Uluran Tangan

8K 1.3K 97
                                    

Keduanya tampak larut dengan pikiran masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keduanya tampak larut dengan pikiran masing-masing. Pernyataan laki-laki blasteran di hadapannya membuat Salma berpikir keras. Memijat keningnya yang terasa penat sejak mengetahui satu fakta berat yang diucapkan Lara mengenai adanya sosok suci yang telah bersemayam dalam rahimnya.

"Kamu yakin mau menikahi Lara?"

"Saya benar-benar yakin. Yang utama buat saya adalah, Lara tetap bisa melanjutkan hidup bersama bayinya. Dengan status menjadi istri saya dan janin itu menjadi anak saya. Insya Allah, saya akan menjamin kehidupan mereka. Ibu nggak perlu khawatir. Hanya mendoakan kami, agar rumah tangga kami penuh keberkahan," sahut Wafi mantap. Saat tadi di luar ia sudah mendengar percakapan ibu anak ini. Dan Wafi juga mendengar betapa frustrasinya Lara menerima kenyataan pahit yang bisa saja membuat psikisnya depresi.

"Saya tahu kamu orang baik. Tapi bukan begini cara kamu menolong putri saya. Lara korban pemer--"

"Saya tahu. Nggak ada yang salah dengan latar belakang Lara. Saya tetap berniat baik ingin menikahinya. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Saya sudah serius memikirkan ini. Ibu hanya perlu yakinkan Lara agar mau menerima pinangan saya." Wafi menarik dalam-dalam napasnya yang sesak. "Saya nggak mau Lara terpuruk bersama janin yang nggak berdosa sama sekali." Wafi mendekat, bersimpuh menyentuh tangan Salma yang bertumpu di lutut. "Saya laki-laki dewasa yang sudah berniat berumah tangga untuk menyempurnakan ibadah. Saya memilih putri ibu untuk menjadi istri saya. Restui kami."

Rinai hujan terus meluncur dari muara teduh yang kini memburam pandangannya. Butiran bening itu menyelimuti manik hitam yang berkaca-kaca. "Kamu bisa mendapatkan perempuan sempurna yang melebihi Lara. Jangan sia-siakan sisa hidupmu hanya untuk mengasihani kami."

Wafi menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Apa Lara masih kurang sempurna di mata Ibu?"

Isakkan tangisnya makin terdengar pilu. "Dia sangat sempurna meski sekarang ada noda yang --" Salma menggeleng tak sanggup meneruskan. Tatapan matanya yang memerah menatap lekat bola mata biru jernih yang menyejukkan. Haruskah menerima uluran tangan pertolongan ini untuk Lara?

Salma memejamkan mata sejenak. Gumpalan kesakitan terus bercokol menikam jantungnya. "Apa kamu sanggup terseret aib yang diderita putri saya?"

"Saat saya mengucapkan ijab qabul, detik itu juga aib Lara terhapus. Dan seterusnya saya akan berusaha menghapus kenangan buruk yang membuat Lara terpuruk. Saya janji. Ibu nggak perlu mengkhawatirkan tentang saya. Karena ini sudah menjadi pilihan saya." tatapan Wafi terisi kesungguhan di dalamnya. "Kita berdua ingin Lara dan janinnya tetap bertahan."

"Lalu ... bagaimana dengan keluargamu, Nak Wafi. Mereka nggak akan mudah memberikan restu," lirih Salma tak yakin.

"Kedua orang tua saya sudah nggak ada. Nanti saya akan meminta Paman untuk datang ke sini melakukan lamaran. Ibu Salma jangan cemas. Paman saya orang yang baik. Beliau nggak akan memiliki pandangan sempit. Percayakan semua pada saya, Bu."

Duka Lara (series) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang