Bab 8

91 17 1
                                    

Akuarium dalam ruangan. Entah apa yang sedang dipikirkan (name) hingga ia memberanikan diri mengajak Gavin ke tempat tersebut. Alasannya sederhana: melepas lelah sehabis menekuni pekerjaan selama satu pekan penuh.

Hal yang paling mengejutkan adalah jawaban yang diberikan. Gavin setuju tanpa berpikir terlebih dahulu. Sebuah anggukan menjadi respons positifnya.

Dan yang terjadi berikutnya tentu saja sudah dapat dipastikan. Akuarium tersebut menjadi destinasi wajib pada hari Minggu. Gavin dengan sif sorenya pun menyempatkan diri untuk menemani sang gadis.

"Gavin, wajahmu pucat sekali. Apa kita batalkan saja?" Cemas terpatri di wajah (name) kala menatap Gavin. Bulir keringat mengalir deras di pelipisnya, padahal hari sedang sejuk.

Jemari sang gadis menyentuh lengan kekar di hadapannya. Dingin, di atas batas yang sewajarnya. Cengkeramannya mengerat, memaksa Gavin untuk berhenti melangkah. "Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Ayo segera masuk." Lagi-lagi pemuda itu menyakinkan setelah menutup lengannya dengan jaket yang agak tebal.

Masih tidak percaya, (name) sebenarnya enggan melanjutkan perjalanan yang ada di depan mata. Namun, Gavin sudah melakukan pembayaran. Ia menyodorkan tiket berwarna biru laut di hadapan sang gadis. Sebuah senyum paksa melekat di wajahnya semenjak pagi.

Gavin sedang menahan rasa sakit, (name) sangat paham akan hal tersebut. Hanya saja, apa rasa sakit yang dipendamnya hingga wajah memucat seperti itu?

"Ayo masuk saja." Jemari Gavin tertahan beberapa sentimeter di depan tangan sang gadis, hendak menggapai, tetapi akhirnya diurungkan. Ia berjalan lebih cepat, mendahului sang gadis.

Dalam sekejap saja, warna biru laut menyelubungi penglihatan. Tangki dalam ruangan ini memang luar biasa besarnya, mengitari hampir segala sisi. "Wah ini pertama kalinya aku ke sini. Indah, ya." Seekor ikan bercorak jingga-putih menghampiri sang gadis, memamerkan corak indahnya. "Liat ini, Gavin! Dia menyapa kita!" Telunjuk mungil itu mengetuk kaca pembatas beberapa kali.

Gavin mendekam, mengamati ikan kecil yang berenang rendah. Siripnya yang melambai-lambai seakan menyapa pengunjung yang lewat.

"Kak, lihat ikannya lucu, ya." Sejenak, Gavin beranggapan bahwa suara tersebut hanyalah bagian dari masa lalunya—yang sebaiknya segera dilupakan. Akan tetapi, ia mendapati sesosok lelaki dengan baju tanpa lengan berwarna putih. Rambut hitam bocah tersebut bersembunyi di balik topi yang ia kenakan.

Gavin tersenyum lembut, menatap bocah dengan manik berkilau bak lautan itu. "Iya, mereka memang menggemaskan, tetapi apakah mereka bahagia?" Tangan kiri (name) menempel sempurna pada kaca pembatas. Sorot matanya kosong, seolah ikut kehilangan harapan.

Netra kuning yang sedari tadi rileks kini menegang. Sedikit rasa tidak percaya mulai merayap perlahan dari kedua kaki.

"Di tempat terbatas seperti itu, apakah mereka merasa bahagia? Apa mereka tidak merasa terkekang?"

Lagi-lagi memori tentang Shaw singgah di kepala, memenuhi benak yang tadinya dihinggapi rasa damai. Punggung Gavin membentur dinding pembatas, untung tidak menimbulkan kerusakan apa pun. Pemuda itu memegangi kepala, keringat deras mulai membasahi hoodie yang ia kenakan.

Tidak perlu lama bagi Gavin untuk terduduk di lantai, masih dengan rasa nyeri yang menghujam. Kepalanya ingin pecah, seolah ribuan jarum menusuk bersamaan.

