7. Alasan Membenci

1.7K 263 75
                                    

7. Alasan Membenci

"Waw, beda aja ya, kalau seleb papan atas. Ke mana-mana dijaga bodyguard." Ares yang berdiri di luar kafe menjadi objek lirikan. "Apalah aktris yang lagi redup kayak gue, boro-boro dijagain, ke mana-mana aja masih nyetir sendiri. Bahkan," Jesika menatap penuh sorot tidak suka, "Calon suami gue sampe nuduh gue, istrinya sendiri, atas insiden siram air keras tempo hari. Yah, sejelata itulah gue jika disandingkan dengan seorang Trivanya."

Sarkas menyebalkan. Untung kendali diri Riv hebat. Riv tidak akan terpancing oleh sindiran tidak bermutu seperti itu. Bersedekap, ditatapnya wanita blasteran Indo-Jerman yang baru menampakkan diri tersebut. "Kalau begitu," Mereka duduk berhadapan. "Harusnya seleb jelata kayak lo tahu persis bahwa gue, seorang seleb papan atas, gak punya banyak waktu untuk meladeni luapan emosi seorang calon istri yang tersakiti, kan?"

Nyalang netra itu menghunus Riv. "Jaga ucapan lo."

"Lo dululah," balas Riv kalem. "Gue sih cuma respon aja."

"Apa aja yang udah Ivan katakan?" Jesika bertanya. "Atau ... dia udah memberikan janji manis? Semacam ... Kalau gue udah resmi batal nikah sama Jesika, gue akan nikahin lo, gitu?"

Riv memutar bola mata. "Nethink mulu sih lo."

"Karena lo pantas. Lo pikir gue gak tau? Kalian ketemu malam itu? Apa? Mau kawin lari?"

Hhh ...

"Gak usah sok berkelas di depan gue, Riv. Dari dulu gue tahu lo suka sama Ivan-"

"Duh! Repot ya, bicara sama cewek yang masih terikat masa lalu," Riv menyela. "Apa apa dikaitinnya sama yang dulu duluuuu terus. Gak capek apa?"

Gigi-gigi Jesika beradu, bergemeretuk menahan kesal.

"Gini ya, Jes." Riv membetulkan posisi duduknya, bersedekap. "Dulu, gue emang suka sama Ivan. Tapi itu dulu, jaman SMA. Gue bahkan udah lupa. Anjir, udah nyaris sepuluh tahun."

"Tapi Ivan gak bisa lupain lo."

"Ya itu masalah calon suami lo. Gak ada urusannya sama gue."

Dua pasang netra itu saling menghunus untuk beberapa saat, kemudian berakhir dengan helaan napas Riv dan buang mukanya Jesika.

"Gue gak tahu apa aja yang udah lo alami. Tapi demi Tuhan, Jesika, sekali pun gue gak ada main belakang sama calon suami lo. Ya oke, kemaren Ivan ngajakin ketemu, dia nyatain perasaannya, lagi, tapi semua kan tergantung gue. Yakali gue mau jadi pelakor!" Intonasinya meninggi di kalimat terakhir. "Lo tahu persis gue kayak gimana, biar gimana pun, kita pernah begitu dekat."

Riv sungguh-sungguh. Dalam hati berharap, Jesika tidak lagi salah paham padanya. Lalu usai detik detik berlalu, mantan sahabatnya itu pun menghela napas, buang muka. Raut sinisnya mengendur. "Apa Ivan ada bilang sesuatu? Tentang gue?"

Riv amati raut sendu di hadapannya. Seketika teringat pada ucapan Ivan tempo hari. Jesika yang katanya manipulatif, Jesika yang mengikat Ivan kuat-kuat, Jesika yang persis saiko. Sungguh-

"Ivan yang brengsek. Gue gak tau apa aja yang udah dia bilang, tapi semuanya bullshit. Sejak awal, sejak dulu, dia emang suka sama kita berdua. Dia suka lo, tapi gak mau lepasin gue. Begonya, gue terjerat, gak bisa lepasin dia. Akhirnya gue lakuin segala cara agar Ivan milih gue. Gue bahkan musuhin lo." Kosong tatapan Jesika mengarah keluar kafe. "Tapi setelah tiga tahun pacaran, tempramennya makin keliatan. Dia manifulatif, brengsek, kasar."

Dan kini Riv tidak tahu harus merespon bagaimana. Siapa di antara mereka yang berbohong. Ivan? Atau Jesika? Dan yang mengherankan, kenapa Riv jadi terseret-seret masalah percintaan mereka?

[✓] Private BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang