta adalah satu-satunya sumber kebaikan dunia. Atau juga yakin kedudukan dan harta keluarga besarku bisa memecahkan setiap masalah yang telah datang, tengah datang atau pun akan datang padaku. Aku juga cukup terbuka untuk meyakini, di suatu sudut dunia yang luas tak terkira –tapi hukum dunia selebar daun kelor lebih sering berlaku padaku, pasti ada keluarga sempurna yang sesungguhnya. Setidaknya menurut kacamataku.
Yang tidak aku siap menerimanya adalah aku dapat menyaksikan kesempurnaan tersebut dengan mata kepalaku.
Sudah jelas aku terkagum-kagum terhadap mereka yang hidup dalam keluarga tersebut, sayangnya tanpa sadar, karena silau akan sinar mereka, percaya diri dan keyakinan diriku meleleh tak berbekas. Aku jadi berpikir, kalau mereka itu sempurna yang asali –sejati, maka aku dan setiap orang di keluargaku hanya berpura-pura sempurna dalam ketidaksempurnaan kami. Sebetulnya kami remuk redam. Sebetulnya aku seorang yang hancur lantak menghadapi kehidupan ini. Setiap doa dan syukurku atas berkah Tuhan, tak sanggup membawaku untuk betul-betul menerima kalau aku itu sesungguhnya beruntung.
Dengan kata lain, aku harus sadar kalau aku sesungguhnya manusia lemah dan hina.
Apalagi sebutan yang pantas untuk seorang gadis yang cukup segalanya di muka bumi ini tapi tetap tak bisa bersyukur? Keluarga yang tidak sempurna masih sangat bisa ditolerir bukan? Toh Tuhan memenuhi berbagai hal lainnya. Keluarga yang kumiliki cukup punya kekuatan finansial untuk akhirnya punya sedikit kuasa. Aku juga bukan seorang anak dengan otak kopong. Nilai-nilaiku selalu bagus meski tidak mentereng sampai selalu di peringkat lima besar. Permainan pianoku pernah diganjar penghargaan terbaik tingkat distrik. Dan, aku pun sudah memastikan tempat di Yale walau aku masih menanti respon dari Oxford. Aku juga tidak bisa dibilang buruk rupa karena kalau sudah sedikit bersolek, aku bisa bersaing dengan siapapun yang berani menyebut diri sendiri cantik. Tapi, saat aku menoleh pada mereka, tetap saja aku selalu merasa nihil.
Awalnya waktu kecil aku kagum pada mereka karena Mami Papi selalu bilang lihatlah mereka, si Kembar putra putri Sumanagara. Keduanya menawan dan baik hati serta menggemaskan. Aku pikir Papi Mami minta aku dan kakakku seperti mereka, lalu kami berdua jadi tidak mau kalah dari mereka. Sialnya, sampai sejauh manapun kami berusaha, mereka bak Dewa Dewi. Tak terkalahkan. Aku tak main-main mengatakan mereka begitu karena aku tahu mereka luar dalam.
Kalau orang-orang mengenal mereka karena nama belakang, aku lebih dari itu. Mereka terbiasa mendapatkan segala hal yang terbaik, tapi sama sekali tidak pernah menyombong padaku dan teman-teman kami yang lainnya. Mereka sejak kecil tak keberatan berlarian di kebun belakang rumah siapapun. Bahkan jatuh sampai berdarah dijegal bocah iri dari antah berantah pun mereka tak lantas menangis sambil berteriak memanggil ibu mereka. Sudah dari kecil aku, kakak dan teman-teman sebaya sepermainan, atau yang satu tempat belajar apapun tahu pasti mereka memang berbeda. Istimewa bukan semata dikarenakan nama belakang mereka.
Seiring waktu, aku yang tidak berhenti penasaran tentang mengapa sampai mereka berbeda dari kami, memahami segalanya. Semua dikarenakan mereka sempurna. Tentu saja setiap kesempurnaan punya ketidaksempurnaan dalam bentuk lainnya. Tapi, ketidak sempurnaan mereka bahkan membuatku iri. Bagaimana bisa mereka begitu sempurna menerima setiap hal dalam hidup mereka dengan selalu bersyukur? Sarah yang kukenal selalu berucap syukur untuk segala sesuatunya dan aku tahu pasti dia tidak pencitraan karena syukur yang dia ucapkan tidak pernah lantang. Cukup dengan doa sejenak kala dipikirnya tidak ada orang-orang di sekitarnya. Aku tahu David juga demikian. Meski doa mereka tidak selalu di kapel atau gereja, jelas mereka tak pernah lupa bersyukur. Tetapi, yang membuatku seketika lantak adalah bangga keduanya terhadap kakak sulung mereka. Padahal seantero jagat tahu kalau Abang Emyr bukan putra kandung Papa mereka. Aku membayangkan kalau dia hadir di keluargaku, caci maki dan malu adalah berkah untuknya. Jadi, si Kembar memang berbeda luar dalam dariku yang berusaha bersyukur tapi dalam hati mengeluh mengapa Tuhan tidak berikan aku keluarga yang sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fruits & Seeds
RandomKumpulan puisi -juga, cerita pendek -bahkan mikro, yang tercecer di Sweek dan gwp.co.id. Cocok untuk readers yang tidak suka dengan works lain saya yang punya bab gemuk-gemuk. cover frame from pinthemAll. @sayapwaktu