===Sendiri dalam Tangis===
Ketika dalam kesulitanmu orang-orang meninggalkanmu, itu bisa jadi karena Allah sendirilah yang akan mengurusmu.
~Imam Syafi'i.
Baru pukul lima pagi, langit pun masih remang-remang, namun aku sudah direpotkan dengan berbagai bahan makanan di dapur, tapi aku tak hanya sendiri yang disibukkan, semua penghuni rumah ini sama-sama sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Kami berbagi tugas agar pekerjaan ini cepat selesai.Hari ini adalah hari penting untuk Mama, ia ingin membuat acara sempurna, seperti itulah Mama, ia ingin sesuatu yang berkaitan dengannya selalu sempurna.
Hari ini adalah acara arisan Mama, aku sempat berpikir bahwa Mama akan jera mengingat kejadian tiga tahun lalu yang sangat kacau, tapi aku salah, sekarang malah teman arisan Mama semakin banyak, dua kali lipat dari jumlah teman arisannya tiga tahun lalu, jadi karena itulah pagi-pagi buta seperti ini kami semua sudah disibukkan, berhubung acara akan dimulai pukul delapan pagi.
Aku ditugaskan untuk memasak, Sellia hanya mau membuat minuman untuk para tamu nanti, Mas Fakhri sibuk menata dan menyusun kursi tambahan di ruang tamu, sedangkan Mama menyapu dan membersihkan kaca. Sesekali ia mencicipi masakanku dan mengomentari kekurangannya.
"Kurang asin, ini terlalu manis, yang ini sangat hambar." Begitulah kira-kira ucapan Mama setelah mencicipi satu persatu masakan yang belum aku hidangkan di piring.
Tepat pukul enam, Sellia dan Mas Fakhri menyelesaikan tugasnya masing-masing. Mereka memang harus segera bersiap untuk berangkat ke RS.
Rasanya saat ini sama seperti saat awal-awal pernikahanku, saat sikap Mama masih hangat dan peduli, setiap pagi kami akan memasak bersama seperti ini, namun bedanya sekarang dan tiga tahun lalu adalah saat ini sama sekali tak ada pembicaraan, hanya dentingan peralatan dapur yang saling bersahutan.
"Kami berangkat dulu," pamit Mas Fakhri saat menuruni tangga, ia tergesa-gesa dan tak menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu.
Biasanya Mas Fakhri akan bersikap seperti itu saat ada operasi pagi. Ya mungkin memang seperti itu, aku tak mau bertanya dan menghambat waktunya hanya untuk sekedar basa -- basi.
Pukul tujuh masakanku benar-benar selesai, aku juga telah menatanya sedemikian rupa.
Mama menatap puas hasil masakan yang tersaji di meja, lalu ia menoleh ke arahku. "Terima kasih, Annisa."
Untuk pertama kalinya setelah kejadian tiga tahun lalu Mama mengucapkan kata 'Terima kasih' dengan tulus. Sosoknya sama seperti sosok yang dulu menyambutku di rumah ini dengan senang. Sosok inilah yang aku rindukan.
Atau mungkin saja Mama mengucapkan terima kasih karena ini adalah acaranya. Apapun itu yang jelas aku senang sosok Mama telah kembali, aku harap selamanya akan tetap seperti ini.
"Nisa!" tegur Mama melambaikan tangan di hadapan wajahku. Aku melamun, memalukan.
"Eh iya Ma," balasku tersentak kaget, seolah ada yang menarikku secara paksa untuk segera bangun dari alam bawah sadar.
"Lebih baik kamu bersihkan diri, bajumu sangat kotor," ucap Mama sebelum pergi.
Aku meneliti pakaianku dengan benar, ya, aku kacau sekali, gamishku terdapat banyak noda tepung dan bumbu masakan lainnya seperti saus dan kecap. Mau tak mau memang harus membersihkan diri walaupun sebelum sholat subuh aku sudah mandi, tubuhku terasa lengket.
Tak perlu waktu lama hanya dua puluh menit saja aku sudah siap dengan gamish hitam dan hijab berwarna abu-abu, warna kesukaanku. Saat menuruni tangga dapat kulihat dari sini, teman-teman Mama sudah mulai berdatangan satu per satu.
"Nisa, tolong bawakan minumannya," ucap Mama tak begitu nyaring.
Aku membawa nampan berisi minuman yang telah disiapkan Sellia tadi ke ruang tamu, nampan yang kupegang saat ini hanya berisi tujuh gelas saja. Jadi aku harus bolak-balik menuju ruang tamu dan dapur.
"Annisa kamu semakin cantik dari terakhir tante melihatmu tiga tahun lalu, semoga Tuhan segera mengganti dan menghadirkan keturunan lagi untukmu," ucap teman Mama yang tak ku ketahui namanya.
Aku menghentikan sejenak kegiatanku menaruh gelas dari nampan ke meja saat sebelah tangan Tante itu menepuk dan mengelus pundakku penuh kasih sayang. Aku seperti merasakan saat Ibuku sendiri yang melakukan itu, begitupun saat aku menatap matanya yang meneduhkan. Aura kasih sayang yang menguar begitu pekat aku bisa merasakan itu. Posisinya memang sangat dekat denganku karena ia duduk di kursi paling pinggir.
"Aamiin," balasku dengan suara bergetar.
Aku pun berdiri hendak menuju dapur namun lagi-lagi Tante itu mengikutiku. "Apa ada nampan lain di dapur? Aku ingin membantu."
"Tidak perlu Tante, tidak usah repot-repot Tante tamu di sini," balasku merasa tak enak.
"Tidak apa-apa lagi pula Manda juga tidak bisa membantumu, ia harus menemani para tamu, sangat tidak sopan kalau ia meninggalkannya begitu saja, tapi aku tak berpengaruh apa-apa. Jadi mari aku bantu."
"Tante sangat baik, padahal kita baru saja mengenal," ucapku sambil meletakkan minuman di nampan.
"Tidak butuh perkenalan untuk membantu, apalagi saat hendak membantu orang kecelakaan, apa kamu akan basa-basi terlebih dahulu menanyakan bidatanya, hahaha, keburu mati kalau seperti itu, sayang."
"Hahaha ... iya-iya Tante benar."
***
"Tante kenapa ikut makan di sini juga?" tanyaku heran saat Tante malah makan bersamaku di meja makan dekat dapur, bukannya makan bersama dengan Mama dan teman-teman arisannya."Mereka hanya bergosip." Aku manggut-manggut saja.
"Oh ya ini kartu nama Tante, kau juga boleh main ke rumah kalau butuh teman cerita," ujar Tante menyodorkan kartu nama ke arahku.
Kata-katanya persis dengan ucapan Karin beberapa hari lalu 'Teteh boleh main ke rumah kalau butuh teman cerita' Aku menerima kartu nama itu dan membacanya sekilas, Namanya ternyata Tante Arin, alamatnya ...
Deg ..."Bukankah ini alamat rumah Karin," gumamku sambil mengingat-ingat alamat rumah Karin. Ya tak salah lagi alamat mereka sama.
"Kamu kenal Karin?" tanya Tante Arin setengah terkejut. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Dia puteriku," jawab Tante Arin.
"Kau harus mampir kapan-kapan." Pesan Tante Arin sebelum pulang.
Setelah semua tamu pulang, aku langsung membereskannya, menumpuknya di wastafell.
"Kamu bersihkan ruang tamu saja, biar cucian ini Mama yang membersihkan. Wajahmu pucat." Kalimat terakhirnya membuatku tersenyum senang. Mama masih peduli ternyata.
Tak mau membantah aku langsung membereskan ruang tamu, hanya menyapu dan membenarkan letak bantal-bantal kecil di sofa. Setelahnya barulah aku kembali ke dapur hendak membantu Mama.
"Biar Nisa yang melanjutkan Ma," tawarku yang langsung dibalas dengan gelengan kepala secara tegas.
"Kamu istirahat saja, wajahmu sangat pucat, pasti karena kelelahan." Aku membenarkan ucapan Mama dalam hati, tubuhku sangat lelah dan kepalaku pusing. Dengan langkah gontai aku melangkahkan kaki menuju kamar, lalu langsung merebahkan diri.
============================
05.15
22 Juni 2020Pendinginan dulu ya guys, setelah ini siap-siap meledak. Btw Nisa kenapa tuh? Jawabannya ada di part ke 25. So, pantengin terus ya. Kalau ga sibuk langsung dilanjut deh publish part 24. Kalau ga sibuk ya😂.
Oh ya makasih buat yang telah baca dan votement.
See you next part😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiadakah Surga yang Lain?✔
SpiritualWanita itu .. mudah iba, mudah patah, mudah menangis. Hatinya dipenuhi kelembutan dan cinta yang tulus tersebab fitrahnya sebagai seorang wanita ia kerap kali diuji oleh Allah melalui hatinya. ~Vivi Yaumil Fadillah. Itulah yang dialami Annisa Haridz...