Terengah, pemuda itu mengangkat kepala. Raut penuh kekhawatiran langsung memenuhi pandangan. Beberapa pasang mata mengarah langsung ke arah Gavin, tetapi segera teralihkan dalam hitungan detik.

(Name) berjongkok, menyentuh dahi Gavin yang agak panas. Alisnya tertaut dalam, kerutan samar tampak di kening. "Kita pulang saja, ya." Permintaan sederhana itu lebih mirip desakan di telinga Gavin. "Kau sakit, jadi ayo pulang saja."

Gengsi yang berkuasa membuat sang pemuda tidak merestui permintaan tersebut. Ia bangkit berdiri, meneguk air mineral dari botol yang disodorkan lawan bicaranya. Ritme napasnya perlahan kembali normal. "Sebelum pulang, ada tempat yang ingin kudatangi."

Mengangkat alis sebelah, (name) hanya bisa mengikuti langkah Gavin yang melaju ke depan, melewati tangka berisi makhluk laut berukuran kecil dan sedang.

Ia berhenti beberapa menit kemudian. Tangki di hadapannya tidak secerah sebelumnya. Beberapa ekor hiu melintas. Giginya yang tajam seolah mengancam siapa pun yang berani maju.

Gavin mengembuskan napas kasar. Tangannya menyentuh lembut dinding pembatas, tidak peduli dengan teror yang diberikan oleh hiu yang lewat.

"Kakak! Kakak harus berjanji padaku, kita akan melihat hiu yang besaaar bersama, kemudian kita akan mengambil foto. Mama juga harus ikut, ya!"

Gavin menggigit bibir bawahnya yang gemetar hebat hingga mati rasa. Kedua maniknya terasa begitu penuh, digenangi oleh kenangan dan air mata yang ingin menganaksungai. Tangan kirinya terkepal, menyesali banyak hal yang tidak sempat dilakukannya selagi waktu mengizinkan.

"Shaw, aku di sini. Aku ... menepati janji kita, 'kan? Di manapun kau berada sekarang, kuharap kau sudah melihat hiu besar itu." Suara penuh nelangsa tersebut dituturkan perlahan, nyaris tak terdengar sama sekali.

Lengan (name) bergerak, menyokong tubuh Gavin yang terlihat begitu rapuh. Ia tidak berani bertanya ataupun berucap apa pun. Sang gadis takut bahwa perkataannya justru menambah fragmen-fragmen kesakitan yang sudah menyesakkan hati Gavin.

Dibiarkannya pemuda tersebut menyelesaikan kegiatan termenung di depan akuarium. Kepalanya tertunduk, ikut merasakan kesedihan yang mendalam.

"Janji Kakak lunas, ya." Menjauhkan tubuh dari tempat tersebut, Gavin mengulas senyum—masih setengah terpaksa. "Sekarang tepati janjimu untuk bertemu kembali denganku, Shaw." Ia mendesis di balik napas berat.

Beban berat yang ditanggung Gavin perlahan terangkat. Ia perlahan berdiri dengan lebih tegap, meyakinkan diri sendiri bahwa penyesalan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. "(Name), terima kasih sudah mengajakku ke sini. Dan maaf karena justru menyita waktumu dengan berlama-lamaan di tempat ini."

(Name) menggeleng, sama sekali tidak merasa keberatan meski harus menunggu ribuan tahun sekalipun. Ia menepuk pelan punggung yang masih serapuh kaca tersebut. "Seandainya ada yang ingin kauceritakan, aku siap mendengarkan. Datanglah kapan saja kau merasa penuh atau lelah," tutur sang gadis dengan intonasi yang teramat lembut.

"Tidak apa-apa. Aku hanya terbawa emosi."

Sebuah elakan kembali mempertebal dinding yang sudah berdiri tegap di antaranya dengan (name). Gavin tahu hal ini tidak benar. Dialah yang membangun pembatas tersebut, penghalangnya dari kebahagiaan. Sama seperti ikan kecil di dalam tangki akuarium, ia tidak akan bisa mendapatkan sukacita dengan cara seperti ini.

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang