eoy - sepuluh

210 21 0
                                    

Menikmati semilir angin laut sambil memejamkan mata dan tiba-tiba tersenyum saat kupikirkan adalah saat aku dan Bang Tata sedang menikmati senja bersama. Satu bulan lalu di tempat ini, tempat yang sama namun bukan Bang Tata yang menemaniku saat ini.

Aku tersentak saat merasakan dingin di pipi kananku dan ku lihat Bian menampilkan senyuman bodohnya sambil mengulurkan tangan kanannya yang sedang menggenggam botol minuman bersoda.

"Senyum terus, awas nanti dikira gila," ucapnya sambil mendudukkan bokongnya tepat di sebelahku.

Aku tak menanggapi ocehan gak jelasnya, aku memilih untuk menenggak minuman yang dibeli Bian sambil terus memandang air laut yang sudah tidak lagi berwarna biru.

"Ngapain lo ajak gue ke sini?" tanyaku, sambil menatap matanya sekilas.

"Bosen di rumah, jadi obat nyamuknya Bang Digta doang."

"Bang Digta sama pacarnya? Berduaan?!" tanyaku sedikit sewot sampai tak sadar aku sedikit memajukan tubuhku ke arah Bian.

"Santai dong," balas Bian, sambil mendorong keningku dengan jari telunjuknya.

Aku langsung menepis tangannya, membuat dia tersenyum ke arahku.

Hening selama beberapa menit, sampai Bian tiba-tiba duduk menghadap ke arahku dengan satu kakinya yang naik ke atas bangku panjang yang kami duduki.

"Gue boleh nanya sesuatu?" tanya Bian.

Aku melihatnya sekilas dan kemudian mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Cukup lama kami terdiam lalu tiba-tiba ia menggeleng sambil menepuk pahanya sekali dan memposisikan duduknya seperti semula. "Enggak, gak jadi."

Aku hanya mengangguk dan kembali menikmati matahari yang sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Meskipun sedikit penasaran dengan pertanyaan Bian.

"Gimana awalnya lo naksir Bang Digta?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya dan selama beberapa detik mata kami bertemu yang seolah terkunci.

Aku mengerjapkan mataku lebih dulu dan memutuskan menatap ke arah lain. "Pulang, yuk," ajakku.

Bian terdiam sesaat sambil terus memperhatikanku yang sudah berdiri. Ia kemudiam mengangguk dan menyuruhku untuk berjalan lebih dulu. Berbeda posisi dengan saat kami berangkat kini Bian memilih untuk berada beberapa langkah di belakangku.

Sesekali aku memastikan kalau Bian tetap berada di belakangku dan sesekali pula, aku memergoki Bian yang sedang memperhatikanku membuat aku salah tingkah.

Entah kenapa, setelah kejadian tadi. Telapak tanganku berkeringat dan jantungku berdetak tak karuan, seperti saat aku kena apes ditilang Pak Polisi.

-

Di perjalanan pulang kami berdua hanya saling diam membuat suasana menjadi canggung sampai aku berharap segera sampai di rumah untuk menghindari Bian saat ini.

Untungnya, jalanan menuju ke rumahku lancar tak kena macet sedikit pun, membuatku mengembuskan napas lega.

"Makasih, Bi," ucapku saat sudah turun dari motor matic milik Bian.

Bian mengangguk. "Gue langsung pulang, ya?"

"Oke, hati-hati."

Bian melambaikan tangan kirinya sekilas lalu melajukan motornya, meninggalkan pekarangan rumahku.

"Dek?" suara Bang Brian membuatku tersadar kalau aku masih betah memperhatikan punggung Bian yang semakin menjauh.

Aku menoleh dan mendapati Bang Brian sedang mencuci mobil miliknya.

"Dari mana?" sambungnya.

"Ke ancol sama Bian, kenapa?"

"Tadi Digta nyariin lo tuh, gue suruh nunggu malah gak mau."

"Oh."

"Oh doang?"

"Ya terus?"

"Dek,"

"Hm?"

"Kamu cantik deh, meskipun masih bau matahari."

Aku sadar kalau Bang Brian sudah memakai 'Kamu' pasti ada maunya, yang ku lakukan sekarang adalah senyum ke arahnya sambil sedikit berjalan menjauh lalu kabur ke dalam rumah saat Bang Brian sudah sadar kalau aku menghindar darinya.

"Bantuin gue nyuci mobil dong."

Tuhkan! Apa aku bilang? Pasti magadir ini ada maunya kalo ngomong sama aku dengan nada lembut.

"Ogah!" teriakku sambil terus berlari menuju tangga.

"Eh setan!" teriak Bang Brian saat aku sudah berada di ruang tamu.

"Abang dakjal!"

"Lo anak setan!"

"SIAPA YANG ANAK SETAN?" Teriak Mama.

Rumah mendadak sepi dan aku yang sudah berada di tengah-tengah tangga pun berhenti melangkah, saat mendengar suara Mama menyahut makian dari Bang Brian.

"Brian! Siapa yang anak setan?!" sambung Mama, kulihat Mama menghampiri Bang Brian yang masih berada di luar.

Mau gak mau, aku kembali turun untuk melihat pertunjukkan baku hantam antara Mama dan Bang Brian.

Enggak, Mama gak pernah main pukul anak-anaknya, Mama lebih sering jewer kuping dan berdiri dengan satu kaki selama satu jam.

"Ampun, Ma sakit sakit sakit," rintih Bang Brian, sambil memegang tangan Mama yang sedang menjewer kuping kirinya.

"Siapa yang anak setan, Bri? Siapa?!"

"Brian yang anak setan, Ma."

"Jadi menurut kamu, Mama ini setan?"

Aku terkekeh saat Bang Brian diam seolah sedang memikirkan sesuatu untuk menjawab pertanyaan Mama.

"Siapa suruh kamu ketawa, Yukia?" suara barito terdengar di kupingku.

Saat aku menoleh ke belakang, Papa sedang memperhatikanku dengan senyuman yang menurutku sangat menakutkan.

Dan benar saja, kupingku menjadi korban oleh Papa. Kuping kananku di jewer dan dipaksa untuk berjalan ke luar menghampiri Bang Brian yang sedang menahan senyum saat melihatku bernasib sama sepertinya.

Di waktu selepas Magrib ini, kami berdua harus rela menjadi Kakak beradik yang akur lebih dulu demi menyudahi hukuman yang sedang diberi oleh Papa dan Mama.

"Mamaaaa."

"Apa? Minta kiko?" balas Mama ketus.

Lah si Mama korban iklan, gumamku.

Aku menggelengkan kepala lalu menunduk, nyaliku menciut saat mendengar suara ketus Mama.

Tbc...

Eyes On You | Ryujin x Hyunjin ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang