Bab 12

136 14 1
                                    

Gavin tidak pernah bercerita kepada siapa pun mengenai masa lalunya, bahkan kepada Minor yang sudah ia kenal baik dari SMA.

Perkara pribadi yang tragis tidak patut diceritakan kepada siapa pun, itu yang ia yakini. Keluarga adalah satu-satunya tempat untuk berbagi, sedangkan teman hanyalah sarana untuk menghibur diri ketika jenuh.

Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda dari (name). Gavin tidak pernah menganggapnya sebagai orang asing atau sekadar teman sekelas. Gadis muda itu selalu membuatnya teringat akan sosok sang adik yang sudah lama tidak ditemui.

Entah apa yang ada di pikiran sang pemuda hingga akhirnya berani membeberkan masa lalu yang selama ini ditanggung seorang diri.

Ia sungguh berharap (name) bisa menjadi bahu tempatnya bersandar dan rumah untuk didiami sepanjang masa.

"Pertama, maaf karena aku sudah menjauhimu dan jarang pulang belakangan ini." Gavin melirik sekilas ke arah pintu yang membatasinya dengan sang mitra tutur. "Mungkin aku sudah melukaimu secara tidak langsung dan aku merasa sangat bersalah karena telah berlaku demikian."

Gavin sengaja mengulur waktu. Batinnya kembali berkelahi. Apakah ia benar-benar bisa percaya kepada (name)?

Ia kemudian melanjutkan dengan sedikit tergagap, "A-Aku akan mulai dari masa laluku. Ini tentang keluargaku. Tentang adikku dan ibuku, dua orang yang begitu berjasa dalam hidup."

(Name) mengangguk-angguk, masih mendengarkan dengan saksama.

"Aku lahir di sebuah keluarga yang tidak begitu bahagia. Ayahku jarang sekali berada di rumah dan kadang menganggapku tidak ada. Namun, aku bersyukur memiliki seorang Ibu yang penuh kasih dan bisa diandalkan. Beliau adalah manusia paling cantik dan sempurna yang pernah kutemui."

Gavin tersenyum ketika mengingat wajah wanita ramah itu. Baginya, sang ibu adalah sosok pahlawan dalam hidup. Wanita bernama Wardia itu tidak pernah sekalipun mengecewakan putranya. Kapan pun Gavin mencari, ia akan selalu tampil dengan sebuah senyum penuh kehangatan. Bagi sang pemuda, ibunya adalah malaikat kiriman dari langit.

"Aku juga punya adik, usianya empat tahun lebih muda dariku. Namanya Shaw, ia seperti sahabatku sendiri. Aku beruntung bisa memiliki seorang adik yang begitu menyenangkan seperti dirinya."

Gavin berhenti, otaknya masih bernostalgia dengan setiap kenangan yang terukir belasan tahun lalu. Ia membuang napas dengan kasar, siap untuk menceritakan bagian pahit dari kisah hidupnya. "Tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Perlahan, aku kehilangan segalanya, kehilangan dua orang yang paling aku sayangi dalam hidupku."

Gavin memejamkan mata, menceritakan tentang adiknya yang dibawa secara paksa oleh sang ayah ketika baru masuk SD. Padahal Gavin sudah banyak merencanakan kegiatan seru. Ia ingin berangkat sekolah bersama Shaw, pergi ke akuarium dalam ruangan ketika akhir pekan untuk melihat hiu raksasa yang ada di sana. Akan tetapi, harapannya pupus ketika kenyataan datang untuk menampar imajinasi sang pemuda.

"Seakan belum puas bermain, takdir kembali menghukumku. Ibuku meninggal dalam sebuah kebakaran hebat. Aku melihatnya kala itu, tetapi aku bahkan tidak bisa melakukan apa pun. Betapa bodohnya...." Ia menutupi wajah. Netranya kembali berkaca-kaca, lantas jejak kesedihan kembali mengalir di wajah.

"Kemudian aku bertemu denganmu. Sosok bercahaya yang kutemui di bangku SMA. Kupikir, semua akan berlalu begitu saja setelah kelulusan, tetapi kita justru bertemu lagi, seakan sudah direncanakan. Saat aku tahu bahwa kau sedang didera masalah di tempat tinggalmu, hatiku tergerak. Mungkin kau bisa memberiku kehangatan yang selama ini kurindukan, mengisi hati yang sudah kosong dan dingin akibat kehilangan."

Gavin mengepalkan tangan, sadar bahwa selama ini dirinya sangat egois. Ia secara tidak langsung memanfaatkan sang gadis untuk kepentingan pribadi, berharap bahwa ia bisa pulih ketika tinggal bersama dengan (name).

Seandainya tidak, apakah Gavin akan melupakan (name) begitu saja?

"Kau membawa kehangatan yang sudah lama tidak kurasakan. Di samping itu, kau juga membuatku teringat akan keluargaku. Dan hal itu benar-benar menyakitkan. Mungkin aku belum siap menerima semua itu hingga akhirnya aku semakin sakit dan sesak. Ujung-ujungnya justru seperti ini...." Pemuda itu kembali meminta maaf. Beban yang menghujam dadanya perlahan menghilang seiring setiap cerita ditumpahkan tanpa ragu.

"Aku sosok yang menyedihkan. Maafkan aku...."

Sebuah ketukan singkat menginterupsi sang pemuda. "Gavin, keluarlah. Kumohon...." Dari balik pintu yang kokoh, ia dapat mendengarkan permintaan sederhana dari (name).

Pemuda itu menyalakan keran, membasuh sekilas wajah yang tak karuan akibat lara yang meluluhlantakkan ketegaran batin. Gavin memegang kenop pintu, meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. (Name) berbeda, ia tidak akan melayangkan tatapan jijik lantas pergi menghilang tanpa kabar.

Pintu yang tadinya membatasi pun dibuka. Gavin tertegun, siap menerima respons apa pun yang diberikan oleh lawan bicaranya.

Sebuah dekapan hangat menyambut sang pemuda. Kedua tangan (name) menepuk perlahan punggung pemuda tersebut selagi menyandarkan kepala pada bahu Gavin. Senyum manis mengukir wajah gadis tersebut.

"Kau sudah berjuang keras, Gavin. Terima kasih karena tidak pernah menyerah menghadapi semua yang terjadi. Terima kasih karena sudah bertahan hingga bertemu denganku." Rengkuhan tersebut kian mengerat seiring waktu berjalan.

Tubuh Gavin kaku total ketika disongsong oleh pelukan penuh rasa sayang tersebut, bahkan kedua tangannya tidak mampu bergerak. Matanya terbuka lebar. Lagi-lagi air mata mengalir di wajah rupawan itu. Akan tetapi, tidak ada duka lara yang menetap di hati pemuda berambut cokelat tersebut. Sebaliknya, senyum tipis tanpa paksaan perlahan merekah dari wajahnya.

"Aku yang seharusnya berterima kasih padamu." Ia berbisik halus di telinga sang gadis.

"Gavin, aku akan menunggumu hingga siap menerima kehangatan itu. Bahkan jika aku harus menanti seumur hidup, aku tidak akan pernah meninggalkanku. Karena itu, teruslah bersandar padaku ketika kau merasa lelah, ya."

Gavin membelai rambut (name), perlahan membalas dekapan tersebut sepenuh hati. Untuk pertama kalinya, pemuda tersebut merobohkan dinding yang ia bangun sendiri, mengizinkan sang gadis untuk masuk ke dalam zona nyamannya.

"Tidak, kau tidak perlu menunggu lagi, (name)." Ia melepaskan pelukannya, lantas memegang kedua bahu sang gadis. Tatapannya terarah langsung ke sepasang netra cemerlang yang begitu penuh harapan. "Kau adalah rumahku (name). Kuharap kau bisa terus berada di sisiku."

Mengusap perlahan rambut cokelat tersebut, (name) membalas dengan riang, "Tentu saja! Aku ada di sini untukmu, Gavin."

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang