Bab 9

88 15 1
                                    

Gavin tidak pulang selama seminggu menjadi satu hal yang menakutkan bagi (name). Sehabis melepas rindu di akuarium dalam ruangan sebulan silam, pemuda itu menjadi jauh lebih pendiam, bahkan sering melewatkan sarapan.

Kondisinya tidak baik, semakin buruk setiap (name) melihatnya. Lengannya yang semula kekar kini mulai mengurus, menampakkan tulang-tulang rapuh yang bersembunyi di balik kulit. Kedua matanya sayu, tidak lagi mencerminkan cahaya yang terperangkap dalam sepasang iris kuning cemerlang itu.

Lingkar hitam di bawah indra penglihatan pemuda itu semakin menggelap, menandakan beberapa hari telah dilaluinya tanpa tidur yang cukup. (Name) berani bertaruh bahwa kemasan kopi yang ia lihat beberapa hari lalu sudah kandas dikonsumsi oleh Gavin.

Seburuk itu keadaannya, tetapi sang gadis tidak dapat membuat kesimpulan. Meski sudah tahu persis bahwa sang adiklah yang menyebabkan Gavin merindu, gadis itu tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Menyewa detektif untuk melacak keberadaan adiknya bukanlah pilihan yang tepat, apalagi ketika lembaran uang semakin sulit didapat belakangan ini.

Berharap menjadi satu-satunya solusi. Namun, sekadar harapan seolah tidak ampuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Cepat atau lambat harus ada sesuatu yang diperbuat. Ia tidak bisa mendiami rumah ketika sang empunya sedang berada dalam kondisi tidak prima.

Gadis itu mengempaskan diri di sofa. Ruang tamu yang lengang terasa begitu suram tanpa kehadiran pemiliknya. (Name) mengernyit, baru sadar bahwa selama ini Gavin pasti merasakan hal yang sama. Kesenyapan yang membelai hingga ke sudut terkecil sekalipun, kegelapan yang tiada akhir, dan hawa dingin yang menggelitik kulit.

Apa ini yang dihadapi Gavin selama belasan tahun hidupnya?

Menghela napas berat, (name) tersadar bahwa ia sama sekali tidak mengenal Gavin selama ini. Seperti apa keluarganya, mengapa ia tampak dingin, dan tentang hal yang tidak disenanginya, sang gadis tidak tahu apa-apa. Di benaknya, Gavin hanyalah seorang mantan teman sekelas yang berbaik hati berbagi rumah dengannya.

Setelah dipikir kembali, (name) baru mengerti alasan Gavin memperbolehkannya tinggal bersama. Ia merindukan sosok keluarga, yang selama ini terhilang dari kesehariannya.

Gadis itu mengepalkan tangan, membayangkan rasa sakit yang diderita sang pemuda selama ini dalam kesendiriannya.

(Name) duduk tegap, menyatukan jemari yang dingin. Lagi-lagi pikirannya berkelana menelusuri apa yang terjadi belakangan ini. Sorot mata yang nyaris kosong, bahu yang tidak lagi menunjukkan kewibawaan ... semua itu seolah memproklamasikan bahwa kehadirannya di dalam hidup Gavin hanya mendatangkan dampak buruk.

Itu satu hal yang diyakininya sekarang. Kedatangannya tidak akan memberi dampak baik atau dorongan sama sekali. Ia hanya membuat Gavin mengambang dalam pusaran kesengsaraan, membuat sang pemuda terus dibayangi masa lalu yang hendak dikubur sedalam-dalamnya.

Dering telepon menyela semua spekulasi yang menyebar di benak. (Name) melirik ponsel sekilas, sebenarnya enggan memberikan jawaban. Akan tetapi, batinnya mendesak, seakan panggilan tersebut adalah sesuatu yang teramat penting.

"Halo?" Ia menempelkan ponsel pada telinga.

"Apa benar ini dengan (full name)?" Suara dari seberang sana terdengar begitu jauh. Hentak kaki tidak sabaran berhasil ditangkap pendengarannya.

(Name) segera membenarkan pertanyaan tersebut. Berita yang disampaikan oleh mitra berbicaranya didengar dengan begitu baik. Kesangsian pun mulai memuncak di hatinya.

"Ini Eli, salah satu teman Gavin. Aku hanya ingin mengabarimu bahwa Gavin tidak bisa pulang karena sedang di rumah sakit. Aku akan mengirimkan alamatnya dan menjelaskan lebih jauh begitu kau tiba di sini."

Ponsel di tangan (name) terjatuh. Beruntung layarnya membentur karpet yang cukup lembut sehingga tidak ada kerusakan yang berarti. Tangan sang gadis gemetaran ketika mengambil kembali alat komunikasinya dengan Eli. Ia melirik layar, menemukan alamat rumah sakit tempat Gavin dirawat.

Tidak membuang waktu, (name) mengganti pakaian dengan baju dan celana yang pertama kali ditemukannya di lemari. Rambutnya dibiarkan berantakan begitu saja, seolah tidak ada waktu untuk sekadar menatap cermin dan menata rambut. Riasan tentu saja tidak sempat lagi diliriknya dalam keadaan genting ini.

Sang gadis berlari, sepatu ketsnya menapak kasar di lantai, lantas berlari untuk memberhentikan taksi yang tidak membawa penumpang. Alamat rumah sakit diserukannya dengan tergesa, berharap sang sopir memiliki kemampuan teleportasi yang membawanya ke depan gedung tersebut dengan instan.

Kuku tajamnya mencengkeram telapak tangan yang berkeringat. Entah mengapa ia merasa begitu takut, jantungnya berdebar cepat seakan siap melompat keluar dari tubuh kapan saja.

"Nona, kita sudah sampai." Kalimat sederhana tersebut membuat sang gadis bersorak. Setidaknya ia tidak perlu lagi berdoa cemas sembari melihat bentangan jalan yang tak ada habisnya. Ia melompat turun setelah memberi bayaran dengan nominal tepat, berlari cepat melewati beberapa orang yang sedang berkerumun hingga bertemu dengan sesosok pria dengan seragam sama seperti Gavin.

"Eli?" (Name) mendekati sosok tersebut dengan tergopoh-gopoh. Ia memegangi dada sembari meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

Pemuda itu menengok, wajahnya tampak kusam oleh warna kelabu yang menodai. "(Name), ya?" Sebuah senyum kecut menghias wajahnya, berharap bisa menenangkan sosok gadis di hadapannya.

"Di mana Gavin? Apa yang terjadi padanya? Cepat katakan padaku!" Kedua bahu Eli dicengkeram erat. (Name) membuka mata lebar-lebar, pupilnya menyempit dengan horror.

Eli menunduk, jelas sekali sedang menghindari manik berkaca sang gadis. "Dia mengalami kecelakaan saat melakukan misi. Gedungnya tiba-tiba kebakaran dan dia terjebak di dalam. Beruntung kami berhasil menyelamatkannya sebelum dilahap habis oleh api."

(Name) mundur beberapa langkah. Kedua tangannya menutupi mulut yang ingin menumpahkan segala emosi yang tercampur aduk. "D-Dia baik-baik saja, 'kan?" tanyanya sesaat setelah menenangkan diri.

Eli terdiam. Tak satu pun kata ia ucapkan bahkan untuk menenangkan lawan bicaranya. Eli bukan dokter. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Gavin saat ini. Berpura-pura bahwa semua akan baik-baik saja pun bukan pilihan yang bagus jua.

"Aku tidak tahu, tetapi kuharap ia baik-baik saja."

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang