1.6

3.1K 341 14
                                    

Jeongin kira ucapan Bangchan mengenai keinginan untuk mengunjungi orang tuanya hanyalah sekedar bualan khas orang mabuk. Ajaibnya di pagi hari, pria dewasa itu sibuk mengemas pakaiannya dan pakaian Jeongin menjadi satu dalam sebuah koper kecil.

Kemudian tanpa banyak bicara Chan menariknya, membiarkan dirinya duduk nyaman disamping kursi pengemudi. Tidak ada dialog berarti yang terbagi. Baik Chan maupun Joengin sendiri hanya diam seraya menikmati alunan musik dari radio mobil.

Perjalanan dari Seoul menuju Mokpo jelas memakan banyak waktu. Maka di dua jam berikutnya kepala Jeongin mulai terantuk-antuk kedepan karena menahan rasa kantuk. Si kecil ingin tidur, tapi dia takut mungkin saja Bangchan akan memarahinya karena menganggap bahwa meningalkan pria itu menyetir sendirian merupakan tindakan yang tidak sopan.

“Jika mengantuk maka tidurlah.”

Suara dalam pria yang lebih tua mengejutkan Jeongin. Bibir mungilnya ia kulum pelan untuk mengurangi rasa gugup. “T-tapi nanti.. uhm, D-dad.. kesepian.”

Chan terkekeh pelan. Pandangannya masih lurus kedepan, “Aku bahkan sudah kesepian selama belasan tahun, Jeongin. Jadi jangan berbicara seolah kau tahu bagaimana aku dan berhenti bersikap sok perhatian.”

“M-maaf.” Kepalanya menunduk, kecewa karena ucapannya lagi-lagi salah. Seharusnya tadi dia mempertimbangkan harus menjawab bagaimana.

Tidak ada respon berarti dari Bangchan. Jeongin tau itu adalah sinyal tidak langsung yang menyatakan bahwa pria itu tak berniat melanjutkan pembicaraan lebih jauh lagi. Pada akhirnya Jeongin memilih untuk tidur dengan bersandar pada sisian jendela mobil sambil memeluk pinggangnya erat. Dia lapar karena mereka tidak sempat menyantap sarapan, tapi mungkin pikiran untuk mengadu harus dia simpan dalam sudut pikirannya. Jeongin tidak ingin mengambil resiko.

Tidak butuh waktu lama untuk si kecil benar-benar terlelap. Hanya beberapa menit terlewat dan Jeongin sudah mengarungi dunia penuh kapas dan peri ajaib, melihat itu Bangchan hanya tertawa remeh, atau mungkin kagum melihat betapa kecil, rapuh, dan penurutnya seorang Jeongin.

Bangchan sempat berpikir keputusannya untuk pergi ke Mokpo adalah tindakan gila, terlebih sambil mengajak Jeongin. Dia mungkin bisa saja mengunci anak itu di kamar. Masalahnya adalah Jane yang tidak kunjung kembali dan itu membuatnya harus mempertimbangkan orang lain untuk menjaga Joengin; tidak untuk Minho sekalipun.

Jujur kemarin malam Chan tidak benar-benar mabuk. Pria itu mengingat hampir semua rentetan kejadian dari mulai dia dipukuli oleh orang-orang sialan di bar, sampai kepada Jeongin yang mengobati lukanya. Mungkin karena memang rindu, Chan mengucakan kata-kata tentang bagaimana dia ingin mengunjungi orangtuanya.

Sejak masuk SMA, dia tidak pernah lagi mengunjungi ayah dan ibunya, bahkan dia ragu apakah mereka masih mau menerimanya karena Chan tidak pernah berusaha menjalin kontak sekalipun. Hanya kabar singkat tentang keadan orang tua Chan yang masih sehat dan berkecukupan dari Minho (yang dia perintahkan untuk memantau keadaan ayah dan ibunya dua bulan sekali) yang mampu membat Chan bisa bernapas lega.

Dan sekarang dia tidak ingin menunda. Selagi ada kesempatan, dia ingin kembali. Chan merindukan saat dimana dia menjadi si kecil kesayangan ayah dan ibunya. Oh, terdengar sangat bukan Bangchan sekali.

Beberapa kali guncangan kecil mampu membangunkan Jeongin dari tidur lelapnya. Manik rubah sekelam langit malam itu menatap kagum kearah jendela yang menampilkan pemandangan luas sawah dimana sebagian sudah nyaris menguning dan siap panen.

Beberapa burung camar terbang landai, ada juga yang bertengger di tiang listrik kecil disamping jalan. Rumah-rumah penduduknya kebanyakan masih sederhana, tapi asri dan nyaman dilihat karena banyak ditumbuhi bunga dan beberapa pohon buah. Jeongin menyukai suasananya, sejuk dan tenang.

despacito | chanjeong ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang