☕~ALDENA 9

2K 135 0
                                    

H A E D A R   P O V

Haedar sudah bersiap berangkat menuju aula Malik Ibrahim. Ia tidak pernah sekalipun telat dalam menghadiri kegiatan mengaji apapun dimanapun. Sembari menyambut kedatangan abah kyai, Haedar mengisi waktu tersebut dengan melantunkan sholawat Allahu Kafi, sebagai ajakan yang mengacu pada seluruh santri baik putra maupun putri agar segera berangkat.

"Allahumma sholli 'alaa Muhammad. Yaa Robbi sholli 'alaihi Wasalim.. Allahul kaafii... robbunal kaafii... qoshodnal kaafii, wajadnal kaafii.. likuli kaafii.. kafaanal kaafii.. wa ni'mal kaafii alhamdulillah..." lantuan sholawat yang digemakan oleh Haedar dengan penuh rasa hikmat, sekaligus mampu membuat siapapun terkesima dengan suara lembut nan berat khasnya.

Tanpa menunggu lama lagi, sebagian besa santri sudah berkumpul. Dan beberapa saat kemudian, Kyai Qodir rawuh. Pengajian pun dimulai. Suasana hening dan takdzim pun seketika tercipta. Tak ada yang berani mengobrol satu sama lain, karena memang jika hal itu terjadi, maka santri itu akan sangat malu kalau sampau ketahuan oleh kyai Qodir.

"Jadi saya pernah membaca suatu kalimat yang... emm... Ya bisa dibilang ini menyadarkan sekaligus pengingat untuk santriku yang sedang terkena virus merah jambu" kalimat Kyai Qodir barusan disambut tawa malu-malu santri yang merasa dirinya tengah jatuh cinta.

"Dalam syarah Diwan Imam Syafi'i disitu tertera *Bagian dari bala/musibah itu ketika kau mencintai, sementara orang yang kau cintai tidak mencintaimu. Dia memalingkan wajahnya darimu, tapi kau tetap teguh dan tidak berapaling darinya*. Begitu kang, mbak" lanjut kyai Qodir.

"Saya yakin, mesthi santriku ana sing cintane bertepuk sebelah tangan. Ada juga yang dari kalangan sobat Ambyar nah... Jadi, ketika kalian tetap memaksakan untuk tetap mencintai orang tidak mencintaimu, ya itu tadi yang dingendikani imam syafi'i itu termasuk sebagian dari musibah. Nggeh kang Haedar, nggeh?" ungkap kyai Qodir membuat Haedar tersenyum malu. Walau Haedar tak merasa hal demikian seperti yang disampaikan kyai Qodir.

****

"Dar. Beneran ini tadi tumben-tumbennya ngajinya diselingin masalah cinta yah. Mana yang disampaikan itu sama kaya yang aku alamin" ucap Faqih.

Haedar mengepulkan asap rokoknya "Kawus kon! Batinku tadi itu juga langsung tertuju ke kamu, pas banget. Tapi malah yang ditanyain aku. Woh! Celong aku" ucap Haedar yang mengekspresikan ekspres pucat saat ditanyai oleh Kyai.

"Tapi ya aku penasaran sih sebenarnya sama si bocil itu. Apa-apaan dia kalo ketemu aku pasti dia nunduk gitu, alias songong banget sih itu anak. Giliran ke kamu aja mau buka suara." curhat Faqih.

"Aciee.. cie.. cemburu ni ye. Ya lagian kamunya juga nggak mau memulai pecakapan atau paling engak ya, apalah. Kamu kan orangnya lumayan sinting nih, masa gitu aja nggak bisa bikin dia setidaknya senyum gitu kalo ketemu" jelas Haedar.

"Nah.. Nah.. itu yang aku heranin juga sama diriku sendiri. Padahal ibaratnya nih, cewe mana yang nggak kepincut pas aku ajak ngobrol. Cuman si bocil satu ini aja sih yang aneh. Nggak tau aja si mamas ganteng ini udah ngincer dia. Awas aja ya kalo nantinyaaku udah akrab sama dia."

Mendengar ungkapan Faqih barusan, lagi-lagi Haedar merasakan sesuatu yang tidak nyaman di hatinya. Seharusnya ia senang, ia bangga, dan ia mendukung ketika sahabatnya yang satu ini telah meneukan wanita yang disukainya. Tapi ini? ah, entahlah.

Faqih mengibaskan telapak tanganya di depa wajah Haedar. "Woi!" 

Haedar mengerjapkan matanya. Ia coba menempis seluruh pikiran-pikirannya yang seharusnya tidak terpikirkan. "Nggak. Nggak. Nggak boleh, nggak" reflek Haedar. Faqih mengerutkan keningnya dan menatap Haedar dengan penuh tanya. 

