Pemuda itu bernama Gavin, seorang dengan tubuh tegap, bingkai wajah yang sempurna dan tegas. (Name) mengenalnya lewat kerja kelompok yang mengharuskannya berdiskusi dengan rekan semeja.
Namun, kejadian tersebut sudah lewat sekian tahun, menyisakan memori yang agak samar bagi sang gadis. Ia tidak mengingat pernah berinteraksi dengan intens dengan pemilik sepasang netra kuning berkilau. Jikalau pernah pun, hanya sebatas mengerjakan proyek akhir tahun semata.
Sejauh yang diketahuinya, Gavin sulit didekati, ia selalu membuat batas-batas dengan lingkungan sosialnya. Temannya hanya beberapa, kebanyakan berasal dari kelas seberang, atau bahkan tingkat di bawahnya. Di kelas, ia jarang mengutarakan pendapat. Acap kali (name) mendapati bangku milik pemuda tersebut tidak ditempati.
Kendati demikian, (name) tidak pernah mengajukan pertanyaan sama sekali mengenai kehidupan pribadi Gavin.
Karena itu, sang gadis tak menyangka sebuah tawaran dari pemuda yang terkenal berandal tersebut menghampirinya di kala putus asa menjamah.
Sebuah tawaran untuk menempati kediamannya. Gavin tidak memberi keterangan lebih lanjut mengenai usulan yang ia cetuskan tempo hari. Ia hanya berpesan kepada sang gadis untuk mengetuk pintu apartemennya kapan saja jika sudah memutuskan—kesempatan terbuka lebar bagi (name).
Bagi kebanyakan orang, tinggal bersama padahal tidak memiliki hubungan khusus apa pun akan terdengar begitu menjijikan—seolah menyerahkan diri kepada orang asing. Namun, logika tersebut dipatahkan karena sebuah keharusan.
(Name) tidak punya tempat untuk melanjutkan hidup, kediaman yang ia meteraikan sebagai rumah sudah tiada. Akal sehat sang gadis hanya menyisakan satu hal: menerima tawaran baik hati dari Gavin dan berusaha yang terbaik untuk mendapatkan uang agar bisa segera pindah.
Dalam hati, ia berjanji tidak akan menjadi beban di kedua bahu mantan teman sekelasnya itu. Ia bertekad membantu sang pemuda dalam kegiatan sehari-harinya—membersihkan rumah, membuatkan sarapan, dan mungkin beberapa hal sederhana lainnya. Dengan begitu, mereka impas.
Dengan ketegaran yang sudah mencapai tahap sempurna, (name) memberanikan diri mengetuk pintu pada salah satu kamar apartemen yang diberikan oleh Gavin beberapa hari lalu. Ia menunggu sejenak, menyadari ada beberapa kegaduhan di balik pintu berlapis cat putih itu sebelum sang empunya kamar menampakkan diri.
"Oh, kau datang," ujarnya dengan begitu tenang. Ia bergeser, memberi ruang bagi sang gadis untuk melangkah masuk. "Silakan."
Gadis itu membungkuk sebagai ucapan terima kasih. Ia mengangkat koper berwarna biru muda yang berisikan beberapa barang yang sempat ia benahi sebelum meninggalkan rumah lamanya.
"Mari kubantu." Gavin meraih koper tersebut, mendahului (name) dan membawanya menuju ruang tengah, di mana kedua insan itu akhirnya duduk berseberangan untuk membahas lebih jelas soal kesepakatan yang hendak dilakukan.
Menyadari rasa letih yang menelan habis antusiasme sang gadis. Gavin menyeduh secangkir teh krisan, meletakkannya di meja. "Ini akan membuatmu tenang," tunjuknya.
Jemari telunjuk (name) melingkar pada pegangan cangkir putih tersebut. Ia menatap cairan berwarna kekuningan yang teramat jernih—hingga bisa menunjukkan refleksi wajahnya dengan sempurna. Kepulan uap mengenai hidungnya, menyisakan belaian kehangatan yang memanjakan setiap inci indra perabanya.
Ia menyesap sedikit, membiarkan kerongkongan diusap oleh rasa manis yang tepat jumlahnya. "Jadi, bisa kaujelaskan mengenai tawaranmu waktu itu?" Ia mengangkat suara setelah kesenyapan menyelubungi atmosfer selama sekian menit.
"Hanya...." Pemuda itu berhenti, mengusap tengkuk selagi mencari alasan yang tidak terlihat janggal. "Keinginanku saja."
Kerutan di dahi gadis itu bertambah. Belasan pertanyaan mencuat dari benak, meminta jawaban yang jauh lebih jelas. "Kita bahkan tidak kenal dekat." Ia menyahuti, sorot matanya menjadi jauh lebih gelap ketimbang sebelumnya.
Seulas senyum samar menghiasi wajah pemuda berambut cokelat tersebut. "Kita bisa saling mengenal sekarang ini," tanggapnya, masih dengan intonasi yang begitu tenang.
(Name) menggigit bibir. Entah mengapa ia merasa sangat tidak enak—seolah sedang memanfaatkan kebaikan mantan teman sekelasnya itu. Akan tetapi, apakah dia punya opsi yang lebih baik dibanding ini?
"Kenapa?" Menyadari tangan yang mulai gemetaran, (name) meletakkan kembali cangkir teh krisan di meja, membiarkannya selama sekian menit selagi menunduk.
Ada helaan napas pelan menyelip lewat kesunyian. Gavin membetulkan posisi duduk agar lebih tegap, menatap lurus ke arah lawan bicaranya. "Aku tahu keadaanmu," tukasnya tiba-tiba. Ia berhenti sejenak, lantas melanjutkan dengan suara yang serak, "Minor memberitahukannya kepadaku."
Mendengar nama yang disebut, mata gadis itu terbelalak.
Minor, salah satu temannya dahulu—yang kebetulan dekat dengan Gavin. Ia memang masih berhubungan dengan pemuda tersebut, terkadang bahkan saling bertukar keluh kesah dan cerita.
"Apa yang dia ceritakan kepadamu?" Suara sang gadis mulai terdengar panik. Ketakutan menggerayapi—bagaimana jika Minor menceritakan semua, termasuk utang sang ayah yang membeludak.
Pemuda itu menyilangkan kaki. "Tidak banyak. Hanya soal kau yang sedang mencari rumah baru dan pekerjaan tetap," ujarnya dengan amat meyakinkan.
Dalam hati, (name) menarik napas lega, bersyukur bahwa Minor tidak seperti keran bocor yang menumpahkan semuanya.
"Jadi bagaimana?" Gavin kembali pada titik awal pertanyaannya.
"Baiklah, tetapi izinkan saya membantumu dalam kegiatan sehari-hari, mencuci pakaian atau memasak misalnya. Hitung-hitung sebagai balas budi atas kebaikan yang kuterima." Gadis itu menggaruk pipi sembari mengulas senyum yang masih agak canggung.
Pemuda itu sekali lagi bersitatap dengan (name). Ada kehangatan yang begitu familier mengetuk pintu hatinya yang selama ini dibekukan oleh masa lalu. Pemuda itu mengepalkan tangan tatkala beberapa memori yang amat pahit melintas di kepala.
Ia menampik semua itu sesegera mungkin, kemudian mengulurkan tangan ke arah (name). "Jadi, kita punya kesepakatan?"
Jemari panjang itu disambut ramah oleh (name). "Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart for the House
FanfictionSeorang perempuan yang membutuhkan tempat tinggal dan seorang lelaki yang membutuhkan kehangatan di rumahnya. Kala roda takdir berputar, benang merah mempertemukan mereka, mengisi satu sama lain bak kunci dengan gemboknya. Ini bukan cerita cinta rem...