Bila Nanti
Kau merindukanku. Aku tidaklah jauh, aku berada pada kesalahanmu di masa lalu. Carilah aku di sana, kau bisa menemuiku di sana. ~Setangkai.Selama di perjalanan aku sama sekali tidak tenang. Bagaimana jika kejadian tiga tahun lalu terulang kembali? dan aku merasakan kehilangan untuk yang kedua kali? Dengan perasaan kacau aku memasukkan baju-bajuku ke dalam koper.
Maafkan aku pergi tanpa izinmu, tak perlu khawatir aku akan baik-baik saja. Aku tidak ke rumah orang tuaku, jadi jangan cari aku di sana. Aku akan menghubungimu jika sudah saatnya aku kembali. Tolong izinkan aku Mas. Dan ridhoi kepergianku.
Annisa Kharidzah Salsabila.
Aku meletakkan selembar surat di atas nakas, lalu bergegas menuruni tangga dan keluar rumah menuju taksi yang menungguku.
Keberuntungan masih berpihak kepadaku, masih ada tiket kosong yang akan berangkat beberapa menit lagi menuju daerah Jawa Timur. Ya tujuanku adalah pondok pesantren tempatku dulu menimba ilmu. Aku yakin aku akan aman di sana, dan menenangkan diriku di sana untuk sementara waktu.
Aku melakukan ini dengan banyak pertimbangan. Hal ini memang harus aku lakukan untuk melindungi diriku sendiri dan kandunganku. Tak akan kubiarkan kejadian tiga tahun lalu terulang kembali padaku di rumah ini.
Pukul sembilan malam aku tiba di stasiun, tentu saja aku tidak ke pondok pesantren sendiri. Ada seorang kepercayaan ponpes yang akan menjemputku ke stasiun.
******
Aku menatap pintu gerbang pesantren yang sama sekali tak berubah saat aku meninggalkannya sebelas tahun lalu, aku menempuh pendidikan sd dan SMP di pondok pesantren ini, baru setelah lulus keluargaku pindah ke Ibu kota dan aku melanjutkan sekolah di sana."Nisa!" seru seorang wanita yang seusia dengan Ibuku. Aku langsung menghambur kepelukannya.
Dia adalah guru sekaligus Ibu dari teman kecilku. Ali Ghiffari.
"Umi." Umi Shilla membawaku ke kediamannya. Aku masih hafal betul setiap ruang yang ada di pesantren ini.
"Nisa kamu bisa menempati kamar Ali," ucap Umi Shilla setelah membuka pintu rumah yang sebelumnya terkunci.
"Boleh Nisa tidur bersama Umi malam ini saja," pintaku.
Aku dan Umi Shilla memang sangat akrab, beliau sudah seperti Ibu kandungku sendiri. Begitupun Umi Shilla menganggapku seperti anaknya sendiri.
"Boleh sayang," ucap Umi Shilla mengelus kepalaku yang tertutup hijab.
Umi sudah terlelap di sampingku, sementara aku belum juga bisa tertidur meskipun telah memejamkan mata.
******
Tanpa terasa sudah lima bulan aku tinggal di pesantren, selama itu pula aku sengaja tidak mengaktifkan handphoneku ataupun menghubungi Mas Fakhri. Usia kandunganku sudah menginjak trimester kedua. Dan sudah nampak jelas layaknya orang hamil meski aku selalu memakai gamish.Saat ini aku sedang jalan-jalan ditemani sahabat masa kecilku, Ali. Sekedar untuk mengurangi bosan, sekaligus olahraga ringan. Orang bilang Ibu Hamil dianjurkan jalan-jalan pagi untuk mempermudah saat prosesi melahirkan dengan catatan tidak kelelahan.
Setelah merasa puas berjalan di luar ponpes, aku dan Ali kembali ke ponpes, istirahat sebentar di taman.
Dari arah depan, seorang santri mendekat ke arah kami, aku tak mengenalnya, namun jika dilihat dari raut wajahnya saat ini, ia tampak marah dan menahan kesal.
"Jadi benar gosip yang dibicarakan para santri, Ustadz menghamili dia kan?" tuduhnya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Tidak sopan sekali berbicara dengan Ustadz seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiadakah Surga yang Lain?✔
SpiritüelWanita itu .. mudah iba, mudah patah, mudah menangis. Hatinya dipenuhi kelembutan dan cinta yang tulus tersebab fitrahnya sebagai seorang wanita ia kerap kali diuji oleh Allah melalui hatinya. ~Vivi Yaumil Fadillah. Itulah yang dialami Annisa Haridz...