eoy - sembilan

212 27 3
                                    

Memasuki rumah, ku lihat Bang Brian sedang makan di meja ruang tamu dengan TV yang menyala. Namun, matanya fokus ke ponsel yang berada di tangan kirinya.

Aku mendekat, melihat makanan apa yang sedang Bang Brian santap karena seingetku di rumah ini gak pernah ada makanan kecuali hari libur di mana Mama sedang gak bekerja.

"Makan apa, Bang?"

"Bakso," sahutnya singkat, tanpa perlu repot-repot menoleh ke arahku.

Aku mendekat dan mengambil sendok yang menganggur di atas mangkok untuk mencicipi kuah bakso yang penuh rasa micin itu.

Baru saja aku menelan sesendok kuah bakso, Bang Brian langsung menyentil dahiku hingga membuatku tersedak.

"Lo pengen gue mati, ya?!" aku langsung menyambar segelas air putih yang berada di atas meja, masa bodo itu gelas bekas siapa yang penting rasa perih di tenggorokanku harus hilang secepatnya.

"Udah makan mekdi gak ngajak, gue makan bakso direcokin!"

"Kok lo tau?"

"Digta bilang sama gue, ketemu sama lo sama Bian juga."

"Oh."

Seketika aku langsung kepikiran soal cewek yang bersama Bang Digta tadi.

"Eh iya, Bang. Gue boleh nanya?"

Bang Brian menoleh ke arahku sekilas tanpa mengucapkan apapun, tapi aku tau kalau Bang Brian mendengarkan pembicaraanku.

"Gak jadi, deh."

Aku langsung bangkit dan berjalan menuju kamarku, meninggalkan Bang Brian yang masih memperhatikanku dengan tatapan bingungnya.

-

Hari Sabtu waktuku untuk memanjakan mata, alias membiarkan ia terpejam hingga matahari sudah terang benderang.

Pukul dua belas lewat sepuluh menit, aku terbangun setelah merasa terusik dengan ketukan pintu yang gak berhenti sejak tadi.

Dengan rambut acak-acakan aku membuka pintu dan mendapati Mama dengan senyuman ayunya.

"Ada temen kamu di bawah."

Aku mengernyit. "Siapa?"

"Tadi sih ngakunya Bian."

Aku membulatkan mata saat mendengar nama itu.

"Ya udah, Kia cuci muka dulu, Ma."

Mama mengangguk dan berjalan menjauhi kamarku.

Aku segera menguncir asal rambutku dan berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi.

Pantang mandi di hari libur.

Aku menuruni anak tangga dengan setengah berlari dan mendapati Bian sedang duduk di teras.

"Kok lo jadi keterusan, sih. Ke rumah gue?" ucapku, sambil berjalan mendekati Bian yang sedang memainkan ponselnya.

Bian menatapku sejenak dan tersenyum. "Ikut gue, yuk."

"Lo ngerusak hari libur gue, tau gak?"

Bian mengangguk mendengar ucapanku dan melihat jam tangan yang berada di pergelangan tangan kanannya. "Lima menit lagi, lo harus udah rapi."

"Kok lo maksa??" sewotku.

"Buru."

Aku berdecih seraya menghentakkan satu kaki dan berjalan menuju kamarku sambil menggerutu.

Aku baru sadar saat sudah sampai di kamar, kenapa aku malah nurut sama Bian?

Membuka pintu lemari dengan sedikit kasar, aku mengeluarkan kaos pendek hitam dan celana jeans hitam. Sedangkan rambutku, aku kuncir asal yang membuat rambut-rambut kecil di dekat tengkuk mencuat kemana-mana.

Selama di perjalanan, Bian berceloteh yang tak bisa aku dengar dengan jelas karena suara bising dari angin dan suara knalpot motor dan mobil.

"Gimana menurut lo, Ki?" tanya Bian sedikit menoleh ke arahku sehingga aku bisa mendengar suaranya.

"Gak tau," ucapku asal, karena memang gak tau apa yang Bian pertanyakan.

Sekitar setengah jam akhirnya kami sampai di salah satu wahana permainan, Dufan.

"Ngapain sih, ke sini?" sewotku, saat motor matic milik Bian sudah terparkir rapi.

"Gak mau? Kalo gak mau kita pulang," tanyanya, yang masih duduk di atas motor.

"Lo ngerjain banget, sumpah."

Bian hanya tersenyum lebar mendengar ucapanku.

Aku mundur satu langkah saat Bian turun dari motor dan tanpa mengucapkan apapun, Bian melepaskan helmku yang masih ku pakai.

"Gak usah manyun, kita ke sini buat seneng-seneng, yuk." Tiba-tiba Bian menggenggam tanganku dan membawaku untuk masuk ke area permainan.

Aku meringis melihat orang-orang yang sedang mengantri panjang hanya untuk menaiki salah satu permainan 'pengantar nyawa' itu, bahkan orang-orang yang sedang diputar-putar di atas sana menjerit ketakutan, atau bahkan karna saking serunya permainan itu? Entahlah, yang pasti aku ogah untuk menaiki wahana yang bisa saja mengantarkanku ke akhirat dengan sukarela.

"Kenapa? Mau naik tornado?"

"Ogah!"

"Habisnya lo ngeliatin terus, kirain kepengen."

"Makasih banyak, mending gue dihukum sama bu Airin lari lapangan lima kali. Dibanding naik beginian."

Kulihat Bian mengulum senyum selama aku berceloteh panjang.

"Jangan ketawa!"

Bian mengangguk dan kembali menarik tanganku lagi yang entah mau dibawa ke mana kali ini.

"Udah deh, pulang aja. Yuk?" ajakku, sambil menggoyangkan tanganku yang masih ia genggam.

"Capek-capek ke sini, malah minta pulang."

"Yang nyuruh lo bawa gue ke sini siapa?? Kan lo yang ujug-ujug dateng ke rumah gue!" sewotku.

"Iya-iya, ya udah beli minum dulu abis itu kita ke sebelah aja.",

"Sebelah mana?!"

"Ancol. Gak usah teriak, sakit kuping gue," balas Bian sambil menutup sebelah kupingnya.

Cuaca panas Jakarta sangat terik siang ini, sampai terasa menusuk-nusuk di kulitku.

Masih dengan tanganku yang Bian genggam, aku mengikuti Bian yang entah ingin membawaku kemana.

Bian menyuruhku duduk di salah satu kursi panjang yang berada di bawah pohon. Keringat mengalir dari pelipis, untung saja pohon besar ini mampu menutupi sebagian kursi agar tak langsung terpapar sinar matahari.

Kulihat Bian sedang mengantri di salah satu warung untuk membeli minuman.

"Lo serius gak mau naik apapun?" tanya Bian, sambil memberikan sebotol minuman yang sudah ia buka.

"Enggak! Gue mau pulang, titik!"

Bian duduk di sebelahku tanpa mengucapkan apapun, lalu ia membuka minumannya untuk dia sendiri.

"Gue boleh nanya?"

"Hm?"

"Kenapa pas gue pertama masuk di sekolah lo, lo godain gue?"

Aku tertawa atas pertanyaan yang menurutku konyol. "Ya elah, cuma digituin doang. Bukan termasuk godain kali, Bi."

"Terus?"

"Terus?" beoku, sambil menatap mata Bian yang juga sedang menatap ke arahku. "Tunggu deh, lo gak mikir gue naksir lo kan?"

"Berarti enggak?"

"Please deh, Bian. Gue juga suka ngeledekin Pak Mark kok, terus lo juga mikir gue naksir beliau gitu?"

Bian mengangguk dengan wajah polosnya, membuatku kembali tertawa.

"Gue berasa lagi godain anak SD, baperan."

Setelah aku mengucapkan kalimat itu, kulihat Bian menjadi lebih diam dari sebelumnya dan bibir tebalnya yang sedari tadi melengkung ke atas kini hanya membentuk senyuman samar.

Apa ada yang salah dengan ucapanku?

Tbc...

Eyes On You | Ryujin x Hyunjin ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang