Bukan Pelakor

5.5K 1.3K 476
                                    

Getar ponsel dalam sling bag yang berada di samping laptop mengalihkan lamunannya. Sejak tadi ia memang tidak bisa berkonsentrasi bekerja memikirkan pertemuan yang mendebarkan. Zahra tak menyangka jika pesan yang dikirim tadi pagi mendapat respons. Bahkan nanti siang ia akan face to face langsung. Jika seperti ini hasilnya harusnya sejak Armand memberikan kontaknya tiga minggu lalu mereka bertemu.

"Lara ..."

Kepala Zahra menggeleng, tentu saja itu tidak mungkin mengingat ia baru saja lolos seleksi salah satu jabatan pimpinan tinggi pratama atau biasa disebut Eselon II yang telah dilelang. Surat rekomendasi pelaksanaan seleksi terbuka calon pejabat pimpinan tinggi Kementerian Agama dari KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) melakukan lelang terbuka. Dan Zahra mendapat keberuntungan itu tanpa hambatan.

Satu tambahan nilai positif yang menakjubkan untuk memantaskan diri menjadi perempuan hebat di belakang laki-laki bermata biru samudra.

Satu pesan lagi masuk dan Zahra langsung membalasnya. Mematikan laptop serta merapikan sebentar meja miliknya lantas bergegas memakai sling bag menuju lift keluar gedung. Aliran darah yang memompa kinerja jantungnya seolah berpacu memberikan tabuhan genderang penyemangat.

Aku bukan perebut. Hanya ingin mengambil sesuatu yang harusnya jadi milikku.

***

Kedua jemari mungilnya sejak tadi tampak menjadi pelampiasan kegugupan. Remasan dan saling dikaitkan satu sama lain tetap saja melanda kerisauan hati. Embusan napas rendah perlahan dikeluarkan. Sejak lima belas menit rasa sesak itu tak juga memudar. Kekalutan lebih mendominasi pergerakan tubuhnya.

"Maaf, aku terlambat. Padahal aku yang minta kita ketemuan. Kamu sudah lama menunggu, Alara?" ucapnya sembari mengulurkan tangan yang disambut hangat.

"Nggak apa-apa. Mbak pasti sibuk."

Zahra Ghaniya adalah seorang wanita sempurna. Berpendidikan tinggi lulusan Kairo. Ilmu agama yang dimiliki pastilah luar biasa sebagai bibit istri shaliha yang mengagumkan. Pancaran dalam dirinya penuh dengan aura positif. Parasnya yang rupawan makin memesona dengan balutan busana muslimah syar'i. Daya magisnya membuat rasa percaya diri Lara merosot.

Inikah perempuan yang dicintai Mas Wafi sejak dulu?

"Kamu masih kenal sama aku, kan?"

Lara mengangguk. Bagaimana ia bisa lupa dengan paras cantik wanita itu. Meski hanya sekali melihat pada acara pesta keluarga yang sangat dielukan oleh perempuan pengasuh Mas Wafi. "Meski nggak ketemu langsung waktu acara Bibi Hana, saya masih ingat Mbak Zahra, kok," sahutnya sopan. Sungguh Lara merasa sangat minder bertemu tatap dengan perempuan sempurna ini.

Kening Zahra mengerut memerhatikan meja yang hanya terdapat satu gelas minuman jus. "Kamu nggak pesan makanan? Padahal lama, loh, nungguin aku."

Lara tersenyum simpul. Dalam situasi seperti ini ia benar-benar tak merasakan lapar dalam lambungnya. Meski saat ini sudah lewat dari jam dua siang. Bahkan Lara hanya baru mengonsumsi sarapan pagi tadi jam tujuh. "Saya nggak lapar, Mbak."

"Oh, kebetulan aku juga lagi buru-buru. Kalau gitu aku pesan minuman saja." setelah itu Zahra memanggil pelayan memberitahukan pesanannya. Selagi menunggu minuman datang Zahra tersenyum tipis memerhatikan wanita di depannya. Wanita sederhana dengan balutan dress bunga-bunga selutut dan rambut dibiarkan tergerai terlihat manis meski hanya riasan tipis yang melekat di wajahnya.

"Oke, kita langsung aja, ya."

Lara tersentak. Cukup terkejut bahwa minuman Zahra sudah ada di atas meja.

"Kamu melamun?" tanya Zahra menelisik gelagatnya.

"Maaf, saya hanya kurang fokus memikirkan anak saya di rumah," jawab Lara tak enak hati. Selain merasa canggung ia memang cemas sejak tadi mengabari ART-nya menanyakan balita tampan 4 tahun.

Ekspresi wajah Zahra berubah datar saat mendengar tentang balita tersebut. "Alara ..."

"Ya, Mbak."

Helaan napas berembus lelah. "Tolong kamu lepas Mas Wafi."

Untuk sesaat Lara terdiam. Ternyata dugaannya tidak salah. Pesan seluler yang dikirim Zahra mengenai Mas Wafi pasti merujuk pada hal sensitif ini.

"Aku rasa lima tahun ini sudah cukup kamu menahannya. Meski nggak bilang langsung aku tahu selama ini dia cukup tertekan dengan beban rumah tangga yang nggak pernah dia rancang bersama kamu. Entah berapa banyak impian yang terpaksa dikubur demi untuk menjadi tameng. Menjaga agar nama baikmu dan keluargamu tetap baik. Bahkan dengan kebesaran hati yang luar biasa, aku yakin Mas Wafi membutuhkan mental baja untuk menerima kehadiran anak itu menjadi bagian tanggung jawabnya. Walau pada akhirnya sekarang dia sangat menyayanginya."

Nyeri. Rasanya banyak ribuan jarum yang dimuntahkan dari intonasi kalimat itu. Suara Zahra memang halus dan sopan tapi terasa menyakitkan.

"Kamu nggak perlu kaget aku tahu tentang cerita masa lalu kamu dari mana karena aku nggak akan mengumbarnya. Dan Maaf, aku bukan maksud ingin merebutnya dari kamu. Tapi, bukankah kamu tahu, bahwa sejak dulu cintanya Mas Wafi hanya untukku. Dia menungguku untuk meraih cita-cita pendidikan. Tapi dia malah dihadapkan oleh sebuah tanggung jawab yang seharusnya bukan dilakukan olehnya. Ya, Mas Wafi memang laki-laki baik. Laki-laki sempurna. Nggak akan tega membiarkan siapa pun yang ditemuinya mengalami keterpurukan. Seperti kamu yang saat dulu mengalami --"

"Baik, Mbak. Jangan khawatir. Saya memang salah terlalu lama mengikatnya. Harusnya saya inisiatif sendiri berpisah darinya," sela Lara. Ia tak ingin wanita itu mengungkit kejadian menyakitkan yang telah berlalu. Duka itu takkan pernah bisa dienyahkan dari ingatannya.

"Mas Wafi nggak akan tega melakukannya. Aku tahu, dia juga pasti sekarang sudah menyayangi putramu. Itulah yang membuatku sedikit terbebani." Zahra tersenyum miris.

Lara menatap tanya pada wajah murung Zahra.

"Saat kami nanti bersama. Aku nggak mau kehadiran anak kamu akan menjadi beban dalam hubungan kami." Zahra menatap intens manik hitam teduh yang kini terbalut embun. Sesama wanita ia sangat paham jika saat ini Lara tengah tersakiti akan ucapannya. Biarkah ia egois. Bergerak sendiri untuk perwujudan masa depannya. Laki-laki yang dicintainya tidak akan bisa menyakiti wanita di hadapannya. Wafi lebih memilih mengubur impiannya meski cintanya tetap berporos untuknya. Zahra akan egois kali ini saja.

"Saya sadar diri siapa saya. Mas Wafi memang lebih cocok bersanding dengan Mbak Zahra. Maaf, sudah menahan milik Mbak terlalu lama bersama saya."

Zahra menumpuk jemari Lara. "Satu lagi ... jangan anggap aku sebagai Pelakor. Aku hanya ..."

"Enggak akan. Mbak Zahra perempuan baik-baik. Sejak dulu Mas Wafi memang milik Mbak. Saya hanya sebuah kesalahan yang terpaksa ditanggungnya," lirih Lara tersenyum pahit. Sebelah tangannya ikut menyalurkan kehangatan di punggung tangan Zahra. "Saya juga ingin Mas Wafi bahagia."

"Ehm ... a-apa ... apa Mas Wafi ..."

Lara mengernyit dalam. Tiba-tiba saja gelagat perempuan di depannya berubah sungkan. "Mbak mau tanya apa?"

"Ini memang nggak sopan. Tapi aku nggak bisa munafik kalau aku cukup cemas memikirkannya." Zahra menarik dalam napasnya. "Apa hubungan kalian sudah sampai sejauh keintim--"

Lagi, Lara memotong. "Nggak. Selama lima tahun Mas Wafi nggak pernah menyentuh saya. Dia laki-laki berakhlak yang mampu menjaga dirinya. Karena hanya Mbak Zahra yang ada dihatinya, bagaimana bisa kami dengan beban masing-masing tergoda oleh syahwat yang menyesatkan. Saya cukup tahu diri menempatkan posisi."

"Kamu memang perempuan baik, Alara. Maaf, harus menyakitimu dengan cara seperti ini." Zahra bangkit dari duduknya lalu memeluk erat tubuh Lara yang membatu. Dalam hati Zahra bersorak bahagia. "Terima kasih."

Kedua tangan Lara ikut membalas pelukan Zahra bersamaan linangan muara kristal yang runtuh dari pertahanannya lantas menghapusnya tanpa diketahui. Lara tidak akan menjadi duri dalam hubungan kedua manusia yang menyimpan cinta terpendam.

.
.
.
.

Yihaa, sesembak udah nunjukin taringnya 😬

Banyak tebaran spoiler di Instagram. Yg blm follow yuk melipir ke sana 📲



*Sabtu, 15 Agustus 2020
EL alice

Duka Lara (series) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang