12. Kamu ... Gak Jijik?
Jalanan lengang. Motor melaju tenang. Dingin menelusup. Dan pelukan Riv menguat. Kepalanya terkulai di bahu Ares. Sesenggukannya mereda perlahan.
Ares melirik dari spion. Riv hanya bungkam dan mengerjap lemah sesekali. Tampang ceria dan kejahilannya sempurna menghilang. Wajahnya kuyu oleh airmata. Binar matanya redup. Dan rambutnya awut-awutan.
Riv masih shock. Mungkin membiarkannya bungkam tanpa pertanyaan bisa membuatnya jauh lebih tenang, pikir Ares.
Namun Riv masih tetap bungkam kendati mereka telah sampai. Isakannya masih tersisa sekalipun motor telah berhenti. Ares turun lebih dulu, lantas kembali mengangkat tubuh Riv, menuju unit apartemen di lantai atas. Dan tubuh yang semula bergetar itu lambat laun rileks. Sembari melingkarkan dua lengannya di leher Ares, Riv sandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Keterkejutan mematikan sejenak keisengan dan celotehan randomnya.
Ares tengok lagi wajah yang membenam di ceruk lehernya itu. Isakannya lumayan reda. Namun cengkeraman dua lengannya masih erat. Efek takutnya belum berkurang signifikan.
Lift berdenting tak lama kemudian. Masuk dengan akses yang dia miliki, Ares bawa masuk tubuh Riv menuju kamar pribadinya, lantas menidurkannya di atas tempat tidur.
"Butuh sesuatu?"
Riv menggeleng. Ditariknya selimut yang Ares naikkan hingga dagu.
"Kalau butuh sesuatu, kasih tau."
Riv mengigit bibir. Matanya berkaca lagi. Bulir bening itu pun jatuh begitu netranya mengerjap. Dan dimulailah segala kebingungan Ares. Dia tidak pernah bisa menenangkan wanita menangis.
"Dia ...," Parau, Riv buka suara. "Sempet rekam dan sebar video aku sebelum-" lantas meneguk saliva. Dia tidak kuasa melanjutkan.
Ares usap airmatanya. "Aku yang urus," tuturnya lembut. "Kamu cukup tenangin diri. Jangan terlalu dipikirkan."
Riv mengerjap sendu. Dia tidak yakin tentang 'tidak akan memikirkan'.
"Aku pengawal kamu. Ingat?"
"..."
"Maaf, aku kecolongan." ucap Ares tulus. "Tapi gak akan lagi. Gak ada yang bisa nyentuh kamu lagi setelah ini."
Riv menggigit bibir.
Ares usap lagi bulir bening yang menetes di sudut mata itu. "Bisa nangis juga ternyata."
Riv kian menarik selimutnya hingga menutupi mulut. "Boleh ... minta tolong?"
Dua alis Ares tertaut. Tumben. "Apa?"
"Ambilin bantal boba ak-" Riv berdeham, "gue, di sofa."
Ares menahan senyum. Diusapnya kepala Riv sebelum berlalu menuju ruang tengah.
Ruangan itu masih gelap. Ares kerepotan menyalakan ketika menggendong Riv beberapa saat lalu. Ditekannya saklar hingga ruangan itu terang. Dan apartemen Riv tetap rapi seperti sebelumnya. Ares ambil bantal boba raksasa di atas sofa. Sejenak, dia periksa lagi kotak teror yang ternyata belum Riv buang. Pertanyaannya masih sama sejak pertama kali melihat kotak itu. Kenapa tiga foto disilang dan dua foto tidak? Ares terus mencari maksudnya, bahkan hingga dia sendiri tidak sadar dan memikirkan itu dalam tiap detik yang dilaluinya. Namun jawaban yang didapat belum kunjung meyakinkan.
Ponselnya lalu terhubung dengan Dion. "Ada ponsel Riv di sana. Tolong amanin dulu semuanya."
"Diambil polisi buat barang bukti kayaknya. Tapi si Romeo yang urus sih. Anjir namanya beneran Romeo? Si Julietnya ada gak ya?" Dion tertawa, mengurai ketegangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Private Bodyguard
RomansaHidup Trivanya terlalu kosong melompong untuk ukuran seorang selebriti populer. Tidak punya minat, tidak tahu tujuan, dan tidak pernah bermasalah dengan siapa-siapa, bahkan haters sekalipun. Bagaimana mau bermasalah? Baca komen di medsosnya saja tid...