Happy Reading⚘⚘
***
"Langit Tarim kali ini sedikit mendung. Sangat berbeda dengan hari pertama aku datang kemari. Saat itu cuacanya sangat panas. Berada di wilayah timur tengah yang di penuhi oleh padang pasir tentu menjadi sebab utama mengapa Hadramaut menjadi begitu panas membakar. Tapi dari tanah ini lah lahir ribuan waliyullah. dan harapanku, dengan adanya ragaku di sini membuat hatiku ikut menyatu dari padanya."
(Jejak Safar)
Mawar tersenyum membaca tulisan tersebut. Perempuan berusia sembilan belas tahun itu memeluk ponsel di tangannya dengan degupan jantung yang tak biasa. Tak lupa, gadis itu mengetuk tanda hati di bawah postingan untuk mengapresiasi sang pemilik akun tersebut.
"Mawar?"
"Eh, iya, Bi?" Mawar menghentikan lamunannya saat Bibi Fatma datang kembali ke hadapannya.
"Pake hapenya sudah selesai, Nduk?" tanyanya. Mawar mengangguk sembari menyerahkan ponsel yang baru saja digunakannya. "Makasih, Bi."
Bi Fatma duduk di depannya, ia menatap lamat lamat keponakan perempuannya yang malang. Mungkin gadis ceria itu tetap tersenyum tapi dari kedalaman matanya bisa terlihat bila lukanya masih menganga.
"Piye hidup di pesantren? Penak, kan?" Lagi lagi Bi Fatma membuyarkan lamunan Mawar. Mawar tersenyum cerah.
"Iya, Bi. Di sini teman Mawar banyak. Tapi ndak enaknya semuanya serba ngantri, Bi. Mandi ya ngantri, makan ya ngantri, bahkan beli bolpoint di koperasi itu juga ngantri" cerocos Mawar. Dan itu berhasil membuat Bi Fatma tertawa.
"Itu artinya, di sini kamu harus hidup memakai aturan. Kamu harus tau, bila kamu punya hak atas sesuatu, berarti orang lain juga punya hak. Dulu pas Bibi di pesantren juga awal awal ngerasain itu" jelas Bi Fatma.
Mawar menganggukan kepalanya dan kembali bertanya. "Dulu Bibi nyantrinya juga di sini?"
"Iya, dulu Bibi juga nyantrinya di sini. Kebetulan teman Bibi salah satu ahlul bait pesantren ini. Namanya Ning Zalfa. Tapi sekarang sudah ikut suaminya. Jadi tinggal Gus Alif adiknya dan istri beliau. Ning Nashwa."
Mawar hanya ber-O ria. Mereka mengobrol cukup lama tanpa menyinggung-nyinggung permasalahan rumit keluarga Mawar di Kalimantan sana. Bi Fatma yang tak mau membicarakan semua itu meski Mawar sangat merindukan ibundanya.
Ya, Ibundanya yang mungkin sudah lupa bila memiliki anak bernama Mawar di dunia ini. Ibunda yang sejak dulu mengurusnya dengan kasih sayang kemudian berubah menjadi wanita tak terhormat mengikuti suami barunya yang laknat.
Geram dan dendam rasanya Mawar membayangkan mereka. Ibunya yang malang dan dirinya yang terbuang. Mungkin bila tak ada Bi Fatma dirinya sudah tak ada lagi karena bunuh diri.
"Oh, ya. Tadi kamu pinjam hape Bibi buat apa?" tanya Bi Fatma di sela mereka menikmati nasi gulung berlauk rempelo kecap itu.
"Uhuk! Bi, rempelo kecap Bibi enak. Bulan depan kalau jengukin mawar bawakan lagi, ya."
Bi Fatma memicingkan mata curiga saat Mawar malah mengalihkan pembicaraan. "Kamu punya pacar, ya?" Dan pada saat itulah Mawar tersedak kembali. Dia meneguk kasar air di sampingnya sementara Bi Fatma reflek menepuk-nepuk punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haryaka
RomanceMawar, seorang santriwati asal Kalimantan yang hanya bermodalkan nekad untuk nyantri di luar pulaunya. Awalnya dia hanya berniat kabur dari genggaman ayah tiri yang hendak menjualnya menjadi pelacur. Pelarian itu tanpa siapapun ketahui membawa Mawa...