"Kakak, aku takut! Hujannya begitu deras dan aku tidak bisa tidur."
Gavin selalu mengingat ucapan adiknya di kala badai menyerang. Malam yang begitu dingin memang sulit membuatnya tertidur. Di malam seperti itu, Shaw akan merangkak menuju ranjang kakaknya, beringsut di balik selimut yang menutupi badan Gavin, kemudian meraih jemari yang terasa hangat tersebut.
"Memegang tangan Kakak membuatku merasa aman dan bisa tidur nyenyak!"
Sayangnya, hal itu perkara belasan tahun silam, ketika Shaw masih berada di sampingnya. Sekarang, ia tinggal seorang diri. Tidak ada lagi yang akan menggenggam jemarinya dengan penuh ketulusan seperti sang adik.
Setidaknya itu yang dipikirkan Gavin.
"Kumohon Gavin, kembalilah ke rumah denganku. Tanpamu, tempat itu bukanlah rumah yang sesungguhnya."
Suara samar itu membelai halus pendengarannya. Secercah kehangatan merambat dari telapak tangannya. Sudah lama tidak ada yang meraih jemari jenjang pemuda tersebut.
Dengan mata masih terpejam, pemuda itu meremas lembut jemari yang tertaut dengannya, seolah ingin mengatakan semuanya baik-baik saja. Sentuhan itu persis seperti adiknya, diselubungi rasa takut, tetapi justru membawa rasa nyaman.
"G-Gavin...?" Panggilan tertahan itu terdengar penuh air mata. "Dokter! Aku harus memanggil dokter!"
Tidak banyak hal yang diingat Gavin sesudah itu. Ia hanya tahu bahwa ia sudah pulih dari koma yang menyerang selama beberapa minggu. Ekspresi (name) yang penuh haru menyambutnya tatkala kesadaran sudah terhimpun seutuhnya.
Tangan Gavin yang masih dikekang selang infus menyentuh lembut pipi berlinang air mata tersebut. Sebuah senyum lemah mengukir wajah pucat sang pemuda. "Tidak apa-apa (name). Aku ada di sini, jangan khawatir."
Jemari ramping tersebut kembali dibalut kehangatan telapak tangan (name) untuk kesekian kalinya. Gadis itu terisak, berusaha menghentikan tangisan lega yang terus membanjiri. "A-Aku benar-benar takut kehilanganmu. Untung saja kau segera sadar, Gavin."
"Sekarang aku di sini, bersamamu. Jangan takut lagi, ya. Melihatmu menangis membuat hatiku sesak." Ia berhenti sebentar, menghela napas dalam-dalam. "Ngomong-ngomong, kenapa aku dirawat di rumah sakit?"
Gavin memijat dahi, berusaha mengingat kembali apa yang sudah terjadi kepadanya. Akan tetapi, memori tersebut seolah tersegel begitu saja. Satu-satunya yang masih membekas adalah jeritan panik Eli.
"Kau tidak ingat? Eli berkata kau terjebak di dalam gedung yang terbakar hingga pingsan." Gadis itu meremas selimut di hadapannya sembari mencodongkan wajah untuk menatap bingkai wajah yang semakin hari tampak lebih tirus.
"Kebakaran...."
Netra kuning yang tadinya berbinar penuh harap langsung berubah keruh, seakan semua cahayanya diserap balik oleh kenyataan yang baru ia terima.
Api, satu hal yang amat ditakuti Gavin semenjak sepuluh tahun lalu. Si jago merah yang telah melahap habis satu-satunya kasih yang tersisa dalam hidup.
Rasa trauma menjalar batinnya. Ingtan hari itu kembali menjelma menjadi visual yang amat jelas. Setiap detik dapat dirasa jelas oleh sekujur tubuh, seakan dirinya benar-benar kembali ke sepuluh tahun yang lalu.
Ia memejamkan mata. Keringat mulai membanjiri tubuhnya yang masih lemah.
"Gavin, apa yang terjadi?" Raut wajah cemas sang gadis kembali ketika melihat pemuda itu merintih kesakitan, lantas terbaring di ranjang.
"I-Ibu...." (Name) mendengar jelas suara parau yang membelah hati tersebut. Selama mengenal Gavin, ia tidak pernah melihat sang pemuda seperti ini, begitu tidak berdaya seperti seekor anak kucing yang sekarat. Rambutnya yang tertata rapi teracak asal guna melampiaskan semua rasa yang membentur dada.
Sekali lagi (name) tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mengusap punggung yang gemetaran itu sebagai upaya menenangkan, tetapi sebenarnya sang gadis tahu bahwa hal seperti itu tidak banyak membantu.
Gavin berdiri, berlari kecil ke kamar mandi sebelum (name) sempat bereaksi. Sang pemuda menghabiskan sepuluh menit di dalam sana, menatap wajah kusutnya dalam diam, kemudian menghantam cermin dengan tangan kanan hingga pecah.
Suara itu membuat (name) melonjak dari tempat duduknya. Ia segera menuju kamar mandi, menggedor pintu yang tak kunjung dibuka. "Gavin, apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"
Tidak ada jawaban, seakan sang lawan bicara telah terlelap begitu saja. Tersungkur di depan pintu, sang gadis hanya bisa berdoa dalam hati. Jemarinya tertaut, menekan telapak tangan hingga mati rasa. Satu hal yang menjadi harapannya ialah Gavin dengan sebuah senyum yang mengonfirmasi bahwa semua baik-baik saja.
"(Name)...." Suara pemuda tersebut terdengar setelah keheningan tiada akhir. (Name) mengangkat kepala, menyadari bahwa Gavin masih di dalam kamar mandi, mungkin terduduk di lantai dengan punggung bersandar di pintu, sama seperti dirinya.
Sang gadis hanya menggumam pelan sebagai jawab, menandakan bahwa ia siap menyimak apa pun yang akan dikatakan berikutnya.
Gavin membuka mulut. Semua kepedihan hati menohok tenggorokannya sebelum ditelan kembali ke dalam batin. "Maaf...," lirihnya. "Maaf karena aku selama ini menjauhimu mendadak. Kau pasti kebingungan. Aku memang lelaki yang buruk."
(Name) menggeleng. Baginya, Gavin tidak pernah melakukan kesalahan. Tiba-tiba dijauhi memang tidak menyenangkan, tetapi ia yakin pemuda tersebut memiliki alasannya tersendiri. "Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Semua orang perlu waktu sendiri untuk bertumbuh. Itu adalah hal yang wajar."
Pemuda itu menghela napas, bersyukur atas pengertian yang diberikan. Sayangnya, ini bukan sesuatu hal yang wajar baginya. Mengundang (name) dan membuka hati lantas menutupnya kembali tepat ketika sang gadis sudah mencapai ambang pintu, itu adalah hal yang sangat keji bagi seorang Gavin. "Aku pasti orang paling jahat yang pernah kautemui." Tawa sendu dikeluarkan Gavin seiring kalimat tersebut diucap.
"Tidak! Kau adalah orang terbaik yang pernah kutemui. Dan aku sangat bersyukur karena telah bertemu dengan lelaki sepertimu." Kerutan jelas menghias kening Gavin tatkala mendengarkan jawaban yang di luar ekspektasinya. Sahutan yang diberikan terdengar amat ikhlas, tidak ada rasa benci atau amarah yang memahat satu suku kata pun.
Pemuda itu memeluk kakinya, mendongak untuk menatap langit-langit yang ditemani lampu remang. "Hei, (name). Apa aku boleh bercerita padamu?"
(Name) mengangguk yakin meski tahu Gavin tidak melihatnya. Guratan senyum lembut mematri wajahnya yang sejak tadi datar.
"Kapan saja kauingin bercerita, aku siap mendengarkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart for the House
FanfictionSeorang perempuan yang membutuhkan tempat tinggal dan seorang lelaki yang membutuhkan kehangatan di rumahnya. Kala roda takdir berputar, benang merah mempertemukan mereka, mengisi satu sama lain bak kunci dengan gemboknya. Ini bukan cerita cinta rem...