Masih Author POV
Malam yang cukup tenang, Agatha mengajak Arga pergi jalan-jalan. Agatha tau, jauh di dalam hati sahabatnya ini ada luka yang cukup dalam. Agatha tak tau persis, namun dia cukup yakin kalau Arga sedang ada masalah.
"Ga, duduk dulu yuk di situ!" ajak Agatha bersemangat.
Arga tersenyum simpul dan mengikuti Agatha dari belakang. Arga tau kalau Agatha sedang menghiburnya.
"Mau jajan enggak?" tanya Arga di depan Agatha yang sudah duduk.
"Em, boleh deh. Ice cream ya!"
"Siap, tunggu ya!" Arga pergi meninggalkan Agatha dan membeli es krim yang diingkan sahabatnya.
Agatha mengayun-ayunkan kakinya sambil menunggu Arga datang. Dia sedang memikirkan rencananya malam ini.
"Woy!" Agatha terlonjak kaget saat Arga datang dengan tidak selow.
"Eh astaghfirullah, ARGA!" teriak Agatha.
"Makanya jangan ngelamun mulu, nih ice cream nya. Dihabisin ya! Kalau enggak habis aku cium," goda Arga yang langsung mendapat tamparan pada bahunya.
"Pikiran lo kok jadi ngeres sih!" Agatha langsung merebut ice cream yang ada di tangan Arga dan langsung menikmatinya.
Suasana hening, keduanya sibuk menikmati ice cream coklat mereka. Namun, tetap saja itu tak berlangsung lama, karena Agatha sudah menghabiskan ice cream nya.
"Loh kok ice cream nya dihabisin?" pertanyaaan Arga berhasil membuat Agatha mengerutkan keningnya bingung.
Arga mengabiskan sisa ice cream nya. "Kan kalau habis nggak jadi aku cium."
Mendengar itu muka Agatha langsung memerah, namun dengan cepat ia memalingkan mukanya agar tak terlihat oleh Arga.
Setelah menetralkan perasaannya yang tadi sempat membuncah karena godaan Arga. Agatha menarik nafas dalam-dalam, bersiap untuk menyatakan sesuatu.
"Ga," Mendengar itu sang empu pun menoleh dengan menaikkan salah satu alisnya.
"Gue mau bilang sesuatu," kata Agatha takut-takut.
"Ya udah bilang aja!" Arga tersenyum.
"Tapi kamu jangan marah!"
Arga semakin penasaran karena ada sorot serius di mata Agatha. Dan tadi Agatha memanggilnya dengan kata 'kamu' kan?
"Iya, nggak marah kok," Arga menyanggupinya.
"Aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu. Bukan sebagai sahabat namun lebih," kata Agatha lirih namun mantap. "Aku tau aku salah, seharusnya rasa ini enggak tumbuh diantara kita. Tapi aku enggak bisa buat mematikan rasa ini, Ga. Aku mohon kamu jangan marah ya!" Agatha mengakhiri kalimatnya dengan perasaan takut kalau Arga marah.
Mendengar itu, jujur Arga kaget. Namun bagaimana lagi dia sudah menganggap Agatha sebagai saudaranya sendiri.
Arga mengambil tangan Agatha Daan mengelusnya. Dia tersenyum lalu berkata, "Maaf ya Tha, gue enggak bisa membalas cinta lo. Lo tau sendiri kan kalau gue udah nganggep lo sebagai saudara?"
Agatha menghembuskan nafas kecewa, dia tau kalau akhirnya dia akan ditolak. Tapi ya sudahlah itu bisa ia terima, yang terpenting Arga tidak membencinya.
"Iya aku tau itu, tapi apa kamu yakin cuma itu alasan kamu?" tanya Agatha lagi.
Arga hanya diam, ia enggan membalas pertanyaan Agatha.
"Gue tau Ga, lo suka kan sama Nesya?" tanya Agatha yang kini sudah mengganti panggilan dari aku-kamu menjadi lo-gue.
Arga tetap diam. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab, entah karena apa. Tatapannya pun berubah kosong, dan kepalanya menunduk.
Agatha tersenyum tipis lalu menepuk pundak Arga. Rasa hangat pun mengalir ke tubuh Arga. "Ga, gue udah tau semuanya kalau lo suka sama Nesya. Gue ikhlas kok, Ga."
Arga tersenyum simpul yang lebih terlihat dipaksakan, jujur ia tak enak dengan Agatha.
"Sekarang lo ada masalah kan sama Nesya? Kenapa lo nggak ngejar dia?" tanya Agatha dengan nada lembut.
"Gue udah nggak tau lagi gimana caranya minta maaf ke dia, Tha. Kayaknya dia udah nggak butuh gue lagi. Setiap gue mau ngomong, dia ngehindar. Chat gue juga kebanyakan di read. Telepon juga gak pernah diangkat," jawab Arga lesu.
"Gak gentle lo. Segitu aja nyerah. Kalau cewek udah gitu, itu tandanya dia minta diperjuangkan Ga. Udah sono mulai besok lo pepet! Lo deketin tuh cewek! Bakalan luluh kok sama lo!" Entah mengapa kata-kata Agatha berhasil membuat semangat Arga kembali. Arga bertekad untuk meminta maaf besok.
*****
Nesya sedang memainkan pulpennya di kamar. Dia sudah selesai belajar sejak 15 menit yang lalu, namun rasanya malas sekali untuk membereskan barang-barangnya.
Kepalanya menoleh saat mendengar suara pintu yang terbuka. Senyumnya mengembang sempurna saat melihat sosok ibu menghampiri.
"Udah selesai, Nak?" tanya ibunya.
"Udah kok, Bu, ibu mau bicara sama Nesya?" Nesya balik bertanya.
"Nak, ibu lihat kamu sudah nggak belajar lagi sama Arga kenapa? Apa kalian ada masalah?" tanya Ibunya to the point.
Nesya menghela nafas lalu menghampiri ibunya. "Biasa Bu masalah remaja. Kemarin Kak Arga bentak-bentak Nesya dan bilang kalau Nesya nggak berguna, jadinya kan Nesya sakit hati."
"Sampai sekarang belum balikan?" tanya sang ibu lembut sambil mengelus rambut anak bungsunya.
Nesya hanya menggeleng kecil.
"Lalu kenapa, hm?"
"Kak Arga nggak mau bujuk Nesya buat ketemu," jawab Nesya lirih.
"Jadi anak ibu ini minta dibujuk?" Ibu Nesya tertawa geli mendengar perkataan anaknya. "Ingat Nes, kalau ada orang yang mau minta maaf kamu harus maafin. Allah aja maha pemaaf, masa Nesya yang hanya hamba-Nya nggak mau maafin sesama manusia. Jangan ngehindar kalau ada orang yang mau minta maaf ya!" Skak mat, ucapan Ibunya mampu membuat Nesya tak berkutik.
"Iya Bu, besok-besok Nesya nggak kayak gitu. Seharusnya Nesya nggak berharap buat dikejar-kejar hanya untuk sebuah kata maaf," ujar Nesya seraya menundukkan kepalanya.
Ibunya kembali mengelus rambut panjang Nesya. Memberikan sentuhan lembut layaknya ibu pada umumnya. "Iya, jangan ulangi lagi ya! Ya udah Nesya tidur gih!"
Nesya mengangguk kecil dan berbaring di atas kasurnya. Menarik selimut sebatas dada. Mengulas senyum simpul untuk ibunya sebelum akhirnya amblas ke alam bawah sadar.
To Be Continued
Gimana gimana? Bagus gak? Tetep stay sama cerita aku ya!! Kuy kuy di vote dan komen yang banyak ya!! Cerita ini juga butuh dukungan loh:)
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG WAKTU
Teen Fiction꧁꧇ FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA꧇꧂ Ini kisahku dengan dia Dia yang memiliki daya tarik tersendiri. Bahasanya yang halus serta sopan menambah nilai plus pada dirinya. Aku menyukainya bukan karena kelebihannya, tetapi juga kekurangannya. Lika-liku cin...