Sebuah suara mengejutkan gadis tersebut, membuatnya terbangun. Tidak ingat akan apa pun, gadis bernama (full name) itu memberengut kala mendapati diri berada di sebuah ruangan berwarna teduh. Bau alkohol dan obat-obatan lain menyebar di sekitarnya. Dalam sekejap, (name) tersadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit.
Selang infus berlabuh di punggung tangannya, mengalirkan cairan ke dalam tubuh sang gadis.
"Ah, syukurlah Anda sudah sadar." Sang perawat tesenyum lega, menyeka keringat yang menggenangi dahi.
(Name) berusaha bangkit, tetapi tenaganya seolah tersedot habis. Ia kembali jatuh di atas bantal yang lembut. "Apa yang terjadi?" Matanya kembali menutup karena rasa nyeri yang menyambar tanpa pemberitahuan.
"Anda pingsan di jalan, seorang pemuda baik hati, sepertinya polisi, membawa Anda kemari." Perawat muda itu mengisi cairan infus yang sudah habis, rambut hitamnya menutupi kedua sisi telinga.
(Name) mengerjap beberapa kali, masih berusaha menelusuri ulang memori yang rasanya memudar. "Apa saya sakit?" Gadis itu menunjuk ke arah dirinya sendiri.
"Malnutrisi." Perawat itu menjawab dengan penuh keyakinan. "Sepertinya Anda mengalami penurunan nutrisi yang amat drastis sehingga tubuh menjadi lemah."
(Name) tertawa hambar, teringat akan belasan bungkus mi instan yang berada di dalam sudut kamarnya, berjajar rapi di dalam sebuah kantong plastik berukuran besar, siap untuk dibuang kapan saja gadis itu berniat keluar rumah.
"Kalau begitu saya permisi dulu." Perawat itu membungkuk, kemudian meninggalkan ruangan agar sang pasien bisa beristirahat.
Gadis itu menghela napas, membayangkan tagihan yang membeludak, siap menguras dompetnya hingga kering. Membayangkannya saja (name) sudah bergidik ngeri. Entah berapa lama ia harus bertahan dengan mi instan yang sedang diskon dan pekerjaan paruh waktu di dua-tiga tempat.
Ia mulai berkeluh kesah, menyesali keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan di jenjang perkuliahan. Andaikan saja ia menamatkan pendidikan dengan gelar, mungkin ia bisa mendapatkan pekerjaan purnawaktu yang layak di perkantoran atau lapangan kerja lainnya.
Namun, kini pekerjaan purnawaktu hanyalah mimpi yang sulit dicapai. Kebanyakan perusahaan tempatnya melamar menuntut gelar sebagai kriterianya, disertai dengan segudang pengalaman kerja yang harus ditunjukkan.
Dan (name) tidak punya keduanya. Ia hanya bisa melakukan pekerjaan sederhana: membagikan brosur, memberikan les privat, dan menjadi kasir di supermarket milik sang sepupu. Semuanya hanyalah aktivitas bergaji rendah, tetapi setidaknya gadis itu masih bisa bertahan hidup.
Meski begitu, ada dua hal yang sangat mengganggu pikirannya, utang sang ayah yang menggunung dan uang sewa yang tidak bisa dilunasi akibat nominal yang terlalu banyak.
Gadis itu menguap, merasakan rasa kantuk yang besar ketika memikirkan tentang berapa jumlah uang yang ia butuhkan untuk hidup dengan tenang. Akan tetapi, ia justru terperanjat ketika mendapati deretan angka nol pada nominal uang yang harus ia kumpulkan.
"Banyak sekali." Ia menggigit bibir bawah hingga sedikit membengkak, berharap bahwa semua yang ia lalui selama ini hanyalah ilusi semata.
Memutuskan untuk tidak lagi menghitungi jumlah angka nol tersebut, sang gadis menarik selimut, siap-siap terbuai dalam dunia mimpi. Sebuah dunia di mana ia bisa menjadi apa saja—tuan putri, miliarder, atau bahkan presiden.
Angin sejuk melewati gadis tersebut, membuatnya terkesiap. Pandangannya beralih ke kiri, mendapati jendela yang terbuka lebar, menghasut siapa pun untuk masuk ke dalamnya. (Name) menggaruk kepala, sangat yakin bahwa jendela tersebut tertutup.
Ia berusaha bangkit dari tempat tidur, tetapi hasilnya nihil.
"Akhirnya bisa masuk." Seorang pemuda berjaket putih melompat masuk melalui jendela, mendarat sempurna di kamar (name).
Alis gadis itu tertaut dalam. "Yang benar saja! Ini lantai delapan!" Ia menjerit tertahan, kedua tangan menutupi mulut.
Pemuda itu menyisir rambut cokelatnya, memastikan setiap helaian tidak mencuat keluar, kemudian melangkah mendekati ranjang tempat sang gadis berbaring. "Oh, hai (name)." Ia menyapa tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Gadis itu menyipitkan mata, kerutan di dahinya bertambah. "Gavin?" (Name) menyebutkan salah satu nama teman sekelasnya semasa SMA dulu.
Sang lawan bicara mengangguk. Jemarinya menarik kursi dengan cekatan, meletakkan beberapa sentimeter dari ranjang pasien. "Lama tak berjumpa," ujarnya.
Lama tak berjumpa?
Gadis itu nyaris menjambak Gavin. Setelah masuk begitu saja lewat jendela, ia masih bisa memulai pembicaraan tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Ada apa? Dan bagaimana kau tahu bahwa aku ada di sini?"
Pemuda itu bersedekap. "Mudah saja. Aku yang membawamu ke sini." Ia terdiam sejenak, memandang ke arah selang infus yang membentang. "Kau pingsan di jalan, untungnya tidak ada luka yang serius."
(Name) menggaruk pipi, menyesal sudah berprasangka buruk. "Terima kasih," ujarnya dengan tulus.
Gavin mengangguk, kedua maniknya memandang serius ke arah pasien di hadapannya. "Aku punya satu permintaan," cetusnya tiba-tiba.
"Apa itu?"
"Tinggallah bersamaku."
Ada jeda panjang setelah Gavin menyelesaikan permintaan sederhananya itu. (Name) mengerjap berkali-kali, otaknya berusaha menerjemahkan pesan yang di terima dengan baik.
"H-Hah?" Ia terkekeh. "Jangan bercanda," tegur sang gadis.
Gavin menggeleng. "Aku serius. Tinggallah bersamaku, (name)."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart for the House
FanfictionSeorang perempuan yang membutuhkan tempat tinggal dan seorang lelaki yang membutuhkan kehangatan di rumahnya. Kala roda takdir berputar, benang merah mempertemukan mereka, mengisi satu sama lain bak kunci dengan gemboknya. Ini bukan cerita cinta rem...