15. Libur
"Napasnya diembus barengan sama tangannya diturunkan ya. Yuk mulai."
Alia rebah di atas tempat semacam brankar empuk, dua lengannya dinaikturunkan seraya tarik napas bersamaan, mengikuti instruksi terapis. Berlanjut pada telapak kakinya yang digerakkan pelan-pelan hingga betisnya yang juga dinaikturunkan bergantian.
Ares duduk tenang di dekat Alia, menemani fisioterapi Alia yang terhitung baru kali ke dua. Kaki kiri Alia lalu ditarik dan direntangkan pelan-pelan ke samping, bergantian dengan kaki kanan.
Alia menengok ke arah Ares, lalu tersenyum pelan.
"Abis terapi kita duduk di taman ya?"
Ares balas senyum itu. Tubuh Alia lalu dimiringkan. Tahap demi tahap terapi tersebut Alia ikuti dengan hati riang. Tentu saja. Ares selalu bersamanya, menemaninya, apalagi yang lebih menyenangkan dari itu?
"Iya."
"Tapi aku lagi mau tteopokki, Mas."
"Yaudah beli dulu, makannya di taman."
Alia mengangguk senang. "Yes."
Alia mulai didudukkan, tubuhnya ditarik pelan dan hati-hati. Dan Ares bangkit. Alia bilang, dia ingin Ares yang membantunya berdiri atau berpindah dari brankar ke kursi roda. Maka terapis tersebut menggeser sedikit posisinya dan hanya memberi instruksi, sementara Ares memegang pinggang Alia kanan-kiri, dua lututnya menjepit kaki Alia sesuai arahan terapis, dan Alia memeluk leher Ares. Senyumnya merekah tipis.
Ares mengangkat dan mendudukkannya pelan-pelan dan penuh kehati-hatian di kursi roda.
"Oke. Bagus." Terapi berakhir usai setiap sesi dilakukan, kecuali berdiri dan berjalan. "Mungkin empat kali pertemuan lagi, kita bisa mulai latihan berdiri dan berjalan. Obatnya gimana? Masih dikonsumsi?"
Alia lirik Ares yang sedang membetulkan rok semata kakinya yang sedikit terlipat, lalu tersenyum pada fisioterapis. "Iya, masih."
"Syukurlah. Nanti selebihnya biar Dokter Tama yang jelaskan. Hari apa kalian check up lagi?"
"Kamis depan."
"Baiklah." Fisioterapis itu tersenyum. Ares bangkit usai memastikan posisi Alia sudah benar, lalu mengucapkan terima kasih. Ada alasan mengapa Alia melakukan terapi di rumah sakit alih-alih di rumahnya sendiri. Alia bilang, dia ingin sambil jalan keluar, melihat lingkungan sekitar, menikmati udara yang berembus sembari dirinya dan Ares berangkat menuju rumah sakit. Di rumah membosankan, katanya. Dan Ares tentu menuruti kemauan Alia. Selagi Alia bersedia diterapi dan menjalani serangkaian pengobatan lainnya, Ares akan turuti.
Ah, tidak.
Mungkin lebih tepatnya, selagi Alia meminta, Ares akan selalu menurutinya.
Seperti yang selama ini dia lakukan.
**
"Gileeeee, lo patut dapet penghargaan atas kerja keras ini, Mas." Dion jongkok di depan mobil yang sedang dibongkar. Ares ada di bawah mobil itu. Keringatnya lumayan bercucuran. Dan wajahnya lumayan kotor. "Mau beli apaan sih sampe kejar setoran gini? Gunung? Lautan?" Dion terkekeh. "Orang kalau libur itu males-malesan, atau ngtrek kek. Jovan nanyain tuh. Dia rela pasang banyak kalau elo yang maen. Gimana??"
Ares hempaskan punggungnya begitu baut-baut terkunci sempurna. Napasnya lumayan terengah. "Berapa yang gue dapet?"
"Anjir! Anjir! Beneran kejar setoran lo?"
Ares geser tubuhnya ke atas hingga muncul dari bawah mobil, lantas bangkit. Diambilnya botol air mineral lalu diteguknya tanpa repot menanggapi Dion.
"Alia, gimana perkembangan dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Private Bodyguard
RomanceHidup Trivanya terlalu kosong melompong untuk ukuran seorang selebriti populer. Tidak punya minat, tidak tahu tujuan, dan tidak pernah bermasalah dengan siapa-siapa, bahkan haters sekalipun. Bagaimana mau bermasalah? Baca komen di medsosnya saja tid...