===Terbongkar===
Mengapa orang baik sering tersakiti dan tertipu. Karena orang baik selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya. Ia tak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yang ia pandang penyayang mampu menghianatinya.
Aku tak bisa menghentikan senyumku, meskipun kenyataan pahit berhasil menamparku, tapi tidak apa, setidaknya aku masih bisa menikmati detik-detik kebahagiaan ini.
Sejak kejadian di dapur lima hari lalu, hubungan kami semakin membaik, Mas Fakhri selalu memintaku membawa bekal ke rumah sakit saat makan siang, bahkan lima hari ini ia sangat menja terhadapku, hanya mau makan siang jika disuapi, memintaku menemaninya hingga jam kerjanya habis. Saat istirahat sore hari, Mas Fakhri selalu mengajakku ke cafe-cafe terdekat setiap harinya. Kesibukan Mas Fakhri memang tak bisa mengajakku mengunjungi tempat-tempat indah dan tempat wisata lainnya, tapi dengan kebersamaan dan perhatiaannya itu saja sudah cukup untukku.
"Mau makan apa?" tanya Mas Fakhri menoleh sekilas ke arahku lalu kembali terfokus ke kemudinya.
"Sate," seruku bersemangat.
Mas Fakhri terkekeh pelan dan mencubit gemas hidungku. Ia menggentikan mobilnya tepat di warung pedagang sate yang terletak di pinggir jalan.
Mencium aroma sate dari beberapa meter di dalam mobil membuatku ingin memakan sate, entahlah aku sangat menginginkannya. Bahkan aku merasa air liurku akan menetes sebentar lagi.
Aku mencari tempat duduk di warung ini, sementara Mas Fakhri masih memasan sate kepada pemilik warung ini. Tak butuh waktu lama, Mas Fakhri sudah kembali dan duduk di hadapanku dengan kaki bersila.
Seorang Ibu paruh baya menghantar pesanan kami, tapi hanya satu piring. "Satunya masih dipanggang," ucap Ibu pemilik warung ini sambil menaruh sepiring sate, dan satu mangkuk kecil nasi, lalu Ibu itu pun kembali ke depan.
"Nih, makan saja duluan." Mas Fakhri menggeser piring berisi sate ini ke arahku.
Pengertian sekali. Aku memang sudah ingin menyantapnya sejak tadi. Bahkan saat pemilik warung ini meletakkan piring di meja aku tak bisa berpaling darinya. Setelah membaca basmalah aku langsung memakannya tanpa menunggu Mas Fakhri, biarlah aku sangat lapar.
"Pelan-pelan Annis, tidak baik makan seperti itu!" Ya aku baru sadar jika aku sangat lahap memakan sate ini layaknya orang yang belum makan selama dua hari.
Aku membalasnya dengan anggukan kepala lalu makan dengan biasa. Beberapa menit setelahnya, makananku tandas, tapi aku sama sekali tak merasa kenyang.
"Mas ... kurang," cicitku pelan, sungguh malu aku.
"Bu, saya pesan satu lagi," ucap Mas Fakhri saat pemilik warung ini menghantar pesanan untuknya.
Lagi-lagi Mas Fakhri menyodorkan piring di hadapannya ke arahku. "Nih."
"Tidak. Ini biar Mas yang makan, aku nunggu pesanan tadi saja," ucapku merasa tak enak. Mas Fakhri belum makan satu tusuk pun. Namun ia malah memberikan makanannya kepadaku.
"Makan saja, lagian Mas belum terlalu lapar kok."
"Yakin?" tanyaku menatapnya dengan mata memicing seolah tak percaya.
Mas Fakhri menyodorkan tusuk sate ke arahku. "Aaa."
"Aku bisa makan sendiri," tolakku. Tentu saja karena aku malu dilihat beberapa orang di sekitarku.
"Yaudah makan," ucap Mas Fakhri meletakkan kembali tusuk sate ke atas piring.
Sate dipiringku sudah tinggal lima tusuk, tapi sate pesanan Mas Fakhri baru saja diantar ke mari.
"Istrinya ngidam ya Mas," ucapnya dengan wajah berbinar.
Aku meletakkan kembali tusuk sate yang hendak ku makan ke atas piring. Mendadak nafsu makanku hilang.
Mas Fakhri menggenggam tanganku dengan erat. "Jangan dipikirkan." Bisik Mas Fakhri setelah Ibu itu kembali ke depan.
Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Sebanarnya aku heran dengan diriku sendiri, mengapa aku menjadi sensitif seperti ini.
Dengan malas aku kembali makan, begitupun dengan Mas Fakhri. Setelah membayar makanan kami kembali ke rumah sakit, Mas Fakhri masih ada pekerjaan sampai jam tujuh malam nanti. Selama Mas Fakhri memeriksa pasien aku menunggu di ruangnya hingga ia selesai, kemudian pulang.
Malam ini adalah malam terakhir Sellia berada di acara seminar. Besok ia pulang entah jam berapa aku sendiri tidak tahu secara pasti.
***
"Sellia!" ucap Mas Fakhri sangat Nyaring dan terkesan membentak. Ia menuruni tangga dengan langkah cepat dan matanya yang berkilat marah."Ada apa Mas," tanya Sellia lembut dan mengernyitkan dahinya bingung.
"Iya Alta ada apa? Bicaralah baik-baik, jangan emosi seperti ini," ucap Mama.
Mas Fakhri meletakkan sebuah tablet obat ke atas meja makan. Aku, Sellia dan Mama memang sedang sarapan. Namun, karena teriakan Mas Fakhri membuat kami menghentikan makan.
Aku dan Mama terkejut melihat obat yang ditunjukkan Mas Fakhri karena kami tahu betul obat itu untuk apa, sementara Sellia menatap obat tersebut dengan wajah pucat pasi, menunduk tak berani menatap mata Mas Fakhri.
"Apa maksudnya ini? Sellia," ucap Mas Fakhri dengan datar namun malah terlihat semakin menyeramkan.
Aku dan Mama juga menatap Sellia, menanti jawaban darinya.
"A ... aku--"
"Kamu tidak gugu kan? Jadi jawab dengan benar," potong Mas Fakhri sebelum Sellia menjawab dan membela dirinya sendiri.
"Aku tak mungkin mengandung anak seseorang yang tidak mencintaiku," ucap Sellia mendongakkan kepalanya dan membalas tatapan Mas Fakhri dengan tajam.
"Lalu apa maksud ucapanmu waktu kita di Yunani? Kamu sengaja ingin menjauhkanku dengan Annis?"
"Kau tak akan mengerti perasaanku, Mas," ucap Sellia melemah.
"Bukankah aku selama ini selalu mengikuti kemauanmu, bahkan aku selalu menghabiskan waktuku untukmu apa itu masih kurang. Katakan Sellia," desak Mas Fakhri mulai frustasi.
"Aku butuh cintamu Mas, dan kau tak bisa memberi itu meskipun kita selalu bersama, kita memang selalu bersama tapi apa? Hampa, tak ada keharmonisan di dalamnya. Kita tak lebih dari dua orang asing yang terjebak di ruang sama." Mas Fakhri terduduk lemah di kursi.
Sementara Sellia langsung beranjak tanpa menghabiskan makannya. Ia meraih jas dokter yang tersampir di punggung kursi lalu pergi meninggalkan kami semua tanpa sepatah katapun.
Hening. Kami semua tak bisa berkata apa-apa.
"Ini salah Mama, Mama terlalu memaksa kalian. Seharusnya Mama tak lagi mengulang kejadian yang sama hiks ...." Mama terus saja terisak sambil menatap ke arah pintu, arah Sellia pergi meninggalkan kami.
"Ma ...." tegur Mas Fakhri yang berada di samping Mama, ia mengusap punggung Mama dengan sabar untuk menghentikan tangisan Ibunya.
Mama mengalihkan pandangannya dari arah pintu menuju ke arah Mas Fakhri.
"Ini salah Mama Alta! Kejadian ini persis dengan kehidupan rumah tangga Mama, Mama tahu betul seperti apa rasanya menjadi Sellia. Meskipun tidak sesakit yang Mama rasakan karena Sellia belum hamil anakmu Alta."
"Apa maksud Mama?" tanya Mas Fakhri menatap Mama.
Bukan seperti itu kisah yang Mas Fakhri ucapkan tentang orang tuanya. Apakah ini hal yang hanya diketahui oleh Mama dan Alm. Papa saja?
14.10.
23 Juni 2020============================
See you in the next part😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiadakah Surga yang Lain?✔
EspiritualWanita itu .. mudah iba, mudah patah, mudah menangis. Hatinya dipenuhi kelembutan dan cinta yang tulus tersebab fitrahnya sebagai seorang wanita ia kerap kali diuji oleh Allah melalui hatinya. ~Vivi Yaumil Fadillah. Itulah yang dialami Annisa Haridz...