4. Hari-Hari Menjadi Pengawal

2.2K 297 97
                                    

4. Hari-Hari Menjadi Pengawal

"Mas, kamu pindah kerja ya?" Alia menggerakkan dua tongkatnya mendekat.

"Enggak, cuma kerja tambahan aja."

"Kerja apa, Mas?"

Ares tidak langsung menjawab. Dan Alia sudah hafal betul kebiasaan bungkam lelaki yang sedang mengenakan kemeja hitam itu. "Kenapa ... kamu tiba-tiba cari kerjaan lain?"

"Gak kenapa-napa, Li. Cuma mau suasana baru aja."

Alia menggigit bibir, menunduk. "Apa ini karena operasi dan terapi yang disarankan dokter?"

Ares merasakan tiap embus napasnya dalam bungkam. "Jangan terlalu banyak mikir." Lalu berbalik setelah lengan kemejanya terkancing. "Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan."

"Tapi kamu jadi susah."

"Aku bilang kesusahan?"

"Enggak. Tapi-"

"Bukannya kamu mau sembuh?" Ares tatap netra teduh itu dalam-dalam. "Mau bisa jalan lagi?"

Alia mengerjap lemah.

"Aku udah bilang. Jangan pikirkan apapun. Hari ini mau ke panti kan?"

Alia mengangguk.

"Yaudah. Bibi pasti lagi repot bungkusin bingkisan kecil di bawah. Ayo turun."

Alia mau tidak mau patuh. Dia hafal betul perangai Ares. Sekali memutuskan sesuatu, maka akan dikejar sampai akhir. Ares lantas menemaninya turun tanpa membantu. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena Alia telah terlatih memakai tongkat hingga menaiki tangga bukan lagi masalah berarti - meski harus pelan-pelan.

"Kamu mau berangkat?" Bibi Padma bertanya begitu keduanya tiba di bawah.

Ares mengangguk, lalu beralih pada wanita berkardigan tebal di sampingnya. "Aku berangkat." Pamit. Meninggalkan Alia yang tak putus menatap punggungnya hingga lenyap dari pandangan.

**

Kafe itu terletak di sisi perempatan jalan, bersisian dengan butik, mini market, dan tempat fitness. Pada area luar kafe, Ares berdiri di sudut yang tidak mengganggu spot shooting. Ada Riv di sana, sedang dipoles make up oleh Peni sembari menghafal script. Beberapa pejalan kaki dan pengunjung kafe menonton proses shooting dalam jarak beberapa meter. Mata Ares tidak luput mengawasi situasi. Bagaimana para remaja yang berdiri itu menyaksikan antusias bagaimana seorang Trivanya beradu akting dengan seorang aktor lelaki yang tidak Ares kenal namanya, bagaimana para kru dan sutradara fokus mengarahkan take demi take adegan, juga bagaimana Riv sedang beradu tatap dengan lawan main. Seminggu lebih menjadi pengawalnya, harus Ares akui, Trivanya adalah seorang profesional. Menyingkirkan sejenak kerandoman, keabsurdan, dan keberisikannya saat tidak ada kamera, wanita yang belum lama dia ketahui berusia dua tahun di bawahnya itu menatap sang lawan main dengan penuh percaya diri, merapalkan tiap baris script yang telah dihafalnya beberapa saat lalu.

Kemudian mata mereka bertubrukan, tepat ketika kata 'cut' diteriakkan sang sutradara. Riv memaku lurus padanya, dan dibalas Ares dengan keterpakuan serupa. Tidak ada yang Ares rasakan ketika sepasang mata jernih itu terpusat padanya. Akan tetapi, seperti ada pusaran kuat yang menghisapnya pada bola mata itu, membuatnya enggan beralih dan terkunci di sana. Adu tatap itu lantas berakhir beberapa detik kemudian. Riv yang mengakhirinya, kemudian duduk di dekat Peni yang langsung mengipasi wajahnya.

Dan saat itulah mata awas Ares bekerja. Seorang wanita berkupluk, menyusup dari kerumunan penonton, dengan mata nyalang penuh hasud, menyelinap dan kian mendekat ke arah Riv, jemarinya merogoh kantung plastik hitam yang dibawa. Sebutir telur. Ares sigap berlari menggapai Riv. Bersamaan dengan kakinya yang tiba di hadapan Riv, sebutir telur itu terlempar dan mengenai jas bagian belakangnya.

[✓] Private BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang