11. Detik Terakhir

139 43 5
                                    

Dua orang laki-laki berbadan besar dengan pakaian serba hitam mengintip dari balik batang pohon beringin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua orang laki-laki berbadan besar dengan pakaian serba hitam mengintip dari balik batang pohon beringin. Keduanya memakai topeng full face berwarna senada. Memandang sebuah objek yang sedang berjalan kaki sendirian di tengah gelapnya malam.

Tampak salah satu dari orang itu mengeluarkan walkie talkie, benda yang berbentuk seperti ponsel. Namun, terdapat antena panjang di atasnya.

Alat ini memiliki dua fungsi, yaitu berbicara dan mendengar. Walkie Talkie dikenal juga dengan sebutan Two Way Radio ataupun radio dua arah yang dapat melakukan kegiatan berbicara dan mendengar lawan bicara secara bergantian.

Setelah mengucapkan beberapa kata pada alat komunikasi digenggaman tangannya itu, ia melirik ke arah sebuah pohon besar yang berada tak jauh dari pohon tempatnya bersembunyi.

"Kalian enggak ada rencana buat hibur gue gitu?" Ekal terlihat berbicara sendiri, seolah ada dua orang yang berjalan di sisi kiri dan kanannya. Mungkin hanya tim jurnalrisa yang bisa melihat keberadaan 'orang' yang Ekal maksud.

Sukma hanya menanggapi ucapan Ekal dengan dengkusan, lalu berucap sarkas, "Kami hantu, bukan badut."

Ekal mengerucutkan bibirnya, padahal ia sedang butuh hiburan atas semua yang telah terjadi malam ini. Kabar baik, ia sudah melaporkan semua itu ke polisi. Bahkan, ia juga sudah menemukan seseorang yang tepat.

"Cay, kita enggak mau lomba lari?" tanya Ekal dengan jahil pada sesosok pocong putih di sebelah kanannya. Tiba-tiba angin malam yang dingin bertiup ke arah Ekal bersamaan dengan tatapan tajam yang dilemparkan Pocay.

Ekal kelabakan setengah mati. "Bercanda, Cay. Baperan banget jadi pocong." Sukma hanya bisa menggelengkan kepala melihat dua rekannya ini.

Ekal melirik jam tangan yang kacanya telah retak terbentur dinding, namun jarumnya masih berdetak dengan lancar. "Satu jam lagi, kita enggak punya banyak waktu."

Sukma mengangguk kecil, matanya melihat sebuah pergerakan dari arah pohon besar. Tiba-tiba keluar dua orang berbadan besar dengan pakaian serba hitam yang berjalan mengendap-endap menuju Ekal, wajah mereka ditutupi oleh topeng sehingga sangat sulit untuk dikenali.

Sukma membiarkan hal itu, tanpa memberitahu Ekal bahwa ada yang sedang mencoba menyakitinya. "Hmppfth." Ekal meronta-ronta ketika mulutnya dibekap menggunakan kain berbau tak sedap. Sampai akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri. Tubuhnya diseret dan dimasukkan ke dalam mobil Jeep hijau army. Pocay dan Sukma saling bertatapan, lalu hilang begitu saja.

***


Perlahan dua netra berpupil coklat kehitaman itu terbuka. Masih dengan pandangan buram, ia berusaha melihat keadaan sekitar. Menyapu pandang ditemani rasa pusing yang mendera.

Ia ada di sebuah ruangan kecil dengan satu lampu bohlam menggantung tepat di atas kepala, tubuhnya terduduk di kursi kayu dengan kedua tangan terikat di pegangan kursi. Kakinya juga terikat, terlihat beberapa goresan dan luka lebam di lengan dan betisnya.

Laki-laki itu memejamkan mata, berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Tadi ia sedang berjalan bersama Pocay dan Sukma untuk pulang ke rumah demi mencari petunjuk tempat mama dan adiknya disekap. Namun, setelah itu ia tak mengingat apa-apa lagi.

Tepat dari pintu yang berada tak jauh di depannya, masuklah dua laki-laki berpakaian serba hitam yang ia duga sebagai orang yang telah menculik dan membawanya ke tempat ini.

Ekal melempar tatapan tajam, mengamati wajah dari keduanya yang hanya terlihat mata saja.

"Siapa kalian?" Dua orang itu hanya diam, terlihat mereka saling berbisik seperti merundingkan sesuatu.

"Lepasin gue, siapa kalian sebenarnya?" tanya Ekal yang mulai tersulut emosinya. Dua orang itu masih diam, sampai akhirnya satu dari dua orang itu berjalan mendekati Ekal. Mengeluarkan gulungan lakban hitam besar dari tas kecil yang dibawanya.

Tahu bahwa mulutnya akan ditutup lakban, jelas saja Ekal meronta-ronta. Mencoba menjauhkan wajah, namun kedua tangan dan kakinya terikat tambang yang cukup kuat. Sudah pasti akan sulit dan tak akan berhasil.

Dengan mulut yang tertutup, Ekal berteriak meminta tolong. Meskipun tahu tak akan ada yang mendengarnya dari luar. Sepertinya ruangan ini kedap suara.

Satu dari dua orang itu berjalan mendekati Ekal sambil menyeret tongkat baseball yang sedari tadi tersandar di dinding sisi kanan. Namun anehnya lakban hitam itu dilepas dengan kasar lagi. Ekal memalingkan wajah menahan perih.

"Mau apa lo berdua, hah?" gertak Ekal tak kuasa menahan marah. Perlahan tongkat itu terangkat ke udara dan terlihat diayunkan ke arah perut Ekal.

Teriakan yang sangat kencang dan pilu terdengar memenuhi ruangan. Cairan merah kental menyembur keluar dan mengotori lantai putih bersih.

Sementara itu di ruangan yang berbeda Adit, Aldi, dan Mola terkejut sampai berdekapan satu sama lain ketika pintu dari ruangan itu tertutup keras dan terdengar suara seperti ada yang menguncinya dari luar.

Keheningan melanda selama beberapa detik sebelum akhirnya mereka bertiga menyadari bahwa masih dalam posisi berpelukan.

Mola mengusap wajahnya yang memias, jantungnya masih berdebar. Dengan napas tersenggal ia mengintimidasi kedua sahabatnya. "Refleks kita bertiga jelek banget, enggak ada yang lebih gagah?"

Belum sempat Aldi membalas perkataan Mola, sebuah suara terdengar memenuhi ruangan itu. Mereka bertiga mengernyit, siapa yang tiba-tiba memasang speaker di pojok atas ruangan?

"Bagaimana kabar kalian?"

Adit, Aldi, dan Mola mengernyit bingung karena merasa tak asing dengan suara berat ini.

"Hanya tinggal menghitung detik, kesempatan kalian untuk menjelajahi dunia yang indah ini akan habis."

Suara itu hilang bersamaan dengan munculnya timer di bawah speaker berdurasi 30 detik yang menghitung mundur.

Adit, Aldi, dan Mola kembali saling menatap satu sama lain. Tak ada lagi tatapan jenaka, tak ada lagi tawa tulus yang keluar dari mulut mereka hanya karena hal receh. Tak ada lagi ucapan sarkas Mola yang menghujat sahabat-sahabatnya. Satu lagi, tak akan pernah ada sosok Ekal yang konyol di sisi mereka bahkan di saat terakhir seperti ini.

Timer terus saja berjalan, menghitung mundur dan telah mencapai detik ke dua puluh. Entah mengapa tak ada lagi perasaan cemas di hati mereka, yang ada hanya rasa pasrah dan putus asa.

 Entah mengapa tak ada lagi perasaan cemas di hati mereka, yang ada hanya rasa pasrah dan putus asa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Game [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang