3 AM

11 3 0
                                    

Sumber : http://googleweblight.com/i?u=http://sicreepy.blogspot.com/&hl=id-ID

Sembari aku meringkuk ketakutan oleh sebab semua yang telah kusaksikan, aku kemudian menengadah dan aku pun melihat siapa pelakunya..

*********

Aku terperanjat bangun, terengah-engah. Aku baru saja bermimpi tapi aku tak dapat mengingatnya. Kuenyahkan perasaan ganjil yang menggangguku lalu melihat ke arah jam, pukul 3 am. Aku tak pernah takut akan kegelapan namun ada sesuatu yang tidak biasa malam ini. Aku merasa kalau seseorang mengawasiku.

Aku tinggal di sebuah rumah dua lantai yang dilengkapi banyak cermin. Ayahku telah mengatur cermin-cermin itu supaya jika kau berdiri di posisi yang tepat, maka kau bisa mengamati seluruh ruangan namun sosokmu takkan terlihat.

Aku memiliki indra pendengaran yang sangat akurat. Sebagai contoh, aku bahkan bisa mendengar suara kucingku melompat ke atas sofa di ruang tengah sementara aku sedang berada di kamarku lantai dua. Aku punya firasat tajam jika ada sesuatu yang tidak wajar. Dan aku merasakan firasat itu saat ini.

Tiba-tiba telpon berdering. Tanpa curiga aku bangkit dari ranjang untuk menjawabnya. Namun yang kudengar adalah suara nafas dengan ritme sama seperti nafasku. Aku pun menutupnya.

Semua lampu mati. Padahal aku yakin tadi meninggalkan lampu ruang tengah dalam keadaan menyala. Maka aku turun ke lantai bawah untuk menghidupkan lampunya. Mataku langsung terbelalak saat mendapati pintu belakang terbuka lebar. Dengan sigap aku berjingkat meloncati perabotan dan tidak berjalan di jalur yang biasa karena aku ingin segera menutup pintunya.Aku berpikir,

"Percuma saja aku loncat loncat, toh jarak menuju ke pintu tidak jadi lebih pendek..."Aku pun menganggapnya sebagai gerak refleks.

Keadaan gelap gulita jadi kutajamkan pendengaranku. Sambil meraba-raba dinding, aku melangkah ke dapur. Sampai di dapur, aku mengambil pisau besar yang tergeletak di bak cuci, kemudian bersiap untuk menyerang. Aku mencoba mengendalikan ketakutanku.

Lalu aku mendengar suara tetesan air di bak cuci. Aku menjulurkan tangan untuk meraba tutup keran yang ternyata sudah kencang. Kemudian aku meraba sakelar lampu dan memencetnya. Ketika lampu telah hidup terlihatlah olehku sebuah pemandangan mengerikan hingga membuatku terperanjat. Sumber dari suara tetesan yang dari tadi ku dengar. Bangkai kucingku tergantung di atas bak cuci, tubuhnya terbedah membuka mulai dari bagian leher ke bawah. Darahnya menggenangi bak cuci, dan suara tetesan itu adalah darahnya menetes melalui ekornya. Tangan beserta pisauku berlumuran darah. Tampak sesuatu tertulis diatas meja dapur dengan darah,

"Lihat dengan telingamu bukan dengan matamu. Atau kau akan benar-benar terkejut."

Lalu tanpa peringatan apapun lampu mendadak padam. Bersamaan dengan mataku mulai beradaptasi, aku menajamkan pendengaranku guna mendeteksi adanya suara apapun. Bunyi 'BLAM' menggema dari pintu belakang, saking terkejutnya aku meloncat hingga tubuhku membentur kulkas. Suara 'blam' itu terus berlanjut namun semakin pelan dan pelan hingga tak terdengar lagi.

Aku kembali menyusuri dinding dan meraba pintu lemari lalu meraih tongkat kastiku. Aku melangkah ke pintu belakang dengan mencengkeram tongkat kasti didepan wajah. Aku menjerit tertahan setelah membuka pintunya. Tubuh ayahku tergantung dengan kabel komputer menjerat lehernya. Kabel itu terjulur dari kamarnya di lantai atas, dan mayatnya tergantung di luar jendela. Ketika tubuhnya berayun, kulihat secarik catatan tertempel di dadanya,

"Satu beres, kurang dua. Kau yang terakhir, jadi nikmatilah pertunjukannya."

Kemudian kudengar suara tawa jahat melengking, mendirikan bulu romaku. Suara itu datang dari segala arah. Sekali lagi aku mendengarkan dengan seksama, dan kudengar langkah kaki berjinjit berlari cepat dari lantai atas. Aku mengacuhkannya, lalu pergi memeriksa kotak sirkuit listrik. Ketika aku membukanya, kudapati sebuah catatan bertuliskan,

"Lampunya mati untuk suatu alasan, kau bisa menyalakannya kalau mau. Tapi bersiaplah, pemandangan selanjutnya akan mengguncang jiwamu."

Kusobek catatan itu dan menekan sakelarnya.

"Aku sudah memperingatkanmu!," terdengar suara berseru sambil tertawa riang. Dan benar saja, kulihat di hadapanku kini terhiasi oleh mayat dari sepuluh orang yang bahkan tak kukenal tergantung dengan beragam posisi.

Aku jatuh berlutut menyaksikannya. Ada yang tergantung dari leher, ada yang terbalik dari jempol, dan beberapa bergelantungan dengan rumbaian rambut mereka. Mulut mereka menganga dan mata mereka semua telah dicongkel. Tinggi gantungan mereka sekitar satu kaki diatasku.Saat itu walaupun aku tak dapat menahan tangis, aku tetap bangkit berdiri. Aku memutuskan untuk menghadapi siapapun pembunuh gila ini.

Aku berjalan menuju tangga, namun mataku terus melihat ke arah mayat-mayat itu. Mendadak sebuah suara seperti sesuatu menggelinding ke bawah yang berasal dari puncak tangga terdengar olehku. Setelah ku tengok, ternyata itu adalah potongan tangan berlumur darah. Kemudian lagi, kali ini potongan kaki. Lalu tangan, lalu kaki, dan akhirnya kepala. Kepala ibuku.

Aku tercekat dan merangsek mundur sampai punggungku menempel ke pojok ruangan, lalu aku menoleh ke arah cermin-cermin di sekelilingku. Semua cermin memantulkan sosok para mayat, dan mayat-mayat itu memelototiku. Lututku bergetar hingga aku jatuh terduduk, lalu aku mulai menangis gemetaran.Sembari aku meringkuk ketakutan oleh sebab semua yang telah kusaksikan, aku kemudian menengadah dan akupun melihat siapa pelakunya. Aku menengadah ke arah satu-satunya cermin yang terpasang di langit-langit, dan disana terpantul sosok si pembunuh, monster yang telah melakukan semua ini. Yaitu aku.

Mimpiku berkelebat cepat dalam ingatanku. Aku adalah pembunuh berantai buron. Aku membantai orang dari rumah ke rumah. Aku membunuh semua yang hidup sesadis mungkin, menyiksa dulu sebelum menghabisi para korbanku. Aku menyerang para korban selanjutnya setiap kali aku terbangun.

Dalam pantulan cermin itu, kulihat diriku bermandikan darah, berdiri dengan senyum bengis di wajah. Kemudian kudengar suara sintingku berkata,

"Sudah kubilang kan, kau yang terakhir,"

Dan tanpa ragu, aku menggorok leherku sendiri, sambil terus tersenyum kurasakan tubuhku mengejang dan memucat. Sembari penglihatanku semakin menggelap ku dengar sebuah suara jahat berkata,

"Selamat datang di rumah."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Enjoy it. Don't forget to vote and comment. See you guys.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc

BACAAN TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang