Bersemayam Lama

10.6K 1.4K 79
                                    

Wafi melirik Arloji di tangan. Masih ada sisa waktu dua jam sebelum menghadiri rapat penting pembahasan peningkatan omzet restoran yang baru aktif kurang dari dua bulan. Tampak cepat melangkah hingga tubuhnya membentur tubuh ringkih yang nyaris saja terjengkang ke lantai.

"Maaf, saya nggak sengaja, Mister," kata wanita tua berkerudung hitam.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya juga yang salah nggak hati-hati."

"Eh, bisa bahasa Indonesia?" wanita itu mengerjap. Menatap serius wajah bule laki-laki tampan bermata biru.

"Meski fisik saya beda dengan masyarakat lokal, saya warga negara Indonesia," jawab Wafi sopan menampilkan senyum memesona. "Panggil Wafi aja, Bu."

"Saya Salma."

"Ibu Salma," ulang Wafi menyapa.

Wanita keibuan itu tersenyum lembut. Keriput wajahnya tak melunturkan kecantikan ibu berusia yang nyaris setengah abad.

"Bu Salma mau ke ma--"

"Pergi! Kumohon jangan lakukan! Aku mohon menjauhlah. Aku benci kalian semua, Berengsek!"

Salma tergopoh-gopoh memasuki ruangan yang berasal suara ketakutan. Di sana tampak perempuan muda melemparkan segala benda yang ada di dekatnya. Bahkan tiang infus telah roboh dan tergeletak berantakan. Sebelum pasien yang mengamuk itu juga mencabut paksa jarum infusnya, Salma memeluk erat tubuh mungil yang kini terus meronta dalam pelukannya.

"Istighfar, Lara, Istighfar. Ini Ibu, Nak. Ibu yang akan melindungi kamu. Allah juga akan bersama kita. Bersama hamba-hamba yang mengingat-Nya," kata Salma memeluk erat tubuh bergetar Lara yang meraung kepedihan.

"Aku udah hancur. Aku kotor. Kenapa Allah nggak cabut nyawaku sekalian. Jangan cuma mencabut nyawa para bajingan laknat itu!" jeritnya histeris.

"Kamu anak baik, perempuan shaliha kesayangan Ibu. Allah nggak akan membiarkan kamu meninggalkan Ibu lebih dulu." Salma melepas sejenak pelukannya untuk membingkai wajah pucat yang semakin tirus. "Sampai kapan pun, Alara Nafisah Putri Ibu yang paling berharga. Kesucian hati kamu adalah bukti bahwa kamu adalah sesuatu yang sangat berharga dari segala apa pun di dunia ini."

Air mata Lara makin deras. Mendeteksi wajah lelah yang menjadi penyemangat hidupnya meraih impian. Kebahagiaan Ibunya adalah yang utama di atas segalanya. Tapi kini ia malah membuat wanita hebat ini malu. Mencoreng tatanan masa depan yang selalu dipanjatkan dalam doanya.

"Jangan pernah merasa sendiri. Ada Ibu yang akan terus mendampingi kamu."

"Allah di mana, Bu, saat ketiga bajingan itu menyentuhku?" isak Lara sesenggukan.

"Astagfirullahaladzim. Nggak boleh bicara begitu, Nak. Kita hanya seorang hamba yang berserah diri pada kuasa Illahi."

Lara menggeleng lemah, "Segala macam cara udah aku lakukan. Aku tendang mereka, aku pukul mereka, bahkan aku ludahi wajah iblis mereka. Tapi mereka tetap berdiri tegak. Memasang wajah angkuh lalu menarik kasar tanganku dan ..." Lara tak mampu melanjutkannya. Ia menyentuh area tubuh yang menjadi sasaran pelecehan. "Allah ke mana, Bu? Allah ke mana?" isaknya histeris.

Salma terdiam. Hanya mampu mengeluarkan tangisan yang tertahan. Dadanya terasa sesak menyaksikan kehancuran putri kesayangannya.

"Aku nggak sanggup, Bu. Demi Allah, Lara nggak sanggup nanggung aib memalukan ini. Kasihan Ibu sama Aqmar kalau sampai menghabisi sisa waktu bersama perempuan kotor sepertiku. Aku hina, Bu! Aku najis!"

Lara yang masih terlihat depresi mendorong bahu Salma. Beruntung tubuh ringkih itu tidak sampai terjerembab ke lantai karena Wafi lebih dulu menahannya. Ia datang tepat waktu bersama tim medis yang bergerak cepat memberikan suntikan hingga tubuh Lara meluruh dengan mata terpejam. Saat tadi Lara kembali histeris, Wafi ke luar mencari bantuan untuk membawa dokter ke ruangan.

"Traumatiknya sangat mendalam. Butuh kesabaran dan dukungan psikis yang kuat. Luka fisiknya memang sudah sembuh. Tapi mentalnya penuh luka. Selalu berikan motivasi, bahwa masa depannya masih bisa diraih cemerlang," urai dokter laki-laki yang menangani kasus Lara. "Ibu harus kuat. Jangan pernah putus harapan dan berdoa pada Sang Pencipta. Semoga Putri Ibu mampu bertahan melewati ujian ini," lanjutnya mengusap pelan bahu Salma yang bergetar sedih.

Kepergian dokter bersama perawatnya menyisakan keheningan. Salma terduduk lemas memandangi wajah cantik yang terpejam rapat.

"Kondisi Ibu juga perlu dijaga. Jangan sampai putri Ibu sedih brankar ini tergantikan dengan tubuh perempuan yang memiliki surganya."

Wajah pucat Salma menoleh menampilkan senyum lirih. "Saya kuat. Nak Wafi nggak usah khawatir.

Terdengar suara adzan dzuhur. Penyeru alam agar para makhluk-Nya meninggalkan aktivitas untuk sejenak bersujud, memohon ampunan yang tak berkesudahan.

"Kita sholat, yuk. Sholat tepat waktu memiliki banyak keutamaan. Hanya pada Sang Khalik kita berkeluh kesah dan meminta pertolongan."

Air mata Salma nyaris runtuh. Berusaha membendung hingga pandangannya memburam terhalang kristal bening di manik hitamnya. Batin Salma beristighfar memohon ampunan karena nyaris melupakan dengan menyalahkan takdir. Seolah lupa bahwa semua nasib umat manusia sudah tertulis pasti di Lauh Mahfudz. Salma pun berkeyakinan, akan ada pelangi indah setelah badai tornado menghantam ketenteraman buah hatinya. Salma memercayainya.

Bukankah Allah selalu menjanjikan kebahagiaan pada setiap hamba-Nya yang teguh beriman...

***

Armand menelisik pada air muka Wafi yang muram. Sejak masuk ruangan rawat-inapnya yang baru, keadaan temannya cukup aneh. Hanya terdiam dan melamun, bahkan Wafi sering tersentak hanya dengan panggilan ringan.

"Lo nggak lagi sakit, kan?" tanya Armand memastikan gelagat Wafi yang tampak gelagapan.

"Gue ... sehat. Alhamdulillah," jawab Wafi singkat.

Sudut kiri bibir Armand terangkat. "Terus tadi ngapain masuk ruangan yang udah nggak gue tempati? Suster bilang dia lihat lo masuk ruangan itu bareng tim medis."

"Itu benar. Gue emang ke sana. Gue
..."

"Mau apa di sana? Mau kasih support pasien malang itu, hem?" tuduh Armand sengit.

Wafi menggeleng pelan. "Kasihan Ibunya. Gue jadi teringat sama Almarhumah Ibu. Entah kenapa gue merasa kehangatan perasaan Ibu Salma sama seperti mending Ibu."

"Jadi namanya Ibu Salma?"

"Ya, tadi nggak sengaja ketemu waktu beliau mau keluar ruangan. Dan nggak lama putrinya histeris lagi."

Armand menganggukan kepala beberapa kali.

"Menurut lo traumatik pasien itu apa masih bisa sembuh?" tanya Wafi cemas.

Satu alis Armand menukik tajam memastikan gesture sahabatnya. "Jangan berlebihan. Itu bukan kapasitas lo. Biar aja pempuan itu pulih sendiri dari traumanya. Jangan terlalu baik sama orang yang belum lo kenal dekat." cibiran Armand mampu membuat isi kepala Wafi berpikir.

"Jangan asal ngomong! Lo nggak tahu kondisi dia kayak gimana. Perempuan itu korban pemerkosaan. Bukan satu, tapi tiga laki-laki bangsat yang tega menghancurkan masa depan gadis belia yang bahkan baru dua tahun menikmati status mahasiswi," desis Wafi sambil menyugar rambutnya.

Armand merasakan perubahan emosional Wafi yang tak pernah dilihatnya mampu membuat kinerja jantungnya mencelus. Sangat terasa tekanan panas bara api dari kilat bola mata birunya.

"Sori. Gue nggak bermaksud seperti itu. Santuy, Mas Bro!" kekeh Armand salah tingkah memecah ketegangan mereka.

Tangan Wafi terulur, menggaruk pelan tengkuknya yang tidak gatal. "Kayaknya gue baru sadar kalau intonasi bicara gue tadi cukup tinggi. Maaf."

Armand meninju dada kiri Wafi yang terasa keras. Laki-laki itu tertawa pelan. "Nggak masalah. Ingat, Bro. Di sini udah ada nama cantik yang bersemayam lama ... Zahra Ghaniya," imbuhnya menekan bagian liat dada bidang Wafi yang di dalamnya terdapat gumpalan hati.

.
.
.
.




*Jumat, 12-06-20
EL alice

Duka Lara (series) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang