eoy- delapan

225 28 0
                                    

Sekitar satu jam kemudian, Bian beneran datang ke rumahku setelah aku memberikan alamat lengkap melalui pesan.

Saat ini, kami sedang duduk berdua di ruang tamu. Bian dengan wajah seriusnya sedang mencoba membenarkan laptopku yang masih gak mau nyala, sedangkan aku yang sedang duduk tepat di sampingnya hanya menikmati wajah tampan milik Bian.

"Assalamualaikum."

Ucapan salam membuatku tersadar, kulihat Bang Brian baru sampai rumah setelah mengantar Mbak Sana.

"Waalaikumsalam," ucapku, sambil berjalan menuju ke Bang Brian untuk mencium punggung tangan miliknya.

"Ada tamu?" tanya Bang Brian.

"Bian."

Bang Brian hanya mengangguk dan berjalan menuju Bian yang masih sibuk membenarkan laptopku.

"Kenapa laptopnya?" tanya Bang Brian, sambil duduk di lantai. Tepat di depan Bian.

"Gak tau, Bang. Kata Kia tadi ini gak mau nyala."

Kulihat, Bang Brian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengambil camilan di atas meja yang sudah kusiapkan untuk Bian.

"Bang! Itu buat Bian, kok dimakan sih?!" protesku.

"Buset! Gue cuma makan satu doang perasaan."

"Ya tetep aja, gak sopan banget sih lo!"

"Nih, Yan. Gue balikin, nenek lampir itu emang suka rese kalo soal makanan," balasnya, sambil menaruh kembali biskuit yang sudah ia gigit setengahnya.

"Abang!"

Bang Brian tertawa sambil berlari kecil meninggalkan area ruang tamu.

"Gak usah ketawa-tawa deh!" ucapku sewot, saat melihat Bian ikut-ikutan tertawa.

Aku berjalan mendekat ke arah meja untuk mengambil sisa biskuit yang sudah dimakan Bang Brian.

Entah sudah berapa lama, Bian masih belum selesai membenarkan laptopku. Aku sampai mengantuk dibuatnya.

"Lo tuh bisa gak sih benerinnya?"

"Bisa ko, tapi kayanya gue gak bisa deh kalo laptop lo."

"Kenapa gak bilang dari tadi, Bian?!"

Sumpah, aku geram sama manusia yang berada di depanku ini.

"Udah deh, pake laptop gue aja," sarannya.

"Astaga, Bian!" aku mengacak-acak rambut frustasi. Selama satu jam lebih dia so serius membenarkan laptopku, tapi ternyata hasilnya nihil.

Kulihat, Bian hanya menanggapi dengan cengiran lebarnya.

"Udah deh, gue kasih pinjem laptop gue. Biar nanti gue pake punya Bang Digta."

"Udahlah, teserah."

"Mekdi yuk, laper gue," ajaknya, sambil menjauhkan laptop dari hadapannya.

Aku mengangguk. "Gue ambil cardigan dulu, panas."

Aku langsung beranjak ke kamarku dan mengambil salah satu cardigan yang aku gantung di belakang pintu. Aku gak berniat untuk minta izin sama Bang Brian lebih dulu, karena sudah dipastikan orang itu bakal nitip sesuatu yang ujung-ujungnya memakai uangku.

Kulihat, Bian sudah berada di ambang pintu ruang tamu sambil menggulung lengan kemeja yang ia jadikan luaran.

"Ngapain sih di gulung, udah tau panas," ocehku, sambil membenarkan kembali lengan kemeja yang sudah Bian gulung rapi.

Ku dengar, Bian berdecak tapi sama sekali tidak mengatakan protes apapun.

Setelah membenarkan kedua lengan kemejanya, aku mengambil helm milikku yang berada di atas lemari sepatu.

"Yuk!"

Bian mengangguk dan berjalan lebih dulu menuju ke motor matic miliknya. Sedangkan aku, memilih untuk melihat penampilanku di kaca jendela.

-

Sesampainya di mekdi terdekat, aku langsung duduk menempati salah satu meja yang berada di outdoor dan membiarkan Bian yang mengantri pesanan.

Mengetuk-ngetuk jari di meja dan mengedarkan pandangan ke arah jalan raya sambil menunggu Bian membawakan pesanan kami.

"Yuki?"

Suara berat yang terdengar dari arah belakangku membuatku refleks menoleh ke asal suara.

"Bang Tata? Ko di sini?"

Bang Tara tersenyum lalu berjalan mendekatiku dan duduk tepat di hadapanku–oh aku gak sadar, kalau ada seorang cewek yang berada di samping Bang Tata.

Mendadak aku ingin cepat pulang.

"Ama siapa?" tanya Bang Tata.

Aku mengedikan dagu ke arah Bian berada yang kini sedang berjalan menuju ke arahku dengan kedua tangan yang memegang nampan.

"Loh, Abang kok di sini?" tanya Bian sambil menaruh nampan di hadapanku.

"Ini, Abang nemenin temen Abang."

Aku gak menggubris obrolan seterusnya, aku menyibukkan diri dengan makanan yang sudah berada di hadapanku.

"Makan Bang, Mbak," ucapku basa-basi.

Aku makan dalam diam, meskipun mereka bertiga masih asik mengobrol sedangkan aku, memilih sesekali tersenyum dan berbicara hanya saat sedang ditanya.

Selesai makan, aku langsung mengajak Bian untuk langsung pulang, meskipun aku masih ingin menikmati wifi gratis di sini. Tapi, mengingat pasangan sejoli yang berada di hadapanku, rasa-rasanya aku ingin cepat-cepat masuk kamar dan mengurung diri.

"Muka lo ditekuk terus, kenapa?" tanya Bian sambil menyerahkan helmku.

"Keciri banget, ya?"

Bian mengangguk sambil memakai helm miliknya.

"Itu tadi pacarnya Bang Tata, ya?"

Bian menoleh ke arahku. "Gak tau, cemburu?"

Cemburu??

Aku??

"Ngaco!" seruku, sambil menepuk lengan Bian dengan keras.

Bian meringis kesakitan, tapi setelahnya ia tersenyum sambil mengelus lengan yang baru saja kupukul.

Selama di perjalanan pulang, Bian sesekali bercerita padaku tentang ia yang selama lima tahun kemarin tinggal di Yogya. Entah ada angin apa, Bian jadi sering mengajakku berbicara, berbeda dengan Bian beberapa hari lalu yang selalu memasang muka masam dan irit bicara.

Bian mematikan mesin motornya saat sudah sampai di depan gerbang rumahku dan menurunkan standar tetapi ia tetap berada di atas motornya.

"Makasih, ya," ucapku, sambil turun dari motornya.

Bian mengangguk dan ikut membuka helmnya.

"Muka lo gak usah ditekuk gitu, bisa gak sih?" balasnya, sambil menyentuh seluruh mukaku dengan satu telapak tangannya yang besar.

"Rese!" protesku, sambil menjauhkan tangannya yang besar itu dari mukaku.

Bian terkekeh geli sambil memakai helm miliknya lagi.

"Gue langsung cabut, ya."

Aku mengangguk dan mundur selangkah, takut tangan Bian yang usil itu menyentuh mukaku lagi.

Setelah Bian melambaikan tangannya sekilas, ia menyalakan mesin motor maticnya dan pergi menjauh dari hadapanku.

Tbc..

Eyes On You | Ryujin x Hyunjin ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang