6. .... Ya.
"Belum tidur?" Ares masuk ke dalam flat Alia, ke ruangan tempat di mana wanita bersweater tebal itu duduk termenung menyaksikan televisi. Dan pertanyaan Ares jelas terdengar bodoh. Duduk di sofa sebelah, Ares mengusap lututnya agak kikuk.
"Keren! Pesona pengawal Trivanya! Hahaha-" Dion terbahak sejam lalu, mengulang apa yang dibacanya di media sosial. "Lo trending, Bro! Liat nih!" Nampak foto Ares yang tengah memeluk Trivanya saat insiden siram air keras tadi pagi. "Mau baca komen-komennya gak?" Dion terkikik, sangat menikmati momennya menggoda Ares. "Nih-"
"Alia tahu?"
"Ck, mustahil dia gak tahu. Kecuali dia gak punya tipi dan hape."
"Jadi kerja tambahan Mas itu jadi pengawal pribadinya Trivanya?" Alia bertanya, barulah menoleh. "Kenapa gak bilang aku, Mas?"
"Bukan hal yang penting aku kerja di mana-"
"Penting. Itu penting buat aku. Kamu tau itu! Satu-satunya yang berpikir gak penting itu cuma kamu! Bukannya gitu, Mas?? Aku gak sepenting itu buat kamu, kan? Sampai apapun yang kamu lakukan, yang kamu alami, aku gak pernah tau, kecuali dari mulut orang lain."
"Kamu berpikir terlalu jauh, Alia."
"Oh ya? Terus gimana rasanya kerja sama selebriti itu? Dia pasti sangat cantik sampai kamu betah di kerjaan kan? Gak seperti aku-"
"Jangan mulai."
"-yang jalan aja gak bisa. Aku cuma wanita cacat yang bikin orang-orang enggan dekat-dekat."
Ares menghela napas. Itu lagi, lagi, dan lagi. Selalu perkara itu yang Alia bawa di setiap kemarahannya. Jangan salahkan Ares juga jika dia mengorbankan segala cara agar wanita itu bisa berjalan kembali. Tidak tahukah Alia bahwa Ares kerja banting tulang, mengumpulkan pundi-pundi uang, agar dia bisa dioperasi dan terapi? Agar dia bisa sembuh dan berjalan lagi? Ares ingin Alia kembali normal dan berhenti bersedih. Ares ingin Alia bersemangat dan penuh percaya diri lagi, seperti Alia yang dulu, yang ceria, yang riang, yang berpikiran positif.
"Aku gak suka, Mas." Lalu terisak. "Aku gak suka kamu deket-deket perempuan lain, apalagi sekelas Trivanya. Aku takut-"
Ares mendekat, pindah duduk dan mengusap kepalanya. "Mikirnya jauh banget sih," sergahnya halus. "Aku cuma kerja. Hubunganku sama Trivanya hanya sebatas profesional. Kalau kamu melihat aku melindungi dia, ya itu karena memang tugasku menjaga dia. Gak lebih."
Alia terisak, memaku netra kelam Ares lekat-lekat. "Sungguh? Kamu gak akan aneh-aneh? Cuma kerja aja?"
"Ya."
"Sekuat apapun pesona Trivanya, kamu gak akan jatuh cinta sama dia, kan?"
Usapan Ares melambat.
"Janji sama aku, Mas."
Napas Ares tertarik dalam tanpa sadar. " ... Ya."
**
"Hey, Polar! Thanks ya." Riv baru memasuki mobil dan memasang sabuk pengaman. "Gak bilang apa-apa sama Romeo soal pertemuan gue sama Ivan tempo hari."
Ares melajukan mobil. "Saya gak bermaksud ikut campur, tapi bukannya lebih baik anda mengatakan-"
"Ck, kumat lagi. Gue kira pas maen basket malam lalu kita udah temenan." Riv menelengkan kepala ke arah Ares. "Gue ngerti elo punya aturan sendiri yang harus dipatuhi dari kantor dan Romeo, tapi kalo berdua aja sama gue, gak perlu seformal itu, Polar. Kayak kemaren aja lagi, yang waktu kita sama-sama berkeringat." Riv terkikik atas ucapannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Private Bodyguard
RomanceHidup Trivanya terlalu kosong melompong untuk ukuran seorang selebriti populer. Tidak punya minat, tidak tahu tujuan, dan tidak pernah bermasalah dengan siapa-siapa, bahkan haters sekalipun. Bagaimana mau bermasalah? Baca komen di medsosnya saja tid...