12. Back to Square One

6.4K 794 114
                                    

Sepasang kelopak mata itu terbuka paksa, menampakkan iris bak batu amethyst yang berbinar indah. Lavena── sang empu── menatap langit-langit gelap di atasnya dengan napas memburu dan wajah ketakutan. Otak gadis itu bekerja cepat── mengetahui situasinya yang aneh── lantas bangkit duduk.

Lavena menyugar surai emasnya dengan kepala tertunduk rendah. "Gila. Declan bener-bener gila!" Umpat gadis itu, seraya menggigit kesal bibir bawahnya dengan tangan terkepal.

Mengenyampingkan amarahnya, Lavena menatap sekitar dengan kernyitan samar di dahi. Entah di mana lagi ia terjebak saat ini, sebab sekitarnya hanya tampak gelap. Selain itu, rasa perih pada telinga dan hidungnya setelah terjatuh ke dalam kolam renang dari ketinggian tidak lagi Lavena rasakan. Bahkan, kondisi tubuh dan pakaiannya kering, seolah kejadian mengerikan yang ia rasakan beberapa detik lalu hanyalah sebuah mimpi buruk belaka.

Lavena berdiri, mulai melangkah maju dengan hati-hati. Detik berikutnya, gadis itu membola sempurna tatkala melihat pemandangan yang tersaji beberapa meter di hadapannya. Di sana, tampak kamar tidurnya yang minimalis. Dan juga terdapat raga aslinya── Riona Esmeray── yang sedang terlelap pulas di atas single bed. Kedua sudut bibir gadis itu langsung tertarik ke atas, membentuk senyuman lebar dengan mata berkaca-kaca.

Harusnya Lavena melakukan ini sejak lama. Seharusnya dia membunuh jiwa Riona yang terjebak di dalam raga Lavena sejak lama, sehingga ia bisa pulang ke dunia asalnya lebih cepat.

Dengan dada bergemuruh haru sekaligus bahagia, Lavena berlari kencang── bergegas untuk mendekati cahaya tersebut. Namun, bukannya semakin dekat, justru cahaya yang menampilkan pemandangan kamar tidurnya itu seolah mundur menjauh. Layaknya fatamorgana, Lavena seakan tidak dapat menggapai cahaya itu.

Lavena menghentikan langkah, menatap pemandangan kamar tidurnya dengan wajah terdistorsi. Rasa takut kembali merambat di dalam hati. Apa dia benar-benar bisa kembali ke dunia asalnya? Menggeleng singkat sebagai upaya menyingkirkan pemikiran negatifnya, tungkai kaki gadis itu kembali terangkat── mencoba meraih cahaya itu lagi.

Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya terpaku── tidak mampu bergerak secara tiba-tiba. Bersamaan dengan itu, Lavena merasakan sepasang lengan kurus seseorang memeluk lehernya dari belakang. Dengan gerakan yang teramat halus, sesuatu yang asing itu menyentuh salah satu sisi wajah Lavena, sembari berbisik lembut, "Belum waktunya, Riona."

Lavena mengernyit tidak senang. "Apa maksud lo? Gue cuma mau pulang ke dunia asal gue, sialan! Lo nggak punya hak ngatur-ngatur gue!" Lavena berusaha menggerakkan tubuhnya, ingin melihat siapa yang kini sedang berbincang padanya. Namun, usahanya sia-sia. Seolah ada belenggu tak kasat mata yang menahan sensor motoriknya.

"Tidak. Belum. Lanjutkan hidupmu sebagai Lavena, Riona."

"FUCK! GUE NGG──" Lavena tidak mampu menyelesaikan ucapannya, sebab kepala gadis itu mendadak terasa sangat sakit── sehingga Lavena reflek menutup rapat kedua mata dengan dahi berkerut menahan nyeri.

•••

"Sialan! Aku meminta kau untuk mengobati kekasihku, bukan malah mengoceh omong kosong!" Declan menatap bengis seorang pria berjas putih di hadapannya.

Intonasi tinggi sang alpha mampu mengintimidasi seisi ruangan. Tidak ada siapapun yang berani mengangkat kepala, kecuali seorang pria setengah baya dengan jas putihnya yang tanpa gentar menatap sepasang netra sapphire itu. Tamael yang merupakan dokter pribadi keluarga D'arcy sudah merasa cukup terbiasa dengan segala macam bentuk intimidasi yang ditunjukkan oleh tuan yang telah ia layani selama belasan tahun. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa rasa takut itu tetap ada, namun setidaknya Tamael dapat mengontrol diri untuk tetap terlihat tenang.

"Nona Lavena memiliki tubuh yang lemah sejak awal. Jatuh ke dalam air dari ketinggian kurang lebih empat belas meter dengan kondisi fisik yang seperti itu tidak menutup kemungkinan memicu serangan jantung mendadak." Tamael menjeda sejenak. Napas pria paruh baya itu tercekat tatkala melihat kilatan aneh pada manik Declan. Namun, walaupun begitu, Tamael tetap melanjutkan penjelasannya. "Nona Lavena benar-benar sudah tidak bernapas lagi, Tuan M── uggghh!!!" Tamael merasakan pasokan udara di sekitarnya mendadak menipis drastis, ketika telapak tangan besar Declan mencengkram erat batang lehernya. Tubuh pria itu bahkan nyaris terjungkal ke belakang karena didorong keras oleh Declan.

