M A R C U S

136 20 0
                                    

Genre: YoungAdult

PG +13



M A R C U S

Marcus mencibir, terganggu dengan obrolan para gadis di depannya. Mereka kembali membicarakan kejadian aneh yang terjadi tiga hari lalu, tentang hilangnya si Jerangkong –julukan para siswa untuk model kerangka manusia, dari Laboratorium Biologi. Alkisah, malam itu malam Jum'at. Hujan turun sangat deras. CCTV tidak merekam satu manusiapun memasuki laboratorium Biologi, tapi si Jerangkong bergerak menuju arah pintu.

Maka kisah horor pun di mulai.

Mungkin si Jerangkong kurang piknik, bosan dipakai belajar dan memutuskan untuk ambil cuti dari tugasnya. Bisa jadi. Tapi yang jadi masalah adalah, pintu laboratorium masih terkunci rapat. Apakah dia yang memiliki masa padat begitu punya kemampuan bertransformasi menjadi materi tak kasat mata juga? Jika iya, mengapa baru sekarang dia memutuskan begitu? Padahal semua tahu dia sudah menjadi penghuni tetap laboratorium Biologi semenjak 25 tahun lalu. Sekolah terlalu pelit untuk mengganti material peraga yang kendati uzur tetap kinclong.

Mungkin itu jawabannya! Si Jerangkong minta pensiun. Kebetulan Kepala Sekolah saat ini orangnya menyebalkan, sulit menurunkan dana untuk kegiatan siswa.

Marcus membeliak tak percaya lalu membungkuk, bermaksud meletakkan dahinya di meja karena kasak kusuk anak-anak perempuan di depannya sudah semakin aneh. Tapi terlalu keras sampai Marcus meringis. Siska menoleh dan memandangnya.

"Si Marcus itu ga suka kita ngobrolin Jerangkong depan dia."celetuk Maya.

"Kenapa sih, Kus? Pernah punya masa lalu buruk dengannya?"

Marcus melotot, "Ya kali gue jatuh cinta sama alat peraga!"

Yunita menelisik memandang Marcus, "Lo ga percaya ya kalo dia jalan sendiri kabur dari lab Bio? Bukannya lo kan yang tanggung jawab tentang dia?"

Marcus menghela nafas, mencoba tidak melirik satu pun dari mereka. Malahan tangannya meraih buku catatan Awang yang penuh coretan tidak jelas. Diagram pohon tentang Yang Maha Tinggi serta Unsur-unsur Kimia Pembentuknya. Awang sedang mencoba membuat universe untuk cerita fiksinya, yang konon nan fantastik mendebarkan.

"Kus, lo ngeremehin banget sih. Nanti kalo si Jerangkong ngampirin lo gimana? Minta dibantuin gitu."

Marcus melotot, lurus memandang Siska. Tawa mereka serempak meledak, meledek Marcus yang bertampang masam. Seisi sekolah tahu, betapa Marcus sangat tidak bersahabat dengan kisah-kisah dunia lain. Dulu pun ia pernah punya kisah tak mengenakkan dengan si Jerangkong, tepatnya sih temannya si Jerangkong.

Pernah di masa lalu, sewaktu tahun ajaran baru, Marcus datang kepagian. Dia sudah dengar dari teman-teman bahwa tidak baik seorang diri di Laboratorium Biologi. Terlalu angker soalnya. Selain terletak di sudut terjauh dari pusat keramaian sekolah, puluhan alat peraga di sana katanya pemarah, tapi cuma berani mengganggu orang yang sedang sendirian. Marcus tidak percaya, tentu saja. Bukan dia saja yang sebenarnya tidak percaya. Sayang sekali, justru akhirnya dia yang pertama mendapatkan pengalaman tidak enak. Dari si Tubuh Peraga Organ dan Otot yang setengah manekin indah sedang setengah lainnya bak korban luka bakar. Persis Two Faces. Marcus cukup yakin, mata di bagian yang buruk itu berputar-putar mengerling mengikuti pergerakan dirinya. Tidak tahan, ia keluar dengan muka pucat pasi serta keringat dingin. Menjadi pusat perhatian saat memasuki kantin yang separuh ramai. Para senior hanya tertawa, sudah paham. Selalu ada kejadian begitu di awal tahun.

Marcus juga pernah dengar, sering menertawakan senior-senior yang jadi korban. Sungguh sial justru dirinya yang terpilih menempati posisi itu, katakanlah tumbal demi teman-teman satu angkatan. Lalu kini, si Jerangkong yang menjadi kepala suku Klub Peraga raib! Mana mungkin Marcus tidak gemetar meski sering berkoar-koar tidak percaya hantu dan menganggap kejadian tempo hari itu gegara apes semata. Malang nian akibat kejadian waktu itu, kini ia jadi bahan tertawaan teman-teman sekelasnya. Dia ditertawakan cewek-cewek tengil yang kerap mendramatisir setiap hal. Sering mempermasalahkan warna seragam yang menguning, poni tidak sejajar bahkan kaus kaki tinggi sebelah. Dijadikan bahan olok-olok guna menyenangkan hati. Bisa dibayangkan mereka sungguh bersemangat saat mendapati raut wajah Marcus yang pucat.

"Jadi lo ga drama tuh dulu, waktu bilang mereka beneran jadi hantu?"

Marcus menatap Yunita, "Gue ga mau bahas! Mau kerjain PR!"

Maya melirik buku Awang yang dipegang Marcus. Langsung berkomentar,

"PR apa? Ini mah karangannya Awang tentang dunia dibalik Terabithia!"

Marcus tersenyum kecut. Kasihan dia. Sekarang Siska, Maya dan Yunita menatap ia intens dengan mata yang hanya berkedip sesekali. Marcus tidak habis pikir, bagaimana bisa mata mereka sebesar itu? Memakai lensa kontak supaya eksotis tapi tahan berlama-lama tidak mengedip. Demi apa? Malahan mata Marcus yang terasa perih sekarang. Benar ia diserang lewat sorot mata mereka secara harfiah. Ia mengedip sambil menggedikkan bahu,

"Gedeg ah gue ma lo pade!"tukasnya cepat-cepat beranjak.

"Marcus!"seru Maya mencoba menarik lengannya.

Marcus berkelit, gesit melompati meja supaya tidak disergap Yunita yang juga bergerak.

"Ih! Marcus gitu ih!"

Marcus tak peduli, langsung meluncur keluar kelas meski bel penanda usainya istirahat sebentar lagi akan berkumandang. Ia tak tahan, serius. Bosan dengan tingkah mereka. Setiap kali ada kejadian supranatural dan sebangsanya, ia selalu terkena imbas. Diajak bicara panjang lebar agar menceritakan kejadian yang menimpanya. Seisi sekolah mengenalnya sebagai Marcus si Pucat. Padahal memang kulitnya sudah pucat sejak lahir, bukan akibat terlalu takut tempo hari.

Tak pernah habis pikir Marcus, mengapa banyak teman hanya mementingkan diri mereka sendiri. Memaksanya menceritakan kejadian tersebut berulang-ulang macam grammaphone tua memutar koleksi vinyl Evergreen. Melelahkan. Marcus pahami separuh teori ekonomi tentang demand. Semacam itulah yang melanda jiwa teman-temannya. Minta dipenuhi kehausan hasrat bergosipnya. Seingatnya, dia dulu cuma bercerita pada Awang tentang mata yang berputar itu. Tak dinyana, Awang ternyata bermulut bocor. Tidak sampai dua hari, satu sekolah jadi menjulukinya Bocah Yang Terpilih. Terpilih khusus untuk mengurusi para Penunggu Laboratorium Biologi. Ada-ada saja!

Jadi, bagusnya memang Marcus pasang gaya macam produsen yang produknya selalu dikejar pasar. Menahan produk informasi sampai mereka kehausan atau lupa sekalian! Lebih bijak begitu karena Marcus lelah. Dirinya itu penakut, kenapa harus menyandang gelar Bocah Yang Terpilih untuk hal aneh macam itu? Dia pikir dengan IQ rata-ata penghuni sekolahnya yang di atas 120, perkara supranatural begini tidak akan jadi urusan pelik dalam kehidupan mereka.

Memang, Marcus lupa kalau kebiasaan berbincang-bincang itu sebuah situasi yang alami. Bisa dikatakan termasuk kebutuhan dasar primer selain pangan, sandang, papan dan buang air! Manusia itu makhluk sosial, terbukti dengan banyaknya media sosial yang kalau dinalar nihil-nihil saja. Digelari absurd tapi malah mengubah sama sekali budaya berinteraksi manusia era millenial. Yang membuat beragam media sosial memang punya IQ 120 ke atas, tapi yang membudayakan sistem interaksi ini tidak hanya mereka. Harusnya Marcus sadari itu dengan sesadar sadarnya. Terbiasa dengan berbagai drama di dunia ini. Lagipula, gunjingan, atau kita perhalus dengan kalimat "bahan bincang-bincang ringan agar saling mengenal", sedang berusahan mengkukuhkan diri sebagai kebutuhan primer. Sebagai penganan jiwa!

Oh, Tuhan! Nyinyir betul Marcus, si Bocah Penakut dengan gelar Bocah Yang Terpilih di sekolah.

*****

PM 03:14

22.04.15

Fruits & SeedsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang