Bab 4

105 22 5
                                    

"Apa benar Gavin sedang tidak ada di tempat?" (Name) mengernyit heran mendengar jawaban dari salah seorang polisi wanita yang bertugas di sana.

Sang lawan bicara mengangguk yakin. "Kalaupun ada, dia sangat tidak menerima tamu," ujarnya sembari memandangi (name) dari atas sampai bawah.

(Name) menggaruk kepala, mengeluarkan ponsel. Dua jam yang lalu, ia sudah mengabari Gavin bahwa dirinya akan mampir saat makan siang untuk mengantarkan bekal yang dibuat sehabis berbelanja. Bahkan, sang pemuda memberikan respons yang positif.

Polisi berambut cokelat bergelombang itu berkacak pinggang, merasa risi dengan kegigihan (name) dalam menunggu. Ia menghentakkan sepatu dengan keramik lantai, mencari alasan yang paling dahulu muncul di otak untuk mengusir gadis tersebut.

"Kalau ada yang ingin disampaikan, saya akan menyampaikannya." Polisi itu tersenyum ramah, kedua matanya terpejam sempurna. "Saat ini Gavin masih sibuk." Ia menekankan setiap kata-kata seakan (name) akan mengganggu pekerja pemuda berusia 24 tahun itu.

"Officer Lowe, tolong jangan berbohong." Suara tersebut membuat kedua insan yang sedang berkomunikasi melonjak kaget. Beberapa meter di belakang polisi perempuan itu, Gavin berdiri sembari melipat tangan di dada. Kerutan di dahinya tampak jelas, menunjukkan bahwa ia merasa tidak senang dengan dusta yang diungkapkan rekannya itu.

Lowe menggaruk pipi canggung. Ia melemparkan pandangan ke samping, tidak berani bersitatap dengan netra tajam pemuda itu. "Kupikir kau tidak suka diganggu." Ia kembali mencari alasan untuk membenarkan diri.

Decakan penuh kekesalan menjadi satu-satunya sahutan yang didapatkan oleh Lowe. Memutuskan untuk tidak menanggapi lebih, Gavin menghampiri (name), mengajaknya untuk segera keluar.

"Maaf soal dia." Pemuda berambut cokelat itu mengusap tengkuk.

(Name) menggeleng. Tidak bisa disangkal lagi bahwa tindakan Lowe tadi memang menyulut rasa jengkel dalam dada. Akan tetapi, ia segera menampik perasaan tersebut jauh-jauh, tidak ingin memedulikannya. "Ngomong-ngomong aku membawakanmu ini."

Berusaha mengganti topik yang tidak menyenangkan, (name) mengangkat kantong plastik besar yang ia bawa, menyodorkannya dengan sepenuh hati kepada lawan bicaranya.

Gavin mengangkat alis, menerima dengan segan, kemudian mengintipnya.

Melalui tutup kotak bekal yang bening, ia mendapati makan siang yang disiapkan dengan begitu apik oleh sang gadis. "Untukku?" Ia bertanya, masih merasa ragu dengan apa yang diterima barusan.

Sang gadis mengangguk yakin. Teringat kembali di benaknya menit demi menit yang dihabiskan hanya untuk memastikan bahwa setiap bumbu sudah mengambil peran terbaiknya. "Spesial untukmu!"

Mendengar seruan tersebut, Gavin mengulum senyum di wajah. Jemari (name) ditariknya dengan lembut. Langkah tegas pemuda itu membawanya menuju sebuah taman kecil yang nyaris tak didatangi siapa pun. Sebuah bangku yang sudah dimakan usia menjadi tempatnya untuk menyantap makan siang kali ini.

Gavin meletakkan kotak bekal tersebut di pangkuannya, membukanya dengan bersemangat. Potongan ayam yang dilumuri saus teriyaki kecokelatan langsung menyerap perhatiannya. Tampilannya begitu menggoda. Rasanya pun tak usah dipungkiri lagi—Gavin tahu bahwa (name) selalu mendapatkan nilai tertinggi pada kelas memasak.

 Rasanya pun tak usah dipungkiri lagi—Gavin tahu bahwa (name) selalu mendapatkan nilai tertinggi pada kelas memasak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menyadari titik embun di penutup wadah tersebut, Gavin lantas bertanya, "Ini baru dibuat?"

"Iya. Semoga cocok dengan seleramu!"

Hening sesaat. Hanya suara Gavin yang bergumam sembari mengunyah potongan ayam yang manis itu. "Enak." Satu kata itu dikeluarkan dengan desahan panjang.

Mengernyit dalam, (name) segera bertanya, "Apakah rasanya tidak enak? Atau jangan-jangan tidak cocok dengan seleramu."

Sebuah gelengan cepat menjadi jawaban mutlak yang diberikan sang lawan bicara. Iris kuningnya meredup selagi beberapa kilas balik menari bebas di benak. "Maaf, aku hanya—" Perkataannya terputus ketika teringat akan sosok sang ibu yang dari dulu mengantarkan bekal Gavin yang sering tertinggal.

"Lain kali aku pasti akan membuat yang lebih enak lagi."

Namun, tiada jawaban ataupun penolakan yang diberikan Gavin. Tubuh pemuda itu sedikit gemetar mengingat ingatan yang dikuburnya sedalam mungkin. Ia mengibaskan tangan ke arah (name)—satu-satunya tanggapan yang bisa diberikan saat itu.

Merasa ada yang tidak beres, tangan kiri (name) beralih, menyentuh punggung Gavin, membelainya perlahan sebagai upaya untuk menenangkan pemuda di hadapannya itu.

Gavin tidak bersuara. Kedua kelopak mata menutupi netra yang siap menumpahkan kepedihan batin yang selama ini dipenjarakan. Napasnya semakin pendek, ritme jantungnya menjadi sangat tidak teratur.

"A-aku ... baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Pulanglah. Aku akan menghabiskan bekalku setelah merasa lebih baik."

Kekhawatiran masih terpahat jelas di wajah sang gadis. Ia beralih, hendak menggenggam jemari jenjang Gavin, tetapi akhirnya mengurungkan niatnya. "Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini?" (Name) duduk tegap. Menjadi keras kepala merupakan pilihan terakhirnya saat ini. Ia tidak mungkin meninggalkan seorang pemuda yang jelas sekali sedang diserang rasa panik.

Gavin membuka mulut sekali lagi, tetapi hanya embusan napas kasar yang dapat didengar. Ia memegangi kepala, merasakan nyeri parah menikam. "Kumohon ... tinggalkan aku sendiri." Suara seraknya berhasil mengisi senyap setelah tiga menit dilalui.

Mengangguk paham, gadis itu akhirnya bangkit berdiri. "Kabari aku kalau ada apa-apa. Aku akan segera datang."

Beberapa saat setelah kepergian (name), pusaran angin mulai mengelilingi Gavin. Semakin lama, kumpulan angin itu membentuk warna kelabu samar.

Suara teriakan Gavin diredam sepenuhnya oleh pusaran tersebut. Ia meluapkan emosi yang sedari tadi ditahan karena gengsi. Bulir air mata bergelung menuruni pipi, tetapi sang pemuda tak berencana jejak penanda duka tersebut.

Mengacak rambut dengan frustrasi, ia lantas bermonolog, "Kapan aku bisa melupakan semua ini...?" Isak tangisnya dimakan oleh angin yang menyapu. "Sampai kapan aku harus terus menderita?"

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang