Bab 7

112 17 7
                                    

"Hei, apakah kau sudah lihat lelaki di lobi kantor? Ia terlihat sangat tampan. Apakah ia sedang menunggu seseorang?"

Mendengarkan bisikan rekan sekerja yang lalu-lalang memang menjadi kebiasaan (name) ketika jam kerja nyaris usai. Wanita-wanita berusia tak jauh darinya akan sibuk naik dan turun, entah menunggu kekasih datang menjemput atau sekadar menghabiskan waktu.

Namun, sesuatu dari bisikan mereka terdengar berbeda hari ini. Lelaki tampan, begitu kata mereka. Apakah ada seseorang dengan wajah baru di lobi kantornya? Sang gadis mengangkat bahu, memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum sempat terselesaikan.

Ia kembali mengetikkan angka-angka dengan teliti, memasukkan satu per satu data yang terlampir pada berkas menumpuk di mejanya. Gadis itu menghela napas, masih belum terbiasa dengan pekerjaan barunya. Ekspor dan impor yang begitu besar menjadi penderitaan baginya, ratusan hingga ribuan data harus diurutkan.

Dan tentu saja tugasnya tidak selesai di sana. (Name) juga harus menelepon klien, memastikan mengenai pembelian yang tertera pada dokumen.

Tiba-tiba, rasa dingin menyerang ubun-ubunnya. Gadis itu mendongak, mendapati sosok Gavin yang berdiri tegap di belakangnya. Tidak seperti biasa, pemuda itu tidak menggunakan seragam kerjanya. Kemeja flanel biru gelap dan kaus putih polos membungkus tubuh bagian atasnya. Sesaat, (name) berpikir bahwa Gavin masih cocok berperan sebagai bintang utama dalam drama sekolah.

"Masih lama?" Sekaleng kopi yang tadi ditempel pada kepala sang gadis kini diletakkan Gavin di atas meja.

Sang gadis mengangguk pelan, menundukkan kepala untuk menghindari kontak mata. Ketukan keyboard menggaung dengan lebih intens setiap detiknya. "Mungkin satu jam lagi selesai." Ia menjawab sembari melirik sejenak jam di bagian bawah layar komputernya.

Gavin menguap kecil, kemudian menarik kursi terdekat dan memosisikannya tepat di sebelah kiri sang gadis. "Kerjakanlah. Aku akan menunggumu." Ia mencondongkan badan ke arah (name), memperhatikan baik-baik pekerjaan yang dilimpahkan sang atasan. "Tampak rumit." Alis cokelatnya bertaut tidak senang.

Tawa renyah (name) mengisi keheningan. "Tidak begitu sulit kalau sudah terbiasa. Hanya butuh ketelitian lebih." Tangan sang gadis tidak berhenti sedetik pun meski tengah berbicara. Diam-diam, Gavin merasa kagum dengan kelincahan jemari (name) ketika menari di atas keyboard hitam yang beberapa hurufnya sudah pudar akibat sering digunakan.

"Apa ini pekerjaanmu setiap hari?" Gavin membukakan minuman yang tadi ia beli, menyodorkannya ke arah sang gadis.

Menyesap cepat minuman tersebut membuat energi (name) terbangun kembali. Sensasi dingin menyentuh ujung lidah sebelum rasa pahit yang memanjakan ikut menyelimuti pengecapnya dari segala sisi. "Iya, tetapi aku sudah mulai terbiasa jadi tidak apa-apa. Ngomong-ngomong mengapa kau ada di sini?"

"Tentu saja untuk menjemputmu," jawab Gavin tanpa ragu. Ia mendekat, memperhatikan deretan angka yang semakin banyak jumlahnya. "Aku juga berbicara kepada atasanmu soal orang-orang itu. Rupanya wanita-wanita yang kaubicarakan memang benar-benar menyebalkan. Mereka bahkan mulai berbicara tentangku."

(Name) terkikik. Ternyata itu yang dimaksud rekan kantornya mengenai sosok pemuda tampan di lobi kantor. "Sudah kubilang kau tidak usah ikut campur dengan masalahku. Cepat atau lambat aku pasti bisa menyelesaikannya sendiri."

Gavin terdiam. Ia tahu tindakannya salah. Ia seharusnya membiarkan (name) melakukan semua sendiri, sesuai permintaan. Akan tetapi, sisi lain hatinya mendorong raga untuk bergerak sendiri, membuat keputusan yang di luar akal.

"Kakak tidak perlu melindungiku. Aku yang akan tumbuh besar dan melindungi kalian!"

Suara tersebut kembali bermain di memori. Gavin menampik, tidak membiarkan kesedihan di masa lalu mengambil alih pikiran. Matanya terbuka lebar, perlahan berusaha melupakan sosok sang adik dari pikirannya.

(Name) bukan Shaw.

Berulang kali harus digumamkannya kalimat tersebut dalam hati. Ia tahu bahwa sosok gadis di hadapannya bukanlah seseorang yang ia rindukan selama ini. Namun, menghabiskan semakin banyak waktu bersama (name) membuatnya semakin terbuai.

Apakah ini adalah pertanda buruk?

"Hei, Gavin. Aku sudah selesai." Sebuah suara menyeret kembali pemuda tersebut dari pergumulan yang ia alami.

Gavin mengerjap beberapa jenak, menghimpun konsentrasi yang perlahan menguap. Ia segera bangkit berdiri, membereskan kursi yang ia pakai. "Ayo pulang." Ia melangkah cepat, meninggalkan kantor yang diselubungi kegepalan setelah penerangan terakhir dipadamkan.

"Apakah kau baik-baik saja?" (Name) menyamakan langkah dengan pemuda tersebut, meski sedikit mengalami kesusahan. Lengan bebalut kemeja flanel tersebut ditariknya cepat. Tangan kanan sang gadis menempel di dahi Gavin, merasakan suhu tubuhnya. "Normal...."

Gavin memalingkan wajah. "Aku baik-baik saja. Mungkin masih sedikit lelah sehabis tugas."

Wajah pucat sang pemuda berkata sebaliknya. (Name) berani bertaruh bahwa ini bukan sekadar kelelahan. Ada sesuatu yang disembunyikan pemuda tersebut, sesuatu yang membuat dinding di antara mereka semakin kokoh dan sulit diruntuhkan.

Gavin menyodorkan helm berwarna hitam di depan gadis tersebut tanpa banyak bicara. Mengalihkan topik pun tak bisa ia lakukan karena kehabisan bahan pembicaraan. Ia naik ke atas motor, bersiap-siap melaju.

Pemuda tersebut menatap sebentar ke arah sang gadis melalui spion, memandangi wajah yang dibebani rasa kantuk tersebut. "Kalau aku terlalu cepat, katakan saja, ya."

Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu melaju, seakan sedang terburu-buru. Sejujurnya, napasnya belum sepenuhnya normal. Masih ada rasa cemas menggigit tulang.

Ia berhenti di depan sebuah bangunan cukup besar guna menenangkan diri.

"Bukankah ini akuarium dalam ruangan? Sayang sudah tidak beroperasi hari ini." (Name) tertawa singkat.

Gavin menoleh, mendapati papan besar di ujung jalan yang mengindikasikan bahwa bangunan di hadapannya adalah akuarium dalam ruangan. Gavin menggigit bibir bawah hingga merasa kelu.

Cengkeramannya mengerat pada motor. Ia memejamkan mata sejenak, kemudian melaju lebih cepat dari sebelumnya.

"Ketika aku masuk SD nanti, ayo kita ke sana, Kak. Aku mau melihat hiu! Ibu juga harus ikut, ya! Kita bertiga akan bersenang-senang."

Nestapa kian meremas dadanya hingga siap meledak. Akan tetapi, pemuda tersebut harus tetap melawan. Jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa sang adik dan ibu tidak akan kembali.

Di rumahnya, hanya ada (name), gadis yang bisa mengisi kekosongan besar dalam kalbu.

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang