Bonus Part

142 13 1
                                    

A/N :

Part ini adalah cerita tambahan mengenai cerita masa lalu Gavin. Perlu ditegaskan bahwa bagian ini hanyalah karangan penulis, sehingga kemungkinan akan berbeda dengan jalan cerita game-nya

* * *

Sekolah akan dimulai beberapa hari lagi. Namun, tahun ini ada sesuatu yang berbeda dari Gavin. Selain resmi menjadi murid kelas lima, pemuda tersebut kini tidak lagi sendirian. Ia akan bersama adiknya yang baru masuk sekolah dasar.

Senyum di wajah Gavin merekah. Dengan adanya Shaw di sekolah yang sama, hari-harinya pasti akan lebih berbeda. Setidaknya ia akan memiliki teman untuk diajak berbicara selama beberapa jam di tempat menimba ilmu tersebut.

Gavin mengintip lagi ke arah kantong plastik yang dibawanya. Aneka keripik dan manisan berjejer rapi di dalam, siap untuk dibagikan kepada sang adik. "Shaw pasti senang karena aku berhasil mendapatkan edisi terbatasnya." Ia bersenandung riang di bawah langit yang kian menggelap.

Hari ini adalah hari Minggu, sehari sebelum tahun ajaran baru dimulai. Sebagai perayaan, Gavin hendak mengadakan pesta kecil-kecilan bersama Shaw dan ibunya, Wardia.

Pemuda itu segera membuka pintu kala tiba di sebuah rumah berlapis cat kelabu yang teduh. Ia melepaskan sepatu yang agak kusam dan meletakkannya kembali pada rak yang disediakan.

"Aku pulang!" Ia berlari ke ruang tengah, berharap dapat menemukan sosok adik yang menjadi sahabat terbaiknya.

Namun, ruang tamu begitu sepi. Televisi dimatikan, lampu pun berada dalam kondisi padam. Bahkan mainan Shaw tidak lagi bertebaran di atas karpet, seakan eksistensinya menghilang begitu saja.

Gavin menjatuhkan belanjaannya, kemudian berlari cepat ke kamar adiknya. "Shaw!" Ia berseru sembari membuka setiap pintu yang ada.

Langkahnya berhenti ketika mendengar ringisan seorang wanita yang tidak asing. Gavin membuka pintu terakhir yang belum dijamahnya, lantas menemukan sosok Wardia yang terkulai di tepi ranjang.

"Ibu?" Anak sulung dari keluarga itu berjongkok. "Ada apa?" Ia meraih jemari yang berada di balik selimut putih tersebut.

Wardia menghela napas beberapa kali sebelum mengangkat wajahnya yang lesu. Wanita berambut cokelat tersebut memaksa senyum di wajah. Tangannya yang agak gemetaran mengusap kepala putra pertamanya dengan penuh kasih.

"Gavin sudah pulang rupanya...," ujarnya berusaha mengalihkan perhatian.

"Ibu kenapa menangis?" Netra serupa batu ambar itu membulat, ikut berkaca-kaca akibat kesedihan yang telanjur menganaksungai.

Wardia menggeleng berat. Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan sang buah hati. "Ibu tidak apa-apa." Ia kembali meyakinkan sembari bangkit berdiri.

Butuh beberapa menit bagi Gavin untuk percaya pada seuntai kebohongan yang diucapkan. Ia kemudian mengekori langkah wanita itu ke dapur. "Ibu, Shaw di mana?"

Pertanyaan yang paling ditakutkan Wardia akhirnya meluncur dari bibir putranya. Gerakan lincah sang wanita berhenti. Ibu dari dua anak itu sebenarnya sudah bisa menerka pertanyaan maut tersebut akan segera menghampirinya. Namun, ia tidak mampu menjelaskan semuanya.

Wardia menghela napas. Raut kesedihan menekuni setiap inci wajahnya. Pisau yang tadi digunakan untuk memotong tahu kini diletakkan di atas talenan.

"Ibu...?" Suara Gavin terdengar tidak stabil. Entah mengapa pemuda itu bisa merasakan ada sesuatu yang tidak benar.

Wanita itu berjongkok. Netranya beradu dengan kedua mata putranya. Ia menggenggam lengan kecil yang ditutupi plester akibat luka. "Shaw untuk sementara akan tinggal dengan Ayah." Wardia menelan kembali kepiluan yang siap menyergapnya, kemudian mengulas senyum samar. "Dia akan kembali. Tenang saja."

Heart for the HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang