DIA YANG MENGAKU WAKTU

194 23 4
                                    


Genre: Low Fantasy

PG 13+



DIA YANG MENGAKU WAKTU


Siang yang terlalu panas, kedai makan yang penuh, dan hanya tersisa satu bangku kosong di sana. Di bawah naungan rindang pohon Ketapang, satu meja diduduki seorang berjubah lusuh semata. Aku menggerutu pun paham mengapa tak ada yang lain kecuali perempuan berjubah itu. Tentu saja, jubahnya terlalu lusuh dan caranya menudungi kepalanya terasa begitu misterius. Andai ada tempat lain yang tersisa, aku pun enggan mendekat. Tapi, ini siang yang terlalu terik dan perutku sangatlah keroncongan. Jadi, terpaksa berhadapan dengan orang macam itu tidak membuatku keberatan. Kuayunkan langkah tergesa, menarik bangku di hadapannya seraya mengucap permisi.

"Permisi, tidak ada tempat kosong. Semoga kau tak keberatan... Kisanak..."

Kata-kataku mengawang di akhir seiring mataku mendapatinya memandangku. Dari kejauhan kupikir dia perempuan karena rambut bagian depannya menjuntai sampai ke meja. Tetapi, dari jarak sedekat ini, aku jadi ragu. Meskipun wajah yang sedang memandangku itu rupawan dengan mata yang menakjubkan, aku ragu wajah itu milik seorang perempuan.

"Silahkan, Kisanak." ujarnya menjawabku.

Aku tersadar. Dengarlah, suaranya meski merdu, terdengar tegas.

"Kisanak bukan dari sekitar sini kelihatannya." selorohku seraya menyuap makan siangku.

Dia tersenyum samar, "Kisanak benar."

Aku hanya mengangguk-angguk seraya menggaruk leherku. Penasaran, kutanyakan dari mana asalnya.

"Jauh. Terlalu jauh." sahutnya.

Aku hanya bisa mengangguk lagi. Sedikit sebal sebetulnya. Sampai akhirnya hiasan lehernya yang terlampau indah tertangkap mataku kala angin bertiup kencang menyingkap rambut tebal yang menutupnya.

"Siapa sebenarnya Kisanak?" tanyaku seraya menelisik wajahnya.

Ia tersenyum, batu kebiruan di lehernya berpendar halus.

"Aku Sang Waktu."

Aku tertegun, lupa sudah pada rasa lapar yang merongrong sejak pagi.

Angin kembali bertiup, menghalau tudung yang menutupi kepalanya. Rambut hitam pekatnya berkilau ditimpa sinar mentari yang menyusup dari sela dedaunan. Dia sungguh rupawan.

"Jika benar, untuk apa Sang Waktu berkunjung ke tempat kumuh ini?"

Ia tersenyum getir, menoleh ke arah bangunan utama kedai yang sesak. Aku hanya bisa menahan napas kala mendapati semua di sana berhenti bergerak. Semua bak mematung dan kusadari segala sesuatunya sunyi.

"Aku mengunjungi setiap jengkal muka bumi, Kisanak."

Aku terdiam, dan merasakan dingin yang asing. Terus terang aku mulai ketakutan saat ia bangkit dari duduknya dan berdiri.

"Aku hanya ingin tahu sampai kapan aku bisa memperkirakan hidupku."

Aku tercekat, "Bukankah Sang Waktu abadi?" cicitku gemetar.

Dia menoleh padaku. Rupanya yang rupawan sangat agung. Terlalu agung bagiku yang jarang menyaksikan keindahan yang megah.

"Aku abadi, sepanjang Sang Hyang menginginkan aku ada." desisnya.

Aku menahan napas lagi. Ia tersenyum lemah menatapku, tangannya terulur pada wajahku. Jemarinya sangat indah -bak penari, dengan perhiasan emas menutupi setiap jarinya. Rasanya bagai pualam dingin saat bersentuhan kulit wajahku.

Fruits & SeedsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang