(Name) berani bersumpah bahwa Gavin sedang berada dalam kondisi yang sangat tidak baik semenjak makan siang tadi. Begitu pulang selepas menuntaskan tugas hingga pukul sebelas malam, pemuda itu segera masuk ke dalam kamar, mengurung diri.
Ketukan pada pintu kamar diabaikan Gavin. Nampan berisi makan malam pun tidak dijamah sedikit pun. (Name) terpaksa menata semua ke dalam lemari pendingin untuk dipanaskan jika suatu saat rasa lapar menyerang.
Catatan kecil turut direkatkan di pintu lemari es tersebut. Ia sungguh berharap Gavin akan beranjak ke dapur dan menyantap makan malam yang telanjur dibuat.
Sang gadis duduk di ruang tamu, mengembuskan napas penuh beban. Ia melirik ke arah meja di samping sofa, mendapati sebuah pigura yang diletakkan menghadap ke bawah sehingga foto di dalamnya tersembunyi.
Dengan rasa penasaran yang memenuhi sekujur benak, (name) membaliknya, melihat sekilas foto yang ada di sana.
Foto seorang lelaki berambut cokelat langsung menarik perhatiannya. Itu Gavin, dan ia tersenyum cerah. Sesosok anak kecil berambut biru keunguan memeluk erat lengan Gavin—mungkin adiknya. Iris Gavin tampak begitu hidup pada potret sederhana tersebut.
Fokus (name) beralih kala dirinya menemukan sesosok wanita dengan tunik cokelat muda yang menutupi separuh tubuh. Ia sedikit berjongkok, menyamakan tinggi dengan kedua pemuda yang berdiri di depannya. Kedua matanya selaras dengan Gavin, begitu jernih dan penuh keyakinan.
"(Name), apa yang sedang kaulihat?" Suara berat itu sukses membuat pigura yang dipegang sang gadis nyaris terjatuh.
Keringat dingin mulai mengalir dari pelipis. Bagaimana mungkin (name) sama sekali tidak sadar bahwa Gavin sudah berada tepat di belakangnya? Sang gadis melemparkan pandangannya ke bawah, merasa bersalah karena telah melanggar sesuatu yang seharusnya tetap menjadi privasi. "Maaf." Ia berkata dengan sedikit cemas.
Gavin mengambil pigura tersebut, menempatkan diri tepat di sebelah sang gadis. Kaca bening yang membatasi foto tersebut sedikit berdebu, pertanda bahwa sang empunya tidak menyentuhnya dalam kurun waktu cukup lama.
Jari telunjuknya mengusap debu yang menempel, membuat potret di dalamnya terlihat lebih hidup ketimbang sebelumnya. "Tidak apa-apa. Sudah lama juga aku tidak melihat foto ini."
Sebuah senyum menutupi kepedihan yang hendak menjalar di bingkai wajah pemuda itu. Meskipun begitu, (name) masih bisa merasakan rasa sakit yang menyelubungi setiap kata tersebut.
(Name) mencondongkan tubuh ke arah Gavin, mengintip sekali lagi potret bahagia itu. "Apa itu keluargamu?"
Interval panjang merajalela setelah pertanyaan sederhana itu diberikan.
Gavin mendesah singkat, memegang ujung pigura tersebut erat-erat. Ia mengingat jelas kejadian yang diabadikan dalam foto tersebut. Potret yang diambil ketika Gavin berusia delapan tahun itu merupakan kompetisi pertama yang ia menangkan. Medali emas yang terkalung di lehernya adalah penghargaan karena menjuarai lomba lari.
"Iya, ini keluargaku." Ia menunjuk wanita dengan celana putih panjang tersebut. "Ini Ibuku." Ada secuil rasa nyaman yang mengikuti kata tersebut.
(Name) mengangguk paham. Ia menunjuk sosok bocah yang berada di dekat Gavin. "Kalau yang ini?"
Terdiam sebentar, akhirnya Gavin menjawab, "Itu adikku, Shaw."
Sekali lagi sebuah anggukan menjadi sahutan singkat yang diberikan oleh (name). "Tampaknya begitu bahagia."
Senyuman pahit merekah di wajah pemuda tersebut. Memang benar bahwa semua itu sangat membahagiakan. Ia begitu mencintai setiap detik yang bisa dilalui bersama ibu dan adiknya. Mereka adalah hartanya, sesuatu yang tidak akan bisa digantikan bahkan oleh tumpukan uang sekalipun.
Matanya kembali berkaca ketika membayangkan semua itu. Pandangannya buram, dipenuhi dengan buliran air yang mendesak ingin keluar. Ia menghela napas beberapa kali, memejamkan mata untuk menenangkan diri sebelum meletakkan pigura tersebut kembali pada tempatnya.
"Mengapa ditutup lagi?" (Name) mengangkat sebelah alis ketika Gavin beranjak menuju dapur untuk memanaskan sajian yang sudah dibuat sang gadis sebelumnya.
Gavin mengambil segelas air, sensasi segar memijat kerongkongannya yang mengering. "Lebih baik begitu. Jadi tidak perlu diingat."
(Name) berani bertaruh bahwa ia merasakan sesuatu yang begitu aneh. Wajah Gavin datar, sedingin es. Akan tetapi, (name) menemukan rasa rindu yang menyertai di setiap dialog singkatnya dengan sang pemuda.
Niatnya untuk bertanya lebih lanjut segera diurungkan mengingat kedua netra yang perlahan menjadi keruh itu. (Name) ikut ke dapur, memberi tepukan pelan di bahu Gavin. "Duduklah, biar aku yang siapkan. Kau terlihat agak lelah hari ini."
Gavin menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Ia berlagak kuat, tetapi (name) tahu ada kerapuhan yang menggerayapi batin pemuda tersebut. (Name) tidak melunak barang sedetik pun. Ia bersikeras mengambil alih, membiarkan Gavin merenung di meja makan dengan tangan menopang dagu.
Semangkuk sup tahu hangat dan nasi tersaji beberapa menit kemudian. Makanan yang dibuat sesederhana mungkin demi menghemat pengeluaran.
Kepulan asap samar masih menguar bebas di udara ketika Gavin menyendok sup untuk pertama kalinya. Disiramkannya kuah tersebut di atas nasi, membiarkan aroma khas rumah memanjakan setiap sel penciumannya.
Sebuah suara tiba-tiba menggaung di kepala, nada manis yang begitu dirindukannya selama belasan tahun.
"Kak, kalau aku menghabiskan makanan hari ini, kita main bersama, ya!"
Gavin terdiam, memandangi mangkuk berisi nasi dengan potongan daun bawang di atasnya. Afeksi yang begitu besar membanjiri ingatan, membuatnya tidak bisa menelan sama sekali. Ia kembali meletakkan sendok dengan gemetar, menutup wajah dengan tangan sembari bernapas dengan tidak stabil.
"Hei, apa kau baik-baik saja?" (Name) menghampiri, meninggalkan cucian yang masih bertumpuk di belakang. "Apa kau sakit? Mau kuambilkan obat?"
Gavin mengibaskan tangan. Ia memegangi pelipis yang berdenyut nyeri selagi memaksa senyum di wajah yang memucat. Ia berdiri dengan gontai, menyeret tubuh kembali ke kamar dengan begitu lesu.
"Hanya butuh istirahat. Aku akan segera baik-baik saja." Pemuda itu bertumpu pada dinding, mengambil napas panjang. "Daripada khawatir denganku, kau lebih baik memikirkan diri sendiri. Minor berkata bahwa kau diterima dan bisa mulai bekerja pekan depan."
(Name) mengangguk lemah. Tangan kanannya memegang dada. Ada rasa sakit yang menusuknya perlahan, menyisakan rasa yang bahkan tidak bisa didefinisikan dengan baik. Sang gadis menatap sup tahu dan nasi yang bahkan nyaris tidak disentuh. Kembali disimpannya santapan tersebut untuk sarapan esok hari.
"Kapan dia bisa terbuka padaku...?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart for the House
FanfictionSeorang perempuan yang membutuhkan tempat tinggal dan seorang lelaki yang membutuhkan kehangatan di rumahnya. Kala roda takdir berputar, benang merah mempertemukan mereka, mengisi satu sama lain bak kunci dengan gemboknya. Ini bukan cerita cinta rem...