11. Bugh!

1.4K 223 44
                                    

11. Bugh!

Riv menyipit begitu membuka mata. Cahaya merambat melalui celah gorden yang terbuka. Nampak punggung tegap Ivan di sana, memegang segelas minuman anggur, sesekali menyesapnya.

Sontak Riv beringsut. Matanya terbuka sempurna. Tubuhnya bangkit dan kian menyudut pada kepala tempat tidur. Riv tengok kanan-kiri, lalu melirik selimut yang menutup tubuh. Pakaiannya masih lengkap. Syukurlah.

"Oh, kamu sudah bangun?" Ivan berbalik, mendekat.

"Apa maksudnya ini?" Bukankah ini sudah termasuk penculikan?

Ivan meletakkan gelasnya di nakas dan duduk di sisi tempat tidur. "Lo tau, Riv? Satu-satunya alasan gue lebih memilih Jesika, dulu, adalah, karena dia lebih bodoh dari lo." Disentuhnya sisi wajah Riv. "Dia rela melakukan apapun, memberikan apapun, dan melepas apapun, demi gue." Ivan tersenyum masam. "Sesuatu yang gak pernah lo lakuin, sesuka apapun elo sama gue."

"Gue baru tau lo jenis pria semenyedihkan itu."

Ivan sedikit terperangah oleh desis sinis Riv, tapi kemudian mengangguk paham. Bukankah justru aneh jika Riv tetap ramah padanya?

"Jesika begitu penurut, tapi belakangan dia jadi ngebangkang dan berbalik ngelawan gue," sambung Ivan. "Kalau dia udah begitu, terus keuntungan apa yang gue dapet dengan memilih dia??"

Dua lengan Riv mencengkeram selimut demi mendengar pertanyaan tersebut.

"Kalau tau pada akhirnya gue akan dilepeh kayak permen karet yang udah gak bisa ngasih rasa manis, gue pasti lebih milih lo, dan kejar lo sampe dapet, bukannya biarin lo terluka dengan liat kemesraan gue sama Jesika. Gitu kan, Riv?"

"..."

"Gue gak bohong soal keluarga dia yang otoriter, btw. Kuasanya luas, terlebih sama keluarga gue. Kalau bukan karena butuh, udah gue buang duluan tuh cewek."

Riv mengerjap pelan. Sorot benci Ivan kini nampak jelas olehnya. Tapi tetap saja, "Dia tetap calon istri lo. Kalian saling mencintai."

"Cih! Cinta??" Ivan cengkeram dua bahu Riv. "Gue cintanya sama elo!"

"... Terus kayak gini lo memperlakukan cewek yang lo cintai?"

"Itu karena lo ngebangkang!!"

Riv menarik napas dalam. Jujur saja, bahunya lumayan sakit. Kuku-kuku Ivan menusuk dan menekan kulitnya. Namun dari sana juga Riv tahu, baik Jesika dan Ivan, sama-sama saiko. Mereka harusnya tetap bersama, kan?

Riv berpikir, terus berpikir. Manusia berperangai macam Ivan tidak mudah ditangani. Salah tanggap sedikit, responnya bisa meledak-ledak. Dan Riv tidak bisa mempertaruhkan dirinya jika hal itu terjadi. Hey! Ini di kamar! Ivan mungkin telah merencanakan-

"Gue tanya sekali lagi, ini kesempatan terakhir lo," Ivan menatap sungguh-sungguh. "Kembali sama gue, nurut. Atau mau ngebangkang kayak wanita gila itu?"

Ivan sungguh meminta Riv memilih? Itu pilihan? Kenapa Riv lebih merasa seperti ancaman? Dia pejamkan mata sejenak, menarik napas, lantas mengunci dua netra Ivan lekat-lekat. "Oke. Lo bener. Gue ... masih suka, sama lo. Andai gue bisa milih, gue juga mau kok, hidup sama lo. Tapi, Van. Kita ini dikenal banyak orang. Kalau gue kembali sama lo, itu sama aja kayak membenarkan isu yang menyebut gue sebagai pelakor, dan gue gak bisa mempertaruhkan karier gue. Keluarga gue yang bakal kena imbas. Lo ngerti kan?"

"Gue udah batalin nikah sama dia."

"Tapi itu tetap gak bisa menghentikan opini publik."

"Lo lebih peduli sama opini publik?"

[✓] Private BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang