10. Akibat Kecerobohan (2)
Riv sedang menyedot susu kotaknya di atas sofa ketika bel pintu berbunyi. Diambilnya ponsel, lalu ditekannya nomor 2, panggilan cepat pada nomor ponsel Ares. "Buka aja sendiri, gue mager."
Maka usai titah berisi kemalasan itu dia katakan, pintu pun terbuka. Riv memang telah memberikan kartu akses pada pengawalnya itu. "Masih banyak gak?"
"Enggak. Cuma satu dua aja." Ares duduk di sampingnya, mengamatinya yang tak lepas menyedot susu kotak rasa stroberi sembari menghadap televisi.
"Heran. Gak ada berita lain apa yang mereka cari? Atlet-atlet bukannya jadi juara? Kenapa gak datengin mereka aja gitu? Atau si bambosiah, dia kan lagi cari sensasi, bikin konten gak bermutu amat, datengin dia aja ya gak sih? Itung-itung cari pahala naikin rejeki orang."
"Mereka tertariknya sama kamu."
"Kenapa? Apa karena aktris suci ini sudah ternodai?"
"Kamu merasa begitu?"
Riv mengedik. "Gue gak merasa suci sejak awal."
"Lalu apa yang kamu rasakan?"
Riv menoleh penuh. "Kenapa tetiba nanya beruntun kayak gitu? Lo mau gantiin para wartawan buat interogasi gue?"
Ares menghela napas, menggeleng, Riv mendadak sensitif. Televisi pun menjadi atensinya setelah itu. Namun Riv tidak demikian. Dia putar duduk bersilanya agar menghadap penuh pada Ares.
"Gue mau tanya sesuatu." Riv bertanya. "Lo kan cowok, jadi jawab versi elo ya, bukan versi umum pandangan para manusia."
Dua alis Ares bertaut.
Riv berdeham. "Menurut lo, apa seorang cowok bisa beneran menyayangi cewek? Maksud gue ... bisa beneran jatuh cinta gitu? Awet sampai bertahun-tahun?"
Dua pasang netra itu saling memaku, agak aneh bagi Ares mendengar pertanyaan semacam itu. Senyum miringnya terbit perlahan. "Enggak."
"Tuh kan!" Riv sontak berseru. "Gue udah yakin gak ada cowok setulus dan seromantis itu di dunia ini! Bullshit banget emang!"
"..."
"Lo tau gak, Polar? Masa Ivan bilang, dia suka gue dari dulu dan gak berubah sampai sekarang. Katanya, dia mau perbaikin kesalahan dia karena udah milih Jesika waktu itu. Bullshit banget kan?"
"... Tapi kayaknya kamu percaya."
"What!?"
"Mata kamu berbinar."
Riv tidak berkutik beberapa saat sebelum meloloskan dengkusan sebal. Diletakkannya kotak susu yang telah kosong di atas meja, lalu dia sandarkan punggungnya pasrah pada sofa. "Gue itu lagi galau, Tuan pengawal."
Ares, yang kini hanya mengenakan kemeja hitam tanpa jas - entah ada di mana jas itu - bersedekap, turut menyandar. Lelaki itu juga tidak tahu mengapa harus mendatangi Riv saat yang dilakukan nona berisiknya itu hanya berdiam diri di apartemen sejak pagi. Apa mungkin untuk jadi teman curhat?
"Gue dapet teror tau."
Ares menoleh. Riv tunjuk satu kotak kardus kecil di dekat rak sepatu. "Isinya nyerem-"
"Kenapa baru bilang?"
Riv mengatupkan mulut, mengamati Ares yang segera beranjak dan mengambil kotak itu. Isinya lima lembar foto Riv, setiap foto ditulisi angka 1 hingga 5 dengan darah, tiga foto pertama telah disilang, hanya dua foto yang belum disilang, foto ber-angka 4 dan 5. Ares berpikir, terus berpikir, hingga ditengoknya Riv yang justru duduk santai di sofa sembari menyangga dagu memandanginya, lantas nyengir lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Private Bodyguard
Roman d'amourHidup Trivanya terlalu kosong melompong untuk ukuran seorang selebriti populer. Tidak punya minat, tidak tahu tujuan, dan tidak pernah bermasalah dengan siapa-siapa, bahkan haters sekalipun. Bagaimana mau bermasalah? Baca komen di medsosnya saja tid...