Fluke hanya diam merasakan pelukan hangat Ohm. Mereka berdua telah bangun sejak sejam yang lalu. Tapi tak ada yang berniat bergerak. Mereka masih ingin merasakan kehadiran masing-masing.
Keduanya sadar betapa dalamnya cinta mereka, tapi tak ada yang berniat menyatakan.
"P'Ohm."
"Hm."
"Phi harus bangun dan bekerja."
Ohm mengeratkan pelukannya, mengingat keputusan yang mereka buat tadi malam. Bagaimana jika Fluke benar-benar pergi saat ia kembali dari kantor sore harinya?
Pelukan Ohm yang mengerat membuat air mata Fluke turun. Ia menyukai pelukan ini. Kenapa takdir selalu mempermainkannya? Kenapa harus Ohm yang menyebabkannya kehilangan cintanya dulu?
Getaran pada bahu Fluke membuat Ohm melepaskan pelukannya.
Apakah aku yang membuatmu menangis seperti ini? Semenderita itukah kau karenaku, Noo?
Ohm melihat sendu pada Fluke yang membelakanginya. Ia memutuskan untuk bangkit dan membersihkan diri. Ia memilih menjauh jika Fluke terus menangis karenanya. Lagipula, bukankah pria itu masih sangat mengharapkan Fluke? Dia bahkan telah melamar pria kecil itu bukan?
Ketika Ohm selesai, Fluke sudah tak lagi terlihat di tempat tidur. Ia bisa mendengarkan suara di dapur apartemennya, membuatnya tahu dimana keberadaan Fluke.
Ia berjalan menuju tempat itu, melihat sebuah kotak bekal yang terlihat sudah rapi di atas meja dan secangkir kopi yang menjadi kesukaannya di pagi hari.
"Maaf, aku hanya sempat membuat nasi goreng."
Ohm bisa mendegar suara sendu Fluke saat ia meletakkan cangkir kopinya yang telah dia kosongkan.
"Aku selalu menyukai masakanmu."
Fluke tersenyum, "Terima kasih."
Ketika Fluke mendengarkan suara pintu utama yang telah tertutup, tubuhnya terasa lemas. Cangkir yang dipegangnya terjatuh, melukai kakinya. Ia menangis menahan sakit. Bukan sakit karena pecahan cangkir. Tapi rasa sakit di hatinya yang tak sanggup lagi ia tahan.
...
Kao meraba meja nakas di samping tempat tidurnya dengan kantuk yang menerpanya hebat. Ia bahkan baru tidur pukul 3 pagi dan seingatnya ia telah mengambil cuti dari kantornya. Siapa yang mengusik waktunya?
Dering ponsel yang kuat membuat pria cantik yang masih terlelap di sebelahnya terbangun lemas. Ia membuka matanya pelan, lalu menepuk bahu kekasihnya kuat.
"Ponselmu benar-benar menyebalkan, Lung."
Kao menggerutu sekilas, lalu duduk di atas tempat tidur, mengumpulkan kesadarannya, lalu melirik Earth yang sepertinya melanjutkan tidurnya. Ia lalu menoleh kesana kemari, mencari ponselnya yang tak dapat ia temukan di tempat yang seharusnya.
Dering ponsel yang kembali berbunyi nyaring membuat Kao menoleh ke arah kausnya yang tercecer di lantai. Ia menyingkirkan kaus itu, menemukan ponselnya yang tergeletak di atas karpet kamar tidurnya.
"Halo." Jawabnya malas tanpa melihat nama penelepon yang mengganggu waktunya bersama sang kekasih
*P'Kao..*
Kao membuka matanya yang mengantuk, mengenali suara itu.
"Fluke? Ada apa?"
Suara isakan Fluke membuat Kao membuka penuh matanya, begitu juga Earth yang hampir kembali terlelap. Ia duduk di samping Kao yang terlihat cemas.
"Fluke? Kau menangis?" tanya Kao lagi
*P'Kao... aku..*
Earth segera merebut ponsel Kao.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated
FanfictionFluke hanya ingin membalas jasa pada kedua orang tua yang sudah mengadopsinya, pada orang tua kekasihnya yang telah bersama Tuhan. haruskah ia mengorbankan dirinya? Ohm lelah dengan paksaan kedua orang tuanya untuk menikah. ia masih sangat mencintai...