22. Balas Dendam

93 29 0
                                    

Written by Iniinem

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Written by Iniinem

Ribuan tetes air hujan yang menghantam jalan menciptakan suara merdu. Suara petir menggelegar juga ikut andil dalam mengusung malam kelam ini. Bau tanah basah menyelundup lewat pinggiran jendela kamar yang tidak tertutup rapat.

Seorang laki-laki paruh baya terbaring lemah di ranjangnya. Selang oksigen turut menemani istirahatnya di malam dingin ini. Matanya memang terpejam, tapi seluruh pikirannya tak pernah berhenti untuk berkelana.

Mengingat lagi ke arah masa lalu yang bagai ladang dosa, ia merasa bahwa dirinya sudah tak pantas disebut manusia lagi. Semua tingkahnya tidak seperti manusia pada umumnya. Benar kata Sanjaya, dia ini iblis.

Ia melirik Ekal yang tertidur pulas di sofa pojok ruangan. Lazuardi tak habis pikir, bahkan setelah dirinya berniat untuk mengorbankan anak itu, Ekal masih mau menemani dirinya di saat terakhir seperti ini.

Sebuah bau tak asing merasuki indra penciumannya. Bau yang seminggu terakhir ini selalu meneror setiap malamnya hingga ia terkena serangan jantung dan berakhir di ranjang rumah sakit.

Bau bunga melati yang perlahan berubah jadi bau bangkai busuk. Lazuardi memejamkan matanya, ah tidak lagi. Jangan sekarang.

Setitik darah menetes dari langit-langit ruangan menodai selimut putih yang ia kenakan, lama-lama tetesannya menjadi deras. Sederas hujan di luar sana, selimutnya kini sudah berwarna merah darah dengan bau yang sangat mengganggu.

Sungguh, ia tak akan punya nyali yang cukup jika menoleh ke arah langit-langit sekarang. Ia tak mau wajah itu kembali menghantui hari-harinya yang sudah sengsara.

Lazuardi mencoba untuk tak takut, bukankah hal seperti ini sudah biasa ia lihat? Berliter-liter darah manusia, potongan tubuh, jeritan mereka ketika organ dalamnya dicabut dengan cara menariknya tak berperasaan, bahkan saat-saat menjelang ajal pun sudah ia hafal di luar kepala.

Pandangannya beralih ke arah jendela yang menghadap langsung ke luar, gorden masih terbuka menampakkan rintikan hujan di luar sana dan membuat kaca berembun. Mungkin Ekal lupa menutupnya tadi.

Sebuah penampakan telapak tangan terlihat jelas di jendela itu, tangan kotor penuh tanah merah. Lalu, diikuti dengan kehadiran tangan lainnya. Satu pasang, dua pasang, kini sisi bawah jendela dihiasi dengan penampakan puluhan pasang tangan yang kotor.

Lazuardi masih menahannya, sekarang satu kepala muncul dari balik jendela. Laki-laki itu menahan napas dan berdoa semoga wajah dari kepala itu tidak semenyeramkan yang ia pikir. Perlahan menjadi dua kepala, tiga kepala, dan menjadi puluhan kepala yang berteriak tolong serta menuntut balas.

Sialnya, doa itu tak terkabul. Wajah dari mereka benar-benar menjijikan, satu kepala berteriak meminta tolong hingga bola matanya terlepas dan jatuh. Satu lagi mencoba untuk menuntut balas dengan senyuman yang amat lebar. Senyuman dari bibir yang robek sampai telinga.

The Game [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang