"Eh gimana udah pada bisa main gitarnya belum?"
"Udah dong, kan sini jago,"
"Aduh belum nih ... Gimana dong??"
"Heh, udah pada nyiapin lagu belom?"
"Jangankan nyiapin lagu, nglancarin kunci dasar aja masih gelagapan,"
Begitulah suasana kelas saat jam seni akan dimulai. Jauh dari kata tenang.
Sedari tadi aku sibuk memainkan gitar milik Intan. Berlatih sesuai apa yang telah aku pelajari sebelumnya.
"Udah nyiapin lagu?" tanya Intan seraya memainkan bolpoinnya.
"Udah sih, tinggal nglancarin doang," jawabku dengan pandangan tak luput dari gitar.
"Btw Lo latihan sama siapa?"
"Kak Arga,"
"Katanya udah nggak belajar bareng lagi,"
"Emang iya, dia cuma ngajarin main gitar sama nyanyi sekali trus udah,"
"Jadi, lo belajar sendiri?"
Aku menoleh ke arah Intan. "Iya, ngikutin cara Kak Arga pas main gitar pertama kali itu."
"Kak Arga ngajarin main gitar plus lagu sekali, trus Lo latihan sendiri gitu?" tanya Intan lagi.
"Iya,"
"Gitarnya?"
"Pinjem punya Kak Arga,"
"You are lucky." Intan menepuk bahuku pelan.
"Alhamdulillah," Aku tersenyum senang.
"Mau bawain lagu apa?"
"Em ... Apa ya??? Apa dong???" Aku memancing Intan agar dia menebak.
"Apa?" Tapi sepertinya Intan memang sedang tak mau menebak.
"A ...," Aku menggantungkan kalimatku dan tersenyum tipis.
Muka Intan berbinar, dia jadi se-kepo itu.
"Tunggu aja," Aku langsung memasang muka datar, dan kembali memainkan senar gitar.
"Ah, kampret!" Intan mendengus kesal lalu memalingkan mukanya ke arah lain.
Aku tertawa melihat kelakuan sahabatku ini.
"Heh diam pada woy!!! Bu guru Dateng!!" Seruan itu membuat seluruh kelas diam mendadak. Mereka duduk dikursinya masing-masing.
*****
"Wow permainan gitar lo bagus juga ternyata!!! Gue kagak nyangka." Intan mengelus bahu aku semenjak kita keluar kelas. Dan sekarang kita hampir sampai di gerbang sekolah.
"Perasaan B aja," Aku mengenyahkan tangan Intan yang ada di bahu Aku.
"Sebenarnya lo yang pinter nangkep materi dari Kak Arga? Atau Kak Arga yang menjelaskan kelewat faseh sih? Kok lo lancar banget main gitarnya? Sampai Bu guru aja nggak nyangka!" Intan memborbardir pertanyaan yang menjengkelkan itu.
Intan begitu karena pas pelajaran seni tadi Aku dipuji sama Bu Rini.
"Bagus kamu udah lancar mainin gitarnya, sekarang kamu bisa belajar buat bawain lagu lain," Begitulah kata Bu Rini tadi.
Aku menarik nafas pendek, "Gue yang gampang nangkep materinya."
"Tapi gue nggak percaya," Intan tersenyum nakal.
"Yeu lo aneh, tadi nanya, pas gue jawab malah kagak percaya." Aku menoyor kening Intan dengan telunjukku yang mengakibatkan dia mendengus kesal.
Kita berdua menghentikan langkah serempak kala mendapati sebuah motor berhenti di depan kita.
"Nes, duluan ya!" Itu yang Intan ucapkan setelah ia duduk di belakang Reyhan sambil berpegangan pada sisi jaket pacarnya itu.
Aku tersenyum lembut, bersamaan dengan meluncurnya kedua sahabatku dari pandangan.
Aku lanjut berjalan menuju luar gerbang untuk menunggu angkot. Seperti biasa aku akan menunggu angkot sendiri, karena semua temanku dijemput atau mengendarai kendaraannya sendiri.
"Hey,"
Bias suara berat itu terdengar familiar. Aku menoleh kesumber suara tadi.
Kak Sandy dengan berdiri dengan gagahnya , serta senyum teduh yang selalu ia pancarkan. Sayangnya Aku tak tertarik. Maaf ye Kak.
"Bareng aja, Dek! kebetulan Kakak juga mau ke rumahnya Adek," katanya tanpa memudarkan senyum diwajah tampannya itu.
"Hah mau ngapain?" Aku menaikkan alisku.
"Mau lamar kamu," Dia tertawa renyah.
"Nggak lucu Kak!!" Aku memukuli lengan Kak Sandy yang dibalut jaket denimnya.
Dia mengaduh kesakitan, padahal aku cuma memukulinya dengan pelan.
"Udah dong jangan cemberut gitu, aku jadi makin gemes lihatnya," Kak Sandy tertawa kecil.
"Kak jangan sampai aku nge-cap kakak sebagai lelaki modus!" Aku benar-benar kesel sama Kak Sandy.
Kata-katanya selalu aja ngawur, meski itu sebuah guyonan untuk mencairkan suasana tapi tetap saja aku kesal.
"Yah kok jahat!" Kak Sandy memasang wajah memelas.
"Abisnya Kakak selalu aja ngawur bilangnya," Aku mengutarakan maksud dibalik aku mengatakan hal tadi.
Kak Sandy hanya tersenyum, dan menatapku dengan tatapan yang susah aku deskripsikan.
"Kak, sebenarnya ke rumah tuh mau ngapain?" Aku masih penasaran dengan pernyataan Kak Sandy tadi.
"Oh, cuma mau beli martabak sih," Kak Sandy meringis menampakkan deretan giginya.
"Buat Mama-nya Kakak ya?" Aku kembali meluncurkan pertanyaan. Karena setahu Aku Mamanya Kak Sandy tuh suka banget sama martabak.
"Siapa lagi? Cuma Mama yang doyannya sampai kelewatan," Kak Sandy terkekeh.
"Hih dosa loh Kak ngomongin orang tua, ntar aku bilangin Mamanya Kakak loh." Aku menyunggingkan senyum nakal.
"Eh jangan! Aku cuma canda elah," Kata Kak Sandy seraya menaiki motornya.
Aku naik ke motor Kak Sandy setelah sang empunya memberi isyarat kepadaku untuk segera naik.
Kak Sandy memacu motornya di tengah jalanan kota yang sedikit lengang. Aku memutuskan untuk melihat sekeliling dan tak membuka pembicaraan. Kak Sandy pun tampaknya fokus memacu motornya.
"Makasih Kak," kataku setelah Kak Sandy mengantarku pulang.
Kak Sandy mengangguk dan tersenyum tipis.
Aku masuk kedalam rumah meninggalkan Kak Sandy yang masih berdiri didepan rumah. Ah lebih tepatnya memesan martabak.
"Buat Mama ya San?" Ibu bertanya sekedar basa-basi.
"Iya, Bu, siapa lagi?" Sekarang posisi Kak Sandy sudah duduk di kursi pelanggan.
"Syukurlah kalau mama kamu suka sama martabak buatan ibu," Ibu terlihat menarik ujung bibirnya sembari membuat martabak.
"Seneng banget malah Bu, itu juga karena waktu itu Ibu ngasih martabak buat aku,"
"Oh iya,"
Dulu pas Kak Sandy nganterin Aku pulang, ibu pernah ngasih martabak buat Kak Sandy. Makanya sekarang Mamanya ketagihan. Secara Kak Sandy nggak terlalu suka sama martabak jadinya dia kasih ke mamanya yang doyan banget sama martabak.
"Ini San," Ibu menyodorkan seplastik martabak yang masih panas.
"Ini Bu uangnya, aku pulang dulu ya! Salam buat Nesya. Assalamualaikum." Kak Sandy kembali memacu motornya.
"Waalaikumsalam," Jawab Ibu yang masih memandang sosok Kak Sandy yang sudah menghilang di ujung jalan.
TBC
Maaf kalau banyak typo...
Thanks for reading and vote all 🙏
Semoga kalian suka dan juga bermanfaat...
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG WAKTU
Teen Fiction꧁꧇ FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA꧇꧂ Ini kisahku dengan dia Dia yang memiliki daya tarik tersendiri. Bahasanya yang halus serta sopan menambah nilai plus pada dirinya. Aku menyukainya bukan karena kelebihannya, tetapi juga kekurangannya. Lika-liku cin...