"Nggak boleh apa maksudnya? aku nggak boleh deket gitu sama, Aldena?" tanya HAedar

"Nggak gitu. Ya, silahkan aja. Cepetan ungkapin, apa mau musyawarah dulu sama Alwi. barangkali mau suit siapa yang menang. Yaudah, aku mau nganu dulu ya. adapanggilan alam, gaes" ucap Haedar. Lalu ia bergegas pergi ke kamar mandi. 

****

A L D E N A    P O V     

Kegiatan di malam Selasa kali ini selesai. Tidak ada ativitas lain yang lebih menyenangkan kecuali tidur. Beberapa memilih untuk tidur lebih awal, ada yang musafir antar kamar untuk mencari suka relawan yang ingin mendonasikan secuil pangan, ada juga yang memanfaatkan waktu kosongna untuk sesi curhatc, ada pula yang menyempatkan untuk mencuci pakaiannya.

"Syana. Sibuk nggak? Ke depan komplek yuk" ajak Aya yang sudah membawa beberapa bungkus cemilan ringan di tangannya.

Tanpa basa basi, secepat kilat ia menerima tawaran Aya. Mereka berdua segera menempati lahan kosong yang pas untuk sesi curhat. 

"Nih udah aku bawain makanan banyak kan, nih. Udah curhatooo siro" ucap Aya ambil menghambur-amburkan jajannya.

"Asiyap bosku. Jadi itu gini... gini loh..." ucap Aldena sambil membuka jajan kesukaannya. "Gini nih cara membuka jajan dengan baik dan benar, sesuai dengan prosedur, dan memenuhi protokol, serta tak lupa dengan cara begini pula yang sesuai standar nasional negara kecintaan kita, Indonesia" lanjut Aldena heboh sendiri, lalu ia memakan jajan tersebut.

Aya menatap Aldena dengan tatapan aneh, bibir menyeringai kesamping. Hal yang seharusnya bisa dimaklumi ini semakin lama semakin menjadi-jadi. Benar sekali. Jadi gila lebih tepatnya.

"Errornya kumat nih. Wah persahabatan gue sama lo kayanya sih salah server gini. Bsa-bisanya orng waras kaya gue punya sahabat yang hobinya mempublikasikan kegoblinan kaya dia. Emang yah. Cinta bisa membuat seseorang yang tadinya waras menjadi gila." ucap Aya.

Aldena melotot dan sedikit tersedak mendengar pernyataan Aya barusan. Ia khawatir Aya mengetahui bahwa selama ini ia menyukai seseorang. "Kamu tau sesuatu apa tentang hal yang barusan kamu bilang?" tanya Aldena.

"Harusnya kamu jawab dulu pertanyaanku tadi yang belum kamujawab waktu di mushola. Bukan malah balik tanya. Kamu nyembunyiin apa dari aku? kenapa kamu rahasiain hal yang aku rasa itu menjadi hakku buat tau, tapi kenyataannya?" jawab Aya dengan nada setengah meluapkan asanya yang selama ini juga ia pendam.

"Nggak gitu Aya. Nih... Aku cuman nggak yakin aja sama rasa ini, aku nggak percaya diri atas rasa yang tumbuh selama ini. Aku takut ini cuman sugestiku aja. Terkadang keadaan berpihak padaku, pun sebaliknya. Jadi kurasa belum waktunya buat cerita ini ke kamu. Maaf..." jelas Aldena.

Aya menghela napas panjang. Disisi lain ia kesal karena kenapa Aldena tidak pernah terbesit sedikitpun untuk menceritakan hal yang selama ini membuatnya menjadi bersikap aneh, hingga  membuat pertemanan antara Aldena dan Maira menjadi jauh. Disisi lain juga ia senang karena akhirnya Aldena mau jujur padanya, meski ia belum menyeritakan secara detail dan memberi tahu siapa tuan yang menjadi subjek di setiap puisinya.

"Jujur, sebenarnya aku udah tau hal ini sejak lama. Kenapa aku bungkam? Ya itu Syan. Kamu bakal marah nantinya sama aku karena aku membuka bukumu yang bersifat privasi. Bukankah kamu paling benci hal itu? Jadi aku memilih untuk diam, aku pikir nanti kamu juga bakal cerita sendiri ke aku. Tapi, apa? mana? Ternnyata aku berekspetasi terlalu jauh. Kamu masih tetep aja nggak pernah cerita, sampai akhirnya malam ini aku bener-bener aku pingin kamu jujur, kamu cerita sama aku, Syan" ucap Aya lirih penuh ketegasan namun cukup untuk didengar jelas oleh Aldena.

*****

MAAF PUBLISHNYA JAM SEGINI :)))

MAKASIH BUAT YANG MASIH MAU BACA JAM SEGINI, MILIH WAKTU BEGADANGNYA BUAT BACA KISAH ALDENA, DARIPADA BUAT OVERTHINK APALAGI HALU SAMA CRUSH WKWK

CANDA ZEYENG;*

Cuma Santri BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang