Ruangan putih tersebut tidak asing lagi bagi (name). Entah sudah berapa kali gadis tersebut masuk ke rumah sakit akibat kekurangan nutrisi atau hal-hal lainnya. Imunitasnya yang lemah sejak dilahirkan membuatnya tidak bisa terlepas dari gedung tersebut.
Namun, bukan dirinya yang dirawat saat ini, melainkan Gavin. Pemuda itu berbaring lemah dengan infus yang terus mengalirkan cairan ke dalam tubuh. Sebuah selang panjang berlabuh di hidungnya untuk memasok oksigen agar kesetimbangan terjaga.
Eli menjelaskan bahwa ia menemukan Gavin pingsan di dalam sebuah bangunan yang terbakar. Nyawanya nyaris melayang karena menghirup karbon monoksida terlalu banyak. Terlebih dengan keadaan tipis oksigen seperti itu. Gavin bisa saja tidak selamat. Beruntung pihak rumah sakit berhasil memberi pertolongan yang tepat hingga kondisinya cukup stabil.
(Name) menyentuh jemari panjang tersebut, merasakan ruas tulang yang menjiplak jelas di balik kulit pucat Gavin. Ia melirik ke arah ekokardiogram yang memproyeksikan denyut jantung sang pemuda, bersyukur karena alat tersebut masih menunjukkan grafik yang tidak statis.
Dua minggu berlalu semenjak berita mengguncang tersebut, tetapi tidak ada kemajuan berarti. Eli sempat mengatakan bahwa sudah saatnya mereka menyerah, membiarkan Gavin pergi begitu saja. Namun, (name) menolak mentah-mentah. Ia percaya Gavin akan segera siuman.
"Kalau suatu hari ia memang tidak bisa ditolong lagi, kau harus siap melepaskannya, (name)." Suara Eli menyapa pendengaran. Sejak (name) bermalam di rumah sakit, pemuda itulah yang rutin memeriksa keadaan sang gadis. "Sampai kapan kau akan seperti ini? Aku tahu bahwa kau sangat sayang pada Gavin, tetapi kau juga harus menjalani hidupmu." Kantong plastik bening berisi makan siang diletakkannya di atas nakas.
(Name) tersenyum miring. Kehidupannya kacau semenjak Gavin dinyatakan koma. Ia bahkan tidak mengabari pihak kantor soal ketidakhadirannya. Sang gadis yakin bahwa ia akan segera dipecat akibat kinerja yang menurun.
Sebenarnya, apa yang menyebabkannya dirundung perasaan seperti ini? Apa benar bahwa ia menyayangi Gavin?
Sang gadis tak mampu menjawab. Baginya, Gavin bukan lagi si mantan teman sekelas berhati baik, tetapi bagian dari keluarga yang semestinya dijaga dengan baik.
"Aku yakin dia akan bertahan. Beri aku seminggu. Jika ia tak kunjung menunjukkan kemajuan, aku akan setuju dengan usulanmu." (Name) berkata sendu. Tangannya meremas ujung selimut putih hingga kusut. Beberapa bagian menjadi basah akibat air mata yang enggan berhenti.
Eli akhirnya menyutujui kesepakatan tersebut. (Name) yang keras kepala sama sekali tidak membuka ruang untuk bernegosiasi.
Ia menepuk punggung gadis itu beberapa kali. "Kuharap kau bisa menerima apa pun yang terjadi ke depannya. Semua mungkin menyakitkan, tetapi aku yakin kau adalah orang yang kuat. Gavin sering berkata begitu tentangmu."
(Name) mengerjap. Matanya yang memerah akibat menangis terbuka lebar, menatap Eli dengan penuh keraguan. "Gavin bercerita tentangku?"
Eli mengangguk. Sebuah senyum terukir di wajahnya, meniru ekspresi Gavin ketika menceritakan soal gadis yang tinggal di rumahnya. "Dia selalu senang ketika bercerita tentangmu, terlebih ketika menyantap bekal yang dibuat olehmu. Dia bahkan sampai menolak ajakanku untuk ke restoran."
Segudang cerita yang tak pernah disingkap sebelumnya diucapkan Eli dengan begitu lancar. Semuanya tentang Gavin dan (name).
Bagaimana Gavin sangat bersyukur karena bertemu dengan sosok (name) yang mampu mengisi kepingan hati. Bagaimana Gavin merasa begitu bersalah karena tidak bisa terbuka dengan satu-satunya orang yang ia andalkan saat ini. (Name) baru tahu semua hal tersebut tatkala Eli mengutarakannya.
Air mata semakin deras seiring kenyataan menghantam tubuh mungil sang gadis. Di luar dugaan, Gavin tidak pernah menganggapnya sebagai beban, melainkan sosok pembawa afeksi yang bermuara dalam kasih sayang lewat perbuatan.
Jika saja (name) sadar lebih awal, mungkin ia bisa merangkul pemuda tersebut, menjadi cahayanya kala kegepalan ingin sekali mengambil alih.
Eli pergi meninggalkan sang gadis selepas mendapat panggilan untuk kembali ke markas. Ia mengucapkan maaf karena tidak dapat menemani lebih lama lagi—yang hanya dibalas senyum samar oleh (name).
Jemari jenjang tersebut kembali diraih oleh (name) setelah termenung dalam kehampaan. Kali ini, ada ratusan emosi yang ikut mengali, mendesak pemuda tersebut untuk bangun.
(Name) sungguh berharap Gavin bisa membuka matanya, mengatakan padanya bahwa semua ini hanya sandiwara, mengatakan bahwa dia baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sayangnya, tubuh itu tetap membujur lemah di atas ranjang. Tiada respons positif yang menyambut meski (name) terisak bagai bayi yang baru lahir.
Sorot mata gadis itu memindai tubuh Gavin. Luka-luka bekas perlawanan mengecap tubuhnya, menandakan bahwa pekerjaan pemuda itu tidak pernah mudah. Bagian tubuhnya sering menjadi korban kekerasan ketika meringkus kriminalitas di luar sana.
Seberapa banyak yang tidak diketahui (name) mengenai insan yang berada di hadapannya saat ini?
Ia bahkan baru menyadari jejak luka yang menutupi tubuh atletis tersebut, padahal sudah sekian bulan berada di bawah naungan atap yang sama. Apakah (name) selama ini terlalu apatis?
Gadis itu menggiggit bibir bawahnya, membiarkan rasa sakit menguasai selama beberapa saat selagi kedua netra terpejam rapat. Batinnya memohon agar pemuda tersebut segera sadar. Ia masih ingin tinggal lebih lama bersama Gavin, menghabiskan waktu untuk saling mengenal dan membicarakan masalah yang sedang dihadapi.
Ia ingin berada di sebelah Gavin ketika kelak pemuda itu bertemu kembali dengan adiknya dalam reuni penuh haru.
(Name) ingin menjadi kehangatan yang akan setia mendiami rumah Gavin tatkala pemuda tersebut pergi menjalani misi dan menyambut ketika malam hari tiba.
Salahkah jika ia meminta demikian?
Remasan lembut di telapak tangan sang gadis membuatnya tersentak. (Name) buru-buru membuka mata, setengah tidak percaya dengan sensasi yang diterima. Mulutnya terbuka agak lebar kala melihat pemandangan di hadapannya.
Jemari itu, jemari Gavin, bergerak. Dan (name) seratus persen yakin bahwa ia tidak bermimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart for the House
FanfictionSeorang perempuan yang membutuhkan tempat tinggal dan seorang lelaki yang membutuhkan kehangatan di rumahnya. Kala roda takdir berputar, benang merah mempertemukan mereka, mengisi satu sama lain bak kunci dengan gemboknya. Ini bukan cerita cinta rem...