"Jangan membual, bangsat! Tutup mulutmu dan rawat saja kekasihku sampai pulih!" Declan tersenyum penuh ancaman dengan rahang mengeras. Manik sapphire yang biasanya tampak tenang tanpa emosi, kini memancarkan amarah yang membara.

Raut wajah Declan semakin terlihat buruk ketika Tamael tidak bereaksi apapun. Pria paruh baya itu menunduk putus asa, merasa jengah dan sia-sia. Meskipun Tamael memaparkan panjang lebar terkait kondisi medis Lavena, Declan tetap saja akan keras kepala tidak mempercayainya. Tamael nyaris tersungkur untuk kedua kalinya ketika Declan melepas kasar cekikan pada lehernya secara tiba-tiba.

Declan beranjak menuju salah satu lemari yang ada di dalam ruangan dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Hawa dingin yang menusuk kulit karena sekujur tubuhnya yang basah kuyup akibat terjun ke dalam kolam dari balkon kamar setelah beberapa detik Lavena terjatuh── tidak pemuda itu hiraukan. Beberapa pelayan wanita yang Declan tugaskan untuk merawat tubuh dingin Lavena secara reflek memekik kaget sekaligus ketakutan tatkala sang pemuda mengeluarkan sebuah pistol.

Declan melirik tajam yang seketika membuat para pelayan itu menutup mulut mereka menggunakan tangan dengan gemetar. Setelahnya, dengan langkah panjang sang alpha mendekati Tamael yang masih bersikap tenang, lantas tanpa sungkan Declan menodong pistol tersebut tepat menyentuh pelipis Tamael. Meskipun Tamael jauh lebih tua darinya dan telah melayani keluarganya selama belasan tahun, Declan merasa dia harus melakukan itu guna menenangkan hatinya yang entah mengapa terasa sangat tidak nyaman setelah mendengar penuturan Tamael.

"Aku rasa sudah waktunya D'arcy mencari dokter baru yang lebih kompeten." Declan berujar dingin. Akalnya yang tidak seberapa sehat itu masih kekeuh berpikir bahwa hasil pemeriksaan Tamael salah besar.

Declan sangat percaya diri, sebab dia melakukan hal ekstrem pada Lavena bukan tanpa pertimbangan. Declan benar-benar memastikan bahwa tindakannya tidak akan sampai menghilangkan nyawa sang kekasih. Sebab beberapa detik setelah Lavena terjatuh, Declan tanpa ragu terjun menyusul untuk menyelamatkan tubuh Lavena yang tenggelam. Declan bahkan juga membawa Tamael bersamanya── menjemput sang dokter setelah pertemuan keluarga selesai, kemudian memerintah Tamael untuk menginap satu malam di salah satu bangunan di dekat kastil tempatnya mengurung Lavena. Yang artinya, setelah Declan berhasil membawa Lavena yang pingsan keluar dari kolam, gadis itu langsung ditangani dengan cepat oleh Tamael.

Declan sudah sesiaga itu. Mana mungkin hasilnya menjadi berantakan seperti ini.

Tamael menutup rapat kedua mata, pasrah dengan nasib akhir hidupnya. Mengabdi belasan tahun pada keluarga yang minim kewarasan membuat pria paruh baya itu cukup kuat secara mental dalam menghadapi berbagai situasi. Ketika Declan akan menarik pelatuk pistol, salah seorang pelayan wanita berteriak menginterupsi.

"No-nona Lavena bergerak, Tuan Muda!" Pengelihatannya yang tanpa sengaja mendapati pergerakan kecil dari jemari dan kelopak mata Lavena membuatnya kontan berteriak.

Declan melempar asal pistolnya, lantas melangkah terburu-buru mendekati Lavena. Tanpa disadarinya, sepasang manik biru itu bergetar tipis tatkala kelopak mata Lavena terbuka perlahan── menampakkan sepasang iris amethyst yang redup. Satu tangan Declan terulur mengambil sejumput ujung rambut Lavena, lantas dengan wajah tanpa ekspresi pemuda itu menghirup rakus aroma harum yang menguar dari setiap helai surai emas sang kekasih.

"Ya, memangnya kamu bisa lari ke mana, Lavena? Bahkan sampai ke neraka sekalipun, aku akan mengejar kamu." Declan berucap pelan sembari menyeringai tipis, kemudian mengecup punggung tangan Lavena.

Di tengah kesadaran yang sepenuhnya masih belum pulih, Lavena sempat melihat samar raut wajah Declan yang menatapnya lekat tanpa ekspresi, disertai dengan genggaman erat pada tangan lemahnya. Lavena tertawa di dalam hati, mengejek nasib sialnya. Ah, kenapa dia harus kembali menjalani hidup bak neraka ini?
















Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐅𝐀𝐋𝐋𝐈𝐍𝐆 𝐈𝐍𝐓𝐎 𝐓𝐇𝐄 𝐃𝐄𝐄𝐏 𝐄𝐍𝐃 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang