Bab 3

114 19 4
                                    

(Name) pikir sambutan manis itu hanya mimpi. Ia berspekulasi bahwa dirinya akan terbangun dari tidur setelah semalaman berada di tempat yang kurang layak—gang yang gelap atau bangku taman yang kosong misalnya. Akan tetapi, semua itu tidak didapatinya tatkala kedua kelopak mata perlahan tersingkap.

Sebuah kamar putih dengan lantai berlapis parket berwarna kecokelatan—beberapa bagian tertutup karpet putih—menyambut kedua netranya yang masih letih. Ia menurunkan kedua kaki, merasakan bulu halus karpet memijat tapak.

Ia terdiam beberapa saat, memandangi cahaya matahari yang menyusup masuk dari tirai berwarna putih gading. Gadis itu menyibak kain yang menutupi, membiarkan berkas sinar menguasai seisi kamar itu. Ia menghela napas, menatap ke bawah, memperhatikan belasan kendaraan yang sudah siap bepergian meski jam baru menunjuk pukul enam.

Menyadari kesepakatan kemarin, (name) tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Ia membenahi diri seadanya, mengikat rambut tinggi-tinggi agar tidak menghalangi diri ketika beraktivitas.

"Selamat pagi," sapanya ketika bertemu dengan sang pemuda pemilik rumah.

Masih tidak terbiasa, Gavin sedikit terlonjak. Ia meletakkan sebungkus makanan instan yang hendak dihangatkan. "Pagi," balasnya, berusaha tampil tetap tenang.

Sang gadis mengusap tengkuk, kemudian mengambil makanan instan yang hendak disantap Gavin hari itu. "Biar aku buatkan sarapan." Ia menawarkan diri, seulas senyum naif turut mendampingi.

Mengerjap singkat, akhirnya Gavin menyetujui. Pemuda itu kembali ke kamar, hendak mempersiapkan diri sebelum bertugas.

Sementara itu, (name) membuka kulkas, menyadari lemari pendingin itu nyaris tak berisi, hanya ada beberapa butir telur dan susu. (Name) mengusap dagu, memikirkan resep paling sederhana yang dapat mengisi jeritan kelaparan.

Pilihannya jatuh pada roti panggang dan telur orak-arik, sarapan simpel yang sejak dulu menjadi andalan di masa ujian kenaikan kelas.

Tak membuang banyak waktu, ia segera mengeluarkan semua bahan, memasukkan beberapa lembar roti ke dalam pemanggang dan mulai memanaskan panci untuk membuat telur orak-arik.

Dua butir telur dikocok lepas olehnya sebelum menghantam permukaan panci. Ia mendiamkannya hingga setengah matang, kemudian mulai mengaduknya, menambah sedikit bumbu untuk menyempurnakan cita rasa. Aroma masakan mulai menguasai, menghilangkan rasa kantuk yang tadi sempat singgah.

Sang gadis meraih piring yang pertama kali ditangkap penglihatannya, meletakkan telur berwarna kuning yang sudah matang. Kepulan asap membumbung tinggi, seolah memperjelas bahwa santapan tersebut baru saja masak. Roti panggang kecokelatan pun mengisi bagian yang masih kosong.

(Name) tersenyum bangga melihat hasil karya. Ia membelah tomat menjadi beberapa bagian, turut menyajikannya sebagai pelengkap.

 Ia membelah tomat menjadi beberapa bagian, turut menyajikannya sebagai pelengkap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Wanginya mengguggah selera." Gavin melangkah mendekat. Ujung rambut cokelat pemuda tersebut masih basah. Handuk berwarna putih terlampir di bahu kiri.

Sang gadis meletakkan segelas susu di atas meja. "Sarapan bernutrisi itu bagus untuk memulai hari," tukasnya.

Gavin mengulas senyum kecil. Ada belaian kehangatan yang mengisi setiap sudut hatinya yang sudah lama membeku. Ia duduk, menyesap cairan putih manis itu sembari menatap sosok di dapur. Ia menghela napas penuh kelegaan, bernostalgia dengan kejadian bertahun-tahun silam ketika sang ibu masih hidup.

"Seandainya masa-masa seperti itu bisa kembali lagi." Sang pemuda menopang dagu, meletakkan telur di atas roti panggang, lantas melahapnya selagi panas.

(Name) mengerjap. "Apa yang bisa kembali?"

Ada jeda panjang setelah pertanyaan tersebut dilontarkan. Gavin terdiam, tidak menyangka bahwa kalimat tersebut dapat didengar dengan teramat jelas. "Lupakan." Ia menunduk, tidak siap mengulang memori yang meremukkan pendirian itu.

Nurani kecil (name) masih ingin bertanya, tetapi ia urungkan semua niat tersebut tatkala melihat tatapan rapuh lawan bicaranya. Ia menepuk bahu Gavin, menyuguhkan senyum yang sekiranya dapat menenangkan.

"Ngomong-ngomong, ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu." Gavin berdeham, berusaha membangkitkan topik pembicaraan baru. "Ini soal pekerjaanmu ke depannya."

Alis sang gadis tertaut. Ia mengeringkan tangan yang basah akibat mencuci, lantas duduk berhadapan dengan sang pemuda—tanda bahwa ia siap mendengarkan.

"Perusahaan tempat Minor bekerja kebetulan sedang kekurangan orang, mereka mencari karyawan yang dapat bekerja purnawaktu." Gavin mengeluarkan ponsel, membuka pesan yang dikirimkan sahabatnya itu kemarin malam. "Pekerjaannya cukup mudah dan Minor pun bersedia mengajari lebih lanjut. Ia sudah merekomendasikanmu kepada atasan."

Gadis itu menunjuk diri sendiri, seolah sedang memastikan. "Aku?"

Gavin mengangguk, menghabiskan potongan roti panggang yang terakhir. "Dia pikir itu akan membantumu." Gavin menggulung lengan kemejanya, menyalakan keran untuk segera membersihkan piring yang digunakan.

Sang gadis melangkah, hendak mengambil alih, tetapi Gavin bersikeras melakukan beberapa hal sendirian. Mau bagaimanapun juga, ia adalah penghuni rumah yang ikut bertanggung jawab. "Akan kukabari lagi setelah Minor membalas pesannya." Gavin mengeluarkan ponsel, meminta nomor (name).

Sang gadis mengetik cepat, tidak ingin menghalangi Gavin lebih lama lagi. Ia membaca ulang kontak yang tertera, memastikan setiap nomor sudah benar.

Tiga menit kemudian, pintu berlapis cat putih yang sedikit mengelupas itu tertutup rapat. Sang pemuda berpesan bahwa ia akan berada di kantor polisi sampai larut malam, sebab banyak kasus yang harus diselesaikan belakangan ini.

Mendengar hal tersebut, hati (name) serasa diremas. Batinnya berteriak agar sang gadis melakukan tindakan yang berguna, tidak hanya menumpang secara gratis.

Ia mendengus, memandang jam di dinding yang kini menunjuk pukul delapan lewat sepuluh menit. Sang gadis melepas kucir yang sedari tadi mencegah rambut tergerai sempurna. Ia menepuk kedua belah pipi dengan pelan, memantapkan niat sekali lagi untuk melakukan sesuatu.

"Ayo, (name)! Kita pasti bisa!"

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang