Bab 6

104 16 4
                                    

Pertanyaan (name) seakan tidak pernah mendapatkan jawaban. Semakin hari, dirasakannya sosok Gavin semakin tertutup, sering pulang sangat malam hingga tidak dapat bertegur sapa. Bahkan ketika sang gadis menghampirinya di tempat kerja, polisi muda itu tidak pernah menampakkan diri. Alasan klise seperti sedang bertugas selalu dijadikan jawaban yang sebenarnya tidak pernah memuaskan batin.

Namun, (name) tidak boleh kesal. Setelah diperlakukan dengan sangat baik hingga diberi kediaman yang layak serta pekerjaan untuk mendapatkan pundi-pundi, sang gadis sudah semestinya berterima kasih. Mengelus dada menjadi satu-satunya hal yang dapat dilakukannya.

Suatu hari pasti Gavin akan kembali seperti dulu. Namun, kapankah waktunya?

Yang jelas tidak dalam waktu dekat. (Name) tahu ada dinding tebal yang memisahkan dirinya dari Gavin. Tatapan ketakutan yang kerap dilempar Gavin setiap bertemu seolah menjelaskan segalanya.

Sayangnya, (name) sama sekali tidak tahu apa salahnya.

Ia tidak pernah menyeret Gavin ke dalam bahaya atau mengancamnya untuk melakukan suatu hal. Sebaliknya, sang gadis selalu melakukan usaha terbaiknya untuk memberikan bantuan kepada pemuda tersebut.

Berpikir keras mengenai alasan berubahnya Gavin bukanlah hal yang seharusnya dilakukan (name). Ada hal yang lebih penting saat ini, mendengarkan kelas singkat dari Minor mengenai apa saja yang harus dilakukannya sebagai pegawai baru di kantor.

"Nah, apakah kau sudah mengerti?" Minor beranjak dari computer yang sedari tadi menjadi fokus utamanya.

(Name) menggaruk kepala. Tentu saja ia tidak mengerti karena tidak terlalu perhatian. Akan tetapi, ini sudah ketiga kalinya Minor mengulang ajarannya dalam minggu ini. Meminta dijelaskan kembali sudah pasti bukan ide yang baik. "Akan kucoba dulu." Akhirnya, sang gadis memberikan jawaban sembari tersenyum kikuk.

Minor masih berdiri di sebelah sang gadis, merasa gusar. Sebenarnya, ia sudah menghafal gerak-gerik temannya itu semenjak dahulu. (Name) tidak pandai berbohong dalam situasi apa pun.

"Eh, kok tidak bisa, ya?" Sang gadis mengerjap ketika mendapati layar yang tidak menampilkan barisan angka seperti dalam penjelasan rekan kerjanya tadi. Ia menelengkan kepala, masih berusaha mengetik apa pun yang terlintas di otak.

Minor menepuk dahi, sudah menduga kejadian tersebut. Usai menghela napas, ia kembali mengambil alih. Penjelasan dituturkannya dengan jauh lebih pelan ketimbang sebelumnya.

Kali ini, (name) mengangguk mengerti. Ia mengetikkan dengan cermat setiap instruksi yang sudah diberikan. Layar komputer menampilkan angka yang diinginkan semenit kemudian. Sang gadis langsung melompat dari tempat duduknya, bersorak dengan bahagia.

Beberapa pegawai menggeleng-geleng mendengar pembicaraan tersebut, tak sedikit yang mulai berbisik menyebar gosip.

"Perempuan sebodoh itu diterima bekerja di sini? Jangan-jangan simpanan atasan."

Gunjingan tersebut yang paling sering sampai ke telinga. Perbuatan karyawan yang dipicu iri karena (name) diperlakukan dengan baik meski kinerjanya belum terlalu berdampak bagi perusahaan.

Efek gosip tersebut sangat besar. Tentu saja (name) sering mendapatkan sindiran secara langsung yang membuat pendirian goyah. Akan tetapi, ia tidak boleh menyerah. Ini keputusannya, sesuatu yang semestinya ia jalankan meski ada risiko yang ditanggung. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk mundur ketika sudah melaju separuh jalan.

"Bagaimana pekerjaanmu saat ini?" Pertanyaan yang ditanyakan Gavin di suatu pagi membuat (name) membatu. Mereka memang jarang berbicara, tetapi ritual sarapan bersama tetap menjadi kebiasaan. Sesekali, mereka akan bertukar pendapat.

Hanya saja, pertanyaan tersebut datang sangat mendadak, (name) tidak menyangkanya.

Berusaha tetap senang, sang gadis menjawab, "Baik, beberapa pekerjaan masih ada yang kesulitan, tetapi aku pasti akan beradaptasi." Ia menggaruk kepala yang tidak gatal sembari mengulas senyum gugup di wajah.

"Minor memberitahukan padaku bahwa ada beberapa orang yang mengganggumu di sana."

Tepat sasaran.

(Name) lupa bahwa Minor sangat setia kepada Gavin, memberitakan apa saja yang diinginkan polisi mud aitu, bahkan hingga ke akar-akarnya.

Ia mendesah jengah. Berdusta tidak lagi berguna saat ini. Mengaduk susu hangat di gelas bening, akhirnya (name) mengangguk sebagai jawaban. "Beberapa orang kantor tidak menyukaiku. Mereka mengatakan bahwa aku ini hanya selingkuhan atasan, makanya dibiarkan bekerja meski tidak membawa dampak baik bagi perusahaan."

"Apa perlu aku yang turun tangan dan bicara dengan mereka?"

"T-Tidak!" (Name) setengah menjerit mendengarkan usul tidak masuk akal tersebut. Dia bukanlah anak TK yang harus ditemani ke mana-mana. Gadis itu sudah dewasa, sudah berkepala dua. Tidak mungkin perkara sederhana seperti ini melibatkan pihak ketiga.

Selain itu, sang gadis juga sadar bahwa melibatkan orang lain akan membuat gunjingan menyebar dengan lebih liar ketimbang sebelumnya. Orang-orang akan menganggap dirinya sebagai simpanan banyak lelaki. Dan (name) tidak ingin dianggap seperti itu. Ia hanya ingin bertahan dalam pekerjaannya saat ini.

Kekhawatiran masih membungkus air muka pemuda tersebut. Akan tetapi, ia berusaha untuk tetap tenang. "Kalau sampai ada apa-apa yang terjadi padamu, katakan saja. Mungkin aku bisa membantu."

(Name) tersenyum, berusaha menyakinkan. Ibu jari kirinya terangkat dengan mantap. "Aku bisa mengatasinya. Percaya saja."

Gavin mengangguk dengan wajah skeptis. Sekali ini saja, ia membuang semua keraguannya. Mungkin (name) bisa mengatasinya, mungkin ia memang sudah dewasa.

Namun, mengapa senyum tersebut justru berkata sebaliknya? Seakan sedang menjerit meminta pertolongan, itulah yang sampai ke telinga Gavin.

Ia dapat melihat sosok adik kecilnya setiap bertemu pandang dengan netra gemilang gadis tersebut. Setiap tawa dan senyum yang tersuguh mengingatkannya akan sosok Shaw yang sudah bertahun-tahun tidak ditemui.

Tidak! Gavin tidak mungkin salah. Tawa yang sudah ia hafal itu memang persis dengan Shaw, begitu naif dan tak ada rasa benci sedikit pun. Sesuatu yang dirindukan pemuda itu.

(Name) adalah sosok itu, sosok seorang adik yang selama ini masih menetap di hati kecil sang pemuda.

Dan Gavin bersumpah akan melindungi adik kecilnya dari semua yang mengancam.

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang