3. Teror

258 61 12
                                    

Written by Iniinem

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Written by Iniinem

Aditya Pranadipa, bungsu dari seorang arsitek ternama. Ditinggal sejak kecil oleh sang mama membuat hidupnya kekurangan kasih sayang seorang ibu. Di rumah yang besar dan mewah ini, ia hanya tinggal bertiga dengan papa dan nenek yang sudah rentah.

Mamanya pergi meninggalkan mereka semua demi seorang laki-laki yang lebih kaya dari papanya. Adit yang masih terlalu dini waktu itu menyaksikan sang mama selingkuh dengan sahabat papa.

Karena hal itu pula, ia tak pernah percaya dengan gadis mana pun. Bahkan, ketika sahabat-sahabatnya yang lain maniak pacaran, Adit masih memilih untuk sendiri. Karena sudah tak ada lagi gadis yang dapat ia percaya.

Seperti biasa keadaan rumahnya sangat gelap dan sepi, jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Neneknya tentu sudah tertidur pulas, sedangkan papa sedang dinas ke luar kota untuk beberapa hari.

Adit duduk sendiri di ruang keluarga dengan televisi menyala yang menayangkan sebuah film horor khas Indonesia. Matanya memang menatap ke arah televisi, namun pikiran melayang entah ke mana.

Samar-samar, ia mendengar suara wanita menangis dari arah dapur. Dahinya mengernyit heran. Suara siapa itu? Adit yakin sekali bahwa neneknya sudah tertidur pulas sejak empat jam yang lalu.

Laki-laki bermata besar itu masih mencoba untuk berpikir positif, mungkin itu hanya halusinasinya saja. Kebetulan saat ini ia sedang menonton film horor, bisa jadi otaknya tersugesti oleh suara-suara aneh semacam itu.

Tak lama kemudian, ia mendengar suara benda terlempar yang cukup keras dari arah dapur, disusul oleh padamnya lampu ruangan yang ia tempati saat ini.

Jantungnya mulai berdebar tak karuan, otaknya sudah tak bisa diajak berpikir logis lagi. Dengan cekatan ia menyalakan fitur senter di ponsel, lalu berjalan menuju sakelar lampu dan menghidupkannya.

Karena ia sangat penasaran dengan interaksi yang ada di dapur tadi, kini ia memberanikan diri untuk mengecek. Keadaan dapur masih seperti terakhir ia tinggalkan, tak ada barang apa pun yang jatuh dan terlempar.

Hal ini sangat membuatnya bingung, entah apa yang terjadi. Dalam keadaan lampu dapur yang remang-remang, Adit menduduki meja pantry dan berusaha menghubungi Ekal untuk bercerita agar mengurangi rasa takutnya.

Jelas saja, ini tepat seminggu setelah mereka berempat memainkan permainan pemanggil arwah itu.

"Halo," sapanya ketika panggilan dijawab dan tersambung.

Ekal tak kunjung berbicara membalas sapaannya. Ia menatap layar ponsel untuk memastikan kalau panggilan ini masih berlangsung. Namun, tiba-tiba seseorang membisikkan sebuah kalimat tepat di telinga kanannya.

The Game [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang