2. Cakra Arestian

3.9K 335 78
                                    

2. Cakra Arestian

Cakra Arestian.

Terlampau senyap untuk diterka. Dingin yang menyelimuti tampang rupawannya kadangkala membuat bergidik. Satu waktu bisa sangat menakutkan. Di waktu lain bisa sangat membuat penasaran.

Ares, begitu dia dipanggil, menguasai beberapa skill. Dalam bahasa sederhananya, sebut saja ; memperbaiki mobil rusak - dan kendaraan lain, trek liar alias adu balap motor yang kebanyakan dia juarai, juga fight alias bertarung. Kendati setiap pertarungan yang diikutinya ilegal, Ares terhitung atlet tinju terkuat bersisian dengan Markus di pusat kebugaran. Bagaimana tidak? Ares besar di jalanan sejak usia 13 tahun - usia di mana sang papa menyusul mendiang mamanya ke akhirat dengan cara bunuh diri akibat frustasi bangkrut - lalu sempurna menjadi berandal tiga tahun berikutnya, kadangkala menjadi tonggak kekuatan teman-temannya saat tawuran antar sekolah maupun preman jalanan.

"Mas Cakra?"

Ares tidak jadi melangkah saat suara halus itu memanggilnya. Padahal dia sudah sepelan mungkin membuka pintu. Namun agaknya wanita itu memang menunggu kepulangannya.

"Kebangun?" Ares masuk ke kamar, duduk di samping ranjang.

"Enggak. Aku emang belum tidur, tadi cuma pejamin mata aja, tapi ternyata gak tidur-tidur juga."

"Mikirin apa?" Halus sekali suara Ares bertanya.

Wanita itu, Alia Rahma, memelinting ujung selimutnya, menggigit bibir seraya menurunkan pandangan. Dan tidak butuh waktu lama bagi Ares untuk paham. "Tidur, udah malem." Ditepuknya puncak kepala itu.

"Mas di sini aja ya?"

"Aku mau mandi."

"Ini udah lewat tengah malam, Mas."

"Gerah, Li. Besok pagi aja kita jalan-jalan, gimana?"

Alia mengangguk semangat. Ares terkekeh. "Yaudah sekarang tidur."

Dan bujukan itu berhasil. Alia memejamkan mata usai Ares menaikkan selimutnya. Ares lebih dari tahu, bahwa wanita yang dikenalnya sejak jaman SMA itu selalu antusias tiap kali mendapat ajakan jalan-jalan keluar.

Ditengoknya kursi roda di sudut ruangan, bersisian dengan tongkat sebagai alternatif lain jika Alia bosan. Ares mengembus napas. Entah kenapa, melihat dua alat penyangga kaki itu selalu membuatnya sesak. Lebih sesak ketika melihat Alia menggunakannya.

Ares beranjak dan menutup pintu kamar. Flat sederhana mereka berdekatan. Sengaja dibuat begitu karena Alia tidak mau hidup jauh-jauh darinya. Ares di lantai atas, bersisian dengan Dion. Dan Alia di lantai bawah, bersama bibinya, Bibi Padma. Markus kadangkala menginap dan meramaikan keheningan malam di lingkungan tempatnya tinggal, bersahutan dengan deru kendaraan. Sebenarnya, itu bangunan ruko dua tingkat. Tapi Ares dan yang lain sudah terbiasa menyebutnya Flat. Ruko itu merupakan peninggalan mendiang ayah dari Alia, dan berada di dekat jalan raya metropolitan dengan billboard besar menghadap tepat ke tempatnya tinggal.

Satu persatu anak tangga Ares naiki. Badannya serasa remuk. Seharian penuh dia membongkar mesin mobil, memperbaiki, hingga memastikan kendaraan-kendaraan itu menyala dan bisa dikendarai, lalu ditambah dengan latihan fisik di pusat kebugaran, yang sebenarnya tidak wajib-wajib amat. Ares hanya tetiba ingin memukuli samsak sampai puas.

Dan seperti hari-hari sebelumnya. Tepat kala dua kakinya menapak di depan flat, di teras yang lumayan luas, billboard di depan sana masih menampilkan iklan serupa, dengan bintang iklan yang juga masih sama.

Trivanya.

Aktris ternama yang Ares ketahui sedang naik daun dan wara-wiri di mana-mana. Kenapa Ares tahu? Karena Alia mengaguminya. Alia bilang, kecantikan Trivanya berbeda, lebih dari sekadar fisik dan rupa. Saat Ares bertanya tahu dari mana, Alia hanya menjawab, feeling sesama perempuan. Namun tak jarang juga Ares dapati Alia menunduk pilu, minder dan merasa rendah diri.

[✓] Private BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang