Dua

165 49 5
                                    

Leo menikmati hidup nya di kota yang sekarang ini ia tempati. Suasana kota yang masih sepi jauh dari kebisingan membuatnya sedikit bisa hidup tenang. Perumahan juga tidak sepadat saat dikotanya dulu.
Meski tanpa sang istri tercinta,ia berusaha melewati kepahitan hidupnya.

Sore itu,hujan deras mengguyur kota itu. Leo menikmati secangkir kopi sambil menikmati hujan turun. Angin begitu dingin menyentuh kulitnya. Terlihat dibalik cendela, suasana jalan tertutup hujan lebat. Tak ada satu orang pun atau bahkan kendaraan yang lalu lalang disana. Diluar terlihat sangatlah sepi. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan katak yang sedang berlomba beradu suara.

Satu jam lamanya,hujan deras masih mengguyur kota itu. Malam rupanya sudah tak sabar ingin menggantikan kedudukan sore. Nampak cahaya remang dari lampu ujung jalan yang sudah menyala. Leo meneguk ampas kopi yang tersisa dan beranjak dari tempat duduknya.

Leo mengambil handuk dan menuju kamar mandi disamping kamarnya. Percikan-percikan air yang mengalir dari shower membasahi tubuhnya. Ia nampak melepaskan beban pikirannya lewat siraman air dingin itu. Sesekali tubuhnya juga menggigil kedinginan. Seketika itu juga,ia menyudahi mandinya dan meraih handuk untuk menutupi tubuhnya.

Setelah itu,ia berjalan menuju dapur dengan tubuh masih terlilit handuk. Masih terlihat sisa air bekas mandi membasahi kulit putihnya itu. Sendari tadi juga perutnya sudah keroncongan tak karuan. Ia mencari sesuatu yang bisa ia makan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Namun, yang ada hanyalah mie instan. Dan segera saja ia memasak mie tersebut. Setelah selesai,ia berjalan menuju kamar untuk berganti baju. Tak lupa menyisir rambutnya dan memakai parfum favoritnya.

Diruang tengah,ia menikmati mie rebus buatnnya. Ia menyalakan televisi untuk menemani rasa sepinya. Leo begitu lahap sekali memakan mie tersebut. Suasana dingin memang cocok ditemani makanan yang hangat,mie rebus misalnya. Sesekali ia juga tertawa kecil menyaksikan acara komedi yang sangat lucu di TV itu. Ia terus menyendok mie di mangkok yang hanya tersisa kuahnya tersebut tanpa sadar.

"Hemb.,udah abis aja ni mie di mangkok" batin Leo.

Di kamarnya Leo menyandarkan kepalanya ditembok. Ia menyalakan sebatang rokok untuk menghilangkan kesumpekan di fikirannya. Sesekali asap mengepul ke luar dari mulutnya. Ia merasakan bahwa rokok lah yang mampu menemani setiap kejenuhannya. Selama tinggal di kota ini pun, ia belum pernah pergi jauh dari rumahnya.

Sebatang rokok telah menemani kesendiriannya. Ia mengambil sebatang rokok lagi dan menyalakannya kembali. Leo mengepulkan asap rokok dari mulut dan hidungnya. Sesekali matanya menatap ke arah jam yang aja dimeja kamarnya. Terlihat waktu menunjukan pukul 20:45 WIB.

"Masih sangat sore rupanya" ujar Leo.

Malam semakin larut. Leo masih menikmati rokok yang ada dijemari tangannya. Entah ia sudah menyalakan rokok yang keberapa kalinya. Ia begitu nampak menikmatinya. Rasa kantuk pun juga belum mau mendekat kepadanya.

Seketika,pandangnya tertuju pada foto dimeja samping kamarnya. Segera diraihnya foto tersebut dan dipandangi penuh kerinduan. Hanya tersisa foto Sagitarius dibalik kaca figura itu bersama kenangan manisnya. Kenangan yang selalu tersimpan rapi dalam memori ingatannya.

Leo terus memandangi foto tersebut tanpa henti. Jemari lentiknya terus bermain diatas foto tersebut. Air mata pun jatuh dari kedua matanya. Rasanya,Leo masih tidak percaya akan secepat ini kepergian istrinya. Meskipun telah berusaha mengikhlaskan,namun rasanya tetap begitu berat untuknya.

Jarum jam terus berputar tanpa berhenti sedetik pun. Leo sedikit menguap menahan rasa kantuk. Ia masih belum ingin memejamkan kedua matanya. Merasa lelah bersandar, Leo pun membaringkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap setiap langit-langit kamarnya. Ia menguap dan menguap untuk kesekian kalinya. Barulah ketika jam menunjukkan pukul 23.25 WIB, Leo tertidur pulas.

Wind  Of  LongingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang