14. My, New, Addiction

1.7K 193 51
                                    

14. My, New, Addiction

Tubuh tinggi tegap itu berdiri menjulang menatap keluar, pada bangunan-bangunan yang sama tingginya dengan studio lantai tiga yang kini dia diami.

Di tengah ruangan, Riv sedang sibuk berganti pose. Jika tidak salah ingat, pria yang kini sedang merangkul akrab bahu Riv itu bernama Arvin. Riv memperkenalkan mereka sesaat setelah Ares masuk.

Dua lengan Ares pun membenam dalam saku. Tidak luput bagaimana tiap perubahan mimik Riv tertangkap penglihatan Ares. Senyumnya yang manis, pipinya yang menggembung saat merengut, sudut matanya yang mengerucut saat tertawa, juga wajahnya yang muram tiba-tiba tanpa sebab, yang kemudian gadis itu tutup dengan senyum seperti biasa.

Tanpa sadar, semua potret itu tersimpan rapi dalam benak Ares. Lalu Riv menengok ke arahnya. Senyum wanita bergaun putih itu merekah, lengannya melambai semangat begitu tahu Ares menatap padanya. Mau tidak mau Ares tersenyum. Riv itu, punya kekuatan untuk membuatnya otomatis tersenyum bahkan sebelum dirinya sendiri menyadari. Tak sedikit perempuan yang kini melirik dan mencuri pandang ke arahnya. Namun seolah seluruh rotasinya hanya berputar pada satu titik, fokus Ares hanya tertuju pada titik tersebut.

**

Pemotretan selesai. Peni dijemput sang calon suami. Arvin dijemput manajernya sendiri. "See you, besok," pamitnya, tak lupa tersenyum.

Riv balas tersenyum, melambai hingga mobil Arvin keluar gerbang. "Gila! Makin cakep aja dia! Tapi waktu sekolah juga udah cakep sih. Gak nyangka juga mau jadi model begitu, gue kira bakal jadi pilot ... atau apaaa gitu. Tau gak-" Celoteh Riv terus berlanjut hingga Ares membukakan pintu depan, hingga Riv naik, hingga tubuhnya terpasang seat belt, dan mobil melaju tenang. "Arvin itu ramah banget. Gue bersyukur sifat dia yang itu gak berubah-" Untung tingkat kesabaran Ares super duper tinggi. Untungnya lagi, telinga Ares tidak pernah pengang mendengar apapun celotehan Riv - yang kadang tidak nyambung dan asal ceplos - yang tidak kunjung berhenti jua.

Dua belas menit kemudian, mobil melambat, macet lumayan panjang. Mobil yang mereka naiki berhenti bersama kendaraan lain. Gerimis turun perlahan-lahan, menemani petang yang mulai berganti malam. Dan Riv mendadak sunyi. Mungkin kecapean, pikir Ares. Ditengoknya sejenak, dan didapatinya Riv sedang melamun memandang trotoar yang lumayan ramai dilewati pejalan kaki, juga kafe-kafe yang lebih banyak pengunjung.

Dan cairan bening itu sungguh Ares dapati menetes dari kelopak mata Riv. Ares mematung. Setir dia genggam, dan pikirannya mulai memutar apa saja yang sudah Riv lakukan seharian ini. Seingat Ares, tidak ada kejadian yang mengharuskan Riv bersedih (?)

Lalu isakan Riv menyusul. Mulanya pelan, kemudian nyaring perlahan-lahan.

"Kamu kenapa?"

Riv menggeleng, menyeka hidung. Airmatanya terus mengalir, lebih banyak, lebih deras, lebih terisak. Lebih membingungkan lagi karena Riv hanya diam dan membiarkan dirinya tenggelam dalam tangisan, tanpa menoleh pada Ares sama sekali. Pada akhirnya, Ares pun memilih diam, menatap lurus ke depan sembari menebak-nebak apa gerangan yang membuat Riv menangis. Napas Ares bahkan tertarik dalam tanpa dia sadari.

Menit demi menit dihabiskan keduanya dalam senyap yang mengungkung. Ditemani deru kendaraan, bunyi hujan, aroma petrichor, dan dingin yang teramat, juga isakan Riv yang akhirnya mereda perlahan-lahan.

"Aku nyari tisu, gak nemu-nemu," celetuk Ares. "Gak punya sapu tangan juga."

Mau tidak mau Riv tertawa. Polarnya bisa ngelawak juga ternyata.

"Kamu kenapa?" tanya Ares lebih lembut. Yang terpikir oleh Ares kini hanya satu ; Riv masih menyimpan trauma atas insiden tempo hari.

Riv menggeleng, menyeka hidung dan mata. "Gak tau gue juga," jawabnya. "Suka tiba-tiba aja gak tahan pengen nangis. Emang lo gak gitu?" Ditengoknya Ares yang sedang memperhatikan fokus ke arahnya. "Gak pernah ya?"

[✓] Private BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang