Hidup itu adil, kita tidak boleh mengeluh. Itulah yang selalu diajarkan oleh ibu Fluke kepadanya. Akan tetapi, semua hal yang terjadi padanya membuatnya merasa, bahwa Tuhan telah melupakan salah satu makhluk ciptaan-Nya yang tak berdaya.
...
Suara ambulan berdengung kuat di indera pendengarannya. Mata kecilnya terbuka. Berusaha duduk, ia meringis kecil merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Saat berhasil, pandangan beberapa orang dewasa berpakaian serba putih sibuk berlalu lalang tertangkap manik mungilnya. Kemudian sepasang manik kecil itu menangkap dua sosok bersimbah darah yang ditarik keluar dari sebuah mobil. Mobil yang beberapa jam yang lalu bergerak dari rumah kecilnya. Mobil yang ditumpanginya bersama kedua sosok tersebut untuk berlibur bersama.
"Ayah... Ibu..." rintihnya kecil, sembari berjalan menuju dua tubuh yang terpakar tanpa nyawa.
Air matanya tak terbendung lagi. Ia bukan tidak mengerti. Dulu, saat anjing kecil kesayangannya tidak pernah bangun lagi, sang ayah memberitahunya bahwa anjing kecilnya pergi ke rumah Tuhan. Dan saat ini juga ia mengerti bahwa hal itu juga berlaku untuk kedua orang tuanya.
Mereka telah tiada.
Padahal beberapa saat lalu mereka masih bercanda ria bersama. Ia ingat betapa senangnya dirinya saat ayah dan ibunya berkata kalau mereka akan berlibur ke pantai di pinggir kota. Dan sekarang semuanya terasa gelap. Pandangannya mulai kabur. Mental anak sekecil dirinya belum cukup kuat untuk menerima semua yang terjadi. Demi Tuhan, ia baru genap berusia 8 tahun.
"Hei! Anak kecil itu pingsan!" adalah kalimat terakhir yang ia dengar sebelum semuanya hilang dari kesadarannya.
...
Mata kecilnya menatap kosong ke sebuah langit-langit putih. Ia yakin itu adalah sebuah kamar di rumah sakit.
"Bagaimana?"
"Belum ada orang yang datang menjemputnya."
"Apakah tidak ada orang yang bisa dihubungi?"
"Tidak ada data sedikitpun tentang anak ini. Ia tidak terdaftar di sekolah mana pun. Bahkan kedua korban tersebut sudah lama masuk daftar pencarian orang. Mereka dicari oleh keluarga mereka masing-masing. Saat aku mengungkit tentang anak ini, kedua pihak keluarga bersikap seolah tidak tahu apa – apa. Padahal sudah jelas hasil tes DNA menunjukkan bahwa ia anak kandung kedua korban tersebut."
Hatinya teriris sakit. Jadi benar kata orang tuanya. Mereka sering mengatakan bahwa ialah satu – satunya keluarga yang mereka miliki saat ini. Kakek dan neneknya tidak mengharapkannya. Dan sekarang, orang tuanya lah yang telah pergi, meninggalkannya sebatang kara.
"Aku sudah mendapatkan jawaban. Suster kepala mengatakan bahwa kita bisa membawanya ke sana dan mereka akan menampungnya."
Dan keesokan harinya, ia dibawa ke sebuah rumah luas yang asing baginya. Berisikan anak-anak dari yang seumuran hingga yang berbeda usia dengannya. Sebuah panti asuhan. Ia bisa membacanya walau tidak pernah bersekolah. Orang tuanya rajin mengajarinya membaca dan berhitung.
"Siapa namamu, nak?" Tanya seorang wanita berparas lembut.
Tetapi ia memilih diam.
"Apakah kau ingat namamu?"
Ia mengangguk memberi jawaban singkat. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
"Suster, apakah ia bisu?" Tanya salah seorang anak kecil
"Joe, tidak boleh bicara begitu ya. Ia masih asing dengan rumah ini. Bagaimana pun kita semua adalah keluarga, mengerti?"
Berhari–hari, bahkan berbulan-bulan, para penghuni panti mencoba mengajaknya bicara. Tak satu pun yang berhasil membuatnya bersuara. Beberapa anak panti mungkin kesal akan sikapnya, mulai menjahilinya, memanggilnya bisu. Ia tetap tak peduli. Orang tuanya sering berkata bahwa ia tidak boleh berkelahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated
FanfictionFluke hanya ingin membalas jasa pada kedua orang tua yang sudah mengadopsinya, pada orang tua kekasihnya yang telah bersama Tuhan. haruskah ia mengorbankan dirinya? Ohm lelah dengan paksaan kedua orang tuanya untuk menikah. ia masih sangat mencintai...