Prolog

301 26 3
                                    

"Tolong berikan saya perpanjangan waktu lagi. Saya janji akan segera melunasi semuanya." Gadis muda itu bersujud, dahinya bersentuhan dengan lantai, memohon dengan sangat agar diberi sedikit kelonggaran.

Wanita di hadapannya menggeleng. Tangannya masih sibuk mengusap tubuh kucing buntal di hadapannya, membenamkan jemari pada rambut putih makhluk kecil tersebut. "Tidak, saya sudah memberi tambahan waktu yang amat banyak, tetapi kau bahkan tidak membayar uang sewanya sedikit pun."

Kepala gadis bernama itu terangkat, matanya berkaca-kaca.

"Segera kemasi barangmu dan pergi dari sini." Wanita itu berkata tegas, menatap ke arah kucingnya yang mengeong—sangat kontras dengan sikapnya kepada sang penyewa kamar yang masih memohon di lantai.

"Tapi saya...."

Wanita itu menarik lengan ramping sang penyewa kamar yang sudah berutang selama sekian bulan, menyeretnya keluar dari ruang bernuansa abu-abu tersebut. "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan." Ia mengakhiri pembicaraan dengan menutup pintu tanpa ampun.

Gadis itu menghela napas. Seandainya hidup dapat berbalik dalam sekejap, mungkin ia tidak perlu menderita seperti ini lagi.

* * *

"Akhirnya selesai." Pemuda berambut cokelat itu mendengus, memijat dahi yang agak sakit setelah tiga jam penuh ketegangan dalam menjalani misi yang diberikan.

Ia melonggarkan dasi hitam yang sejak tadi terpasang rapi, melepaskannya, membiarkan kain tersebut menggantung bebas di tangan kanan.

Jemari kirinya meraih kenop pintu, memutarnya, lantas masuk ke dalam.

"Aku pulang." Ia melepaskan sepatu, meletakkannya di rak paling atas.

Tak lama kemudian, ia menggerutu dalam hati, teringat bahwa ia tinggal seorang diri—tidak ada yang akan menyambutnya ketika pulang selepas menjalani misi yang mengancam nyawa. Tidak ada kehangatan yang melingkupi diri setelah seharian menggeluti udara dingin yang menusuk hingga ke tulang.

Ia terdiam di pintu depan sekian menit, merenungi semua yang terjadi. Merasakan gejolak di dalam perut, pemuda berusia 24 tahun itu memutuskan untuk menuju dapur. Ia mengeluarkan satu buah mi instan, memasak air panas, dan menunggu hingga hidangan sederhananya itu siap dikonsumsi.

Sembari menunggu, ia melirik ke arah ruang tamu yang dahulu diisi oleh kehangatan.

Senyum pilu terukir di wajahnya. Seandainya semua kenangan tersebut dapat dirasakannya kembali.